Langgam.id - Tokoh masyarakat Kabupaten Mentawai Juniator Tulius memberi pandangan terkait wacana menjadikan Sumatra Barat (Sumbar) sebagai Daerah Istimewa Minangkabau (DIM). Menurutnya, Mentawai merupakan salah satu kabupaten yang berbeda etnis dengan suku Minangkabau yang mayoritas.
Antropolog asal Mentawai itu mengatakan, sama halnya dengan suku Batak berbeda dengan Nias. Perbedaan itu dalam konteks kebudayaan. Sementara untuk Minangkabau, kebudayaan itu satu bagian dengan kepercayaan orang Mentawai.
"Kalau menjadikan seluruh wilayah Provinsi Sumbar sebagai Daerah Istimewa Minangkabau, jelas tidak bisa. Bagi Mentawai itu pengecilan atau kasarnya peniadaan suku bangsa Mentawai di Sumbar," katanya, Sabtu (13/3/2021).
Menurutnya, kalau wilayah Provinsi Sumbar daratan menjadi daerah Istimewa Minangkabau, selama ini memang sudah begitu karena tidak ada yang mendominasi wilayah daratan selain orang Minangkabau.
Ia mengungkapkan, kalau tetap ingin dipaksakan wilayah pemerintahan provinsi dijadikan privilege sebuah suku bangsa, sementara ada lebih suku bangsa hidup dalam wilayah itu, maka ke-Bhinneka Tunggal Ikaan di Indonesia dikemanakan.
Baca juga: Tanggapan Tokoh Masyarakat Mentawai Terkait Wacana Daerah Istimewa Minangkabau
"Kalau memaksakan juga, maka Mentawai harus dilepas dulu dari Sumbar dan menjadi provinsi sendiri karena kita tidak mau terjajah dalam keistimewaan Minangkabau di Sumbar," ujarnya.
Selain itu, menurutnya, dasar pembentukan DIM masih wacana, artinya belum menjadi keputusan apalagi undang-undang yang mengaturnya belum disahkan. Kalau meletakkan perspektif keminangkabauan, tentu rencana itu sebuah hal yang baik.
"Namun, gagasan politisi Minangkabau dari Sumbar di DPR RI, tentu akan menjadi pemicu bagi daerah lain di Indonesia untuk menjadi daerah atau provinsi istimewa," sebutnya.
Mungkin dapat saja beberapa provinsi di Sulawesi menyatakan istimewa sebagai orang Bugis, di Kalimantan akan muncul Daerah Istimewa Dayak dan lain sebagainya.
Sumbar sendiri yang mayoritas penduduknya adalah Suku Bangsa Minangkabau memiliki posisi istimewa di NKRI. Banyak tokoh-tokoh nasional pendiri bangsa ini dari Sumbar khususnya dari Suku Bangsa Minangkabau.
"Kalau para tokoh itu mau mengistimewakan kesukubangsaannya di NKRI sudah mereka lakukan dari dulu. Kenyataannya, tidak demikian karena semangat keberagaman sangat dijunjung tinggi oleh tokoh-tokoh Minangkabau pada waktu itu," ujarnya.
Ia mengatakan, pada saat sekarang, politik dapat merubah cara pandang manusia. Karena tujuan kepentingan politik tertentu hampir apa saja sekarang dapat digoreng menjadi propaganda politik dengan mengesampingkan keanekaragaman suku bangsa di NKRI dan landasan pemikiran pendirian negeri ini.
Ia mengungkapkan, wacana pembentukan DIM ini tentu menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Sumbar itu adalah sistem pemerintahan dalam konteks NKRI. "Kalau kita mengedepankan DIM, landasan batasan geografisnya bagaimana? Landasan sistem pemerintahannya bagaimana? Cakupan komunitasnya bagaimana? Lantas bagaimana dengan suku-suku bangsa lain yang ada dalam DIM itu?," ujarnya.
Baca juga: Tanggapan Gubernur Sumbar Soal Daerah Istimewa Minangkabau
Kemudian terangnya, merubah nomenklatur provinsi ini bukan sekadar merubah nama, akan ada banyak kebijakan berdampak kepada penerapan aturan dan ketentuan yang berlaku. Banyak sedikitnya akan berdasar pada semangat DIM, bila itu yang terjadi pertanyaannya adalah keberadaan suku-suku bangsa lain di Sumbar akan menjadi merasa didominasi.
"Saya kira tidak ada sebuah suku bangsa yang mau didominasi oleh suku bangsa lain. Karena itulah menjadi salah satu faktor yang mengawali perpecahan dan konflik," katanya.
Dia bersyukur hal ini baru wacana dan masih banyak kemungkinan yang terjadi. Ia meminta semua pihak mengedepankan Sumbar sebagai provinsi yang mengakomidir keanekaragaman seperti pada saat. Kemudian bekerja mensejahterakan masyarakatnya jauh lebih penting daripada membangun kemelut yang menguras energi.
"Masih banyak yang dapat dikembangkan di Sumbar yang dapat diangkat menjadi ikon-ikon keminangkabauannya yang tak harus dipersempit dengan konsep eksklusivitas," ujarnya. (Rahmadi/yki)