Sumbar, Pancasila dan Pilkada

Pancasila Sumbar Pilkada

Israr Iskandar, SS. MA (Foto: FIB/unand.ac.id)

Potongan pernyataan Ketua DPR RI Puan Maharani ”semoga Sumatera Barat (Sumbar) mendukung negara Pancasila” memicu reaksi sejumlah kalangan, termasuk dari partai “oposisi” baik di Sumbar maupun Jakarta. Seolah belakangan ini atau mungkin selama ini Sumbar dianggap kurang mendukung negara Pancasila.

Walaupun disampaikan dalam konteks pemberian dukungan PDIP kepada salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada Sumbar 2020, namun pernyataan Puan tersebut terlanjur menjadi “bola panas” yang tentu dapat mempengaruhi pamor dan elektabilitas cagub-cawagubnya sendiri.

Sekalipun sudah diklarifikasi, namun kalau dilihat secara substansial, pernyataan cucu Bung Karno itu memang seolah mewakili persepsi dan pandangan petinggi partai banteng itu terhadap masyarakat Sumbar.

Persepsi itu bisa jadi dibangun atas pembacaan terhadap sejarah, tetapi sangat mungkin didasarkan pada kekecewaan makin anjloknya pamor PDIP, bahkan Jokowi, di ranah Minang dalam dua pemilu terakhir.

PRRI

Kalau suatu pendapat dibangun atas pembacaan terhadap sejarah, tentu orang bisa berdebat. Apakah yang mendasari pandangan bahwa satu kelompok masyarakat bisa dikatakan kurang Pancasilais dan yang lain lebih Pancasilais? Apakah misalnya karena masyarakat Sumbar dulu pernah mendukung pemberontakan PRRI? Apakah pertanyaan sama juga bisa diajukan misalnya untuk daerah-daerah lain yang di masa lalu pernah “berselisih” dengan pemerintahan nasional?

Kalau membaca sejarah tentu tidak bisa sepotong-sepotong. Kontribusi Minang dalam sejarah Republik tentu siapa yang bisa bantah. Sepertiga anggota Panitia Sembilan; satu dari dua proklamator RI; dan bahkan ibu negara pertama (nenek Puan sendiri) adalah putra-putri asal Sumbar atau keturunan Minang.

Belum lagi sumbangan selama Revolusi Fisik dan momen kembali ke negara kesatuan awal 1950-an. Semua itu tinggal dibaca kembali karena sudah termaktub dalam kitab-kitab sejarah resmi maupun laman-laman informasi di dunia maya.

Memang kalau melihat sejarah PRRI yang berpusat di Sumbar akhir 1950-an, kesannya tidak Pancasilais, separatis, pembangkangan dan seterusnya. Namun kalau disimak latar belakangnya, PRRI dan juga Permesta (di Sulawesi Utara) awalnya adalah suatu gerakan koreksi terhadap pelanggaran Pancasila itu sendiri, walaupun pada ujungnya gerakan bercorak politik-militer itu tergelincir dan bahkan sangat mengancam integrasi bangsa sehingga militer pun menumpasnya.

Politik Mutakhir

Namun memang sangat mungkin pandangan “Pancasialistik” di atas didasarkan pada perkembangan sosial politik mutakhir di Sumbar. Hal itu bisa dipahami juga. Termasuk hasil beberapa survei, seperti Maarif Institute tahun 2017 dan Balitbang Kemenang tahun 2018, yang menyimpulkan Sumbar termasuk daerah dengan tingkat toleransi yang mencemaskan.

Masyarakat Sumbar, terutama generasi mudanya, rupanya tidak imun dari potensi terpapar pandangan radikal dan intoleran.

Tidak hanya itu, jangan-jangan pandangan “nasionalistik” itu didasarkan pada rangkaian “gosip” di media sosial yang mengatakan daerah ini adalah salah satu basisnya kelompok-kelompok dengan pandangan politik atau tepatnya religio-politik yang berseberangan dengan golongan pemerintah berkuasa di pusat dalam enam tahun terakhir.

Walaupun perkembangan sosio politik mutakhir tidak bisa diabaikan, bahkan harus menjadi catatan bagi semua elite pemimpin daerah (terutama calon gubernur-wakil gubernur) saat ini, namun siapapun tentu tidak bisa pula menggeneralisir dan membuat kesimpulan yang seolah baku.

Dalam konteks itu, salah satu pertanyaan yang mesti dijawab lebih jauh: sejauh mana penguatan isu politik identitas (bercorak politik keagamaan) mempengaruhi pamor dan elektabilitas partai-partai di sejumlah daerah (termasuk Sumbar) belakangan ini dan bagaimana dampaknya pada peradaban sosial politik kita?

Bagaimanapun, kita tak serta merta bisa menghubungkannya dengan kadar nasionalistik masyarakat suatu daerah dibandingkan daerah lain hanya karena sejumlah pelajar, mahasiswa atau mungkin guru-gurunya memiliki pandangan yang dianggap intoleran.

Apalagi, kalau persepsi siapa lebih Pancasilais semata didasarkan pada hasil perkembangan politik mutakhir yang terpolarisasi, sekalipun diwarnai kontestasi “politik identitas” yang seakan menafikan bangunan negara Pancasila kita.

Apapun, komentar-komentar elit yang tidak bijak di pusat maupun respon reaktif dan impulsif di daerah, termasuk politisi “oposisi” yang berkepentingan dengan Pilkada saat ini, tentu dapat mempertajam polarisasi dan antagonisme dalam masyarakat politik kita.

Kalau hal ini terus menggejala dan dipelihara tentu menjadi kurang sehat bagi pertumbuhan peradaban demokrasi maupun kohesi sosial kebangsaan kita ke depan.

*Dosen Ilmu Sejarah Universitas Andalas

Baca Juga

Pemkot Padang Dorong Pembentukan Kampung Pancasila di Tiap Kecamatan
Pemkot Padang Dorong Pembentukan Kampung Pancasila di Tiap Kecamatan
Ketua KPU Sumbar, Surya Efitrimen mengungkapkan bahwa ada 56 pasangan calon (paslon) kepala daerah di Sumatra Barat untuk Pemilihan
Jelang Pilkada 2024, Kesbangpol Padang Gencarkan Pemahaman Pancasila dan Kebhinnekaan
Permasalahan baru yang menimpa umat Islam yakni terkait daftar nama-nama ustadz kondang yang terdaftar dalam jaringan radikalisme.
Pergeseran Nilai Muhammadiyah Sumbar dalam Politik?
Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Sumbar, Bayu Aryadhi mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi
BP2MI: Tidak Ada Pekerja Migran Indonesia dari Sumbar di Zona Konflik
BNNP Sumbar Gagalkan Penyelundupan Setengah Ton Ganja di Kabupaten Pasaman 
BNNP Sumbar Gagalkan Penyelundupan Setengah Ton Ganja di Kabupaten Pasaman 
Ahmad Hafidz
Nagari Creative Hub: Penggerak Ekonomi Masyarakat