Sulitnya Jemaat Kristiani Beribadah di Perkebunan Sawit Sumbar

Sulitnya Jemaat Kristiani Beribadah di Perkebunan Sawit Sumbar

Jejak rumah ibadah di kamp SJAL 2 Estate Silaut (Incasi Raya Group). Di sini pekerja beragama Kristen asal Nias pernah mengadakan ibadah sebanyak 5 kali. Pada 6 Agustus 2023 terakhir kali mereka ibadah, setelah dibubarkan pihak perusahaan. Foto: Yose Hendra/Langgam.id

Langgam.id - Fajar menyingsing, menyingkap betapa maha luasnya kebun sawit milik PT Incasi Raya di selatan Kabupaten Pesisir Selatan, Minggu (10/9/2023). Di tengah hamparan kebun sawit itu, kamp-kamp pekerja yang sangat sederhana berdiri di beberapa titik. Di kamp Tengah, Nagari Muaro Sakai Inderapura, Kecamatan Pancung Soal, Kabupaten Pesisir Selatan, Mawati Ndru, 35, bertungkus lumus di dapur, menyiapkan bekal untuk menjalani ibadah Minggu di Kamp H17.

Mawati adalah keluarga pekerja asal Nias beragama Kristen. Hari Minggu yang seyogianya menjadi hari istirahat setelah kerjaan melelahkan 6 hari, dimanfaatkan komunitas Nias untuk beribadah, melepas dahaga rohani.

Hari itu, Mawati dibantu keluarganya, Ceria Halawa, masak gulai telur dan telur goreng balado. Jumlah telur yang dimasak 60 butir. Terbilang banyak, karena mereka juga terbilang keluarga besar, dan saat itu juga datang pendeta dan penginjil dari  Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rayon 19 Kampung Nias II, Padang.

“Masak ini untuk sarapan, juga makan siang. Maka dimasak 60 telur. Biayanya sendiri, dan juga kadang dibantu dari jemaat. Kalau tidak ada bantuan tempat ibadah, kantong sendiri lah. Itu sudah tanggung jawab kita lah,” bilang Mawati.

Bekal disiapkan lantaran lokasi ibadah itu cukup jauh dari tempat tinggalnya. Sekira 45 menit berkendara motor. Ketiadaan kedai nasi di dalam perkebunan, otomatis mereka harus menyiapkan bekal untuk makan siang.

Usai masak, lalu ditungkus pada kertas pembungkus nasi, Mawati lekas bersegeh. Termasuk mengurus 3 anaknya. Pakaian kebaya terpasang di badan, sementara anak-anak berpakaian bagus. Anak perempuannya diberi bedak, dan rambutnya di sisir. Aroma mewangi pun membahana di ruang sempit kamp yang mereka huni. Pertanda mereka siap-siap mau ke gereja.

Di antara rombongan itu juga ada Yosu Gulo, suami Mawati, dan Setiaman Gulo, suami dari Ceria Halawa, dan anak-anaknya. Saudara Yosu ini tinggal di Kamp Ponton, 15 menit dari Kamp Tengah. Turut juga bergabung tetangga di Kamp Tengah seperti Eviana Zai. Mereka kemudian meninggalkan kediaman di Kamp Tengah, menuju Kamp H17, tempat ibadah Minggu.

“Sejak mulai ibadah beberapa tahun lalu, kita selalu rutin ibadat Minggu. Ada sulitnya, ada enaknya. Sulitnya karena jauh itu, kurang nyaman, apalagi tempat kayak itu. Beda dengan tempat ibadat kita di kampung. Di kampung terjamin keamanannya. Namanya kita di perusahaan, dibolehkan sudah syukur,” ungkap Mawati.

Pagi berona itu, masing-masing mereka yang perempuan dan anak, memboncengi motor yang dikendarai suaminya. Mereka mengendarai motor di jalan pengerasan yang buruk. Berbatu, berlubang, kadang cekung dan berdebu, adalah wajah jalan yang harus mereka lahap.

Sekira pukul 10 pagi, mereka sampai di Kamp H17. Turun dari motor, tak ada tanda-tanda yang mengental bahwasannya itu adalah ruang ibadah. Sebab, pemandangan yang terjadi hanya kamp saling berderet, dengan anak bergelut di emperan atau selasarnya. Lalu beberapa orang dewasa masih duduk di bangku yang ada di emperan. Kalau menunjukkan akan ada ibadah, itu lebih kepada beberapa perempuan dan anak-anak sudah berpakaian rapi.

Kondisi tempat ibadatnya begitu sederhana. Yang pasti bukan gereja, dan susah juga dibilang juga sebagai rumah doa. Mereka pun bingung kalau ditanya, sebutan yang pas untuk ruang beribadah itu.

Banyak juga tercetus emperan untuk penyebutan lokasi beribadah itu. Mereka hanya memanfaatkan selasar beberapa barak berderet yang mereka tinggali, beratapkan seng usang, dan sebagian terpal. Selasarnya tak begitu luas, sehingga mereka terpaksa memanfaatkan ruang sempit untuk ditata menjadi ruang beribadat dan memaksimalkan tempat duduk yang ada.

“Sebenarnya untuk memuji Tuhan kita selalu semangat, cuma masalahnya dari rumah jauh ke lokasi ibadah, dan jalan buruk. Tapi kami susah biasa dengan keadaan itu. Harapannya bisa makin maju, tidak dilarang ibadah, meski sederhana itu. Sebatas doa saja itu,” imbuh Mawati.

Kala itu, sinar mentari begitu melimpah, turut menghangatkan suasana peribadatan sekaligus silaturahim keluarga besar Nias yang bekerja di Incasi Raya Group, Kabupaten Pesisir Selatan.

Mereka bersuku Nias, dengan profesi umumnya sebagai pemetik atau pemanen tandan buah segar (TBS) sawit dan pembabat rumput kebun sawit Incasi Raya Group.

Lampiran Gambar
Dua orang anak pekerja asal Nias di Incasi Raya, bersiap-siap ikut orang tua untuk ibadah Minggu di Kamp H17. Foto: Yose Hendra/Langgam.id

Hari itu, mereka kedatangan utusan  Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rayon 19 Kampung Nias II, Padang yakni penginjil Teos Natal Halawa dan pendeta Saut Sihombing. Kedua orang ini berperan dalam mendorong siraman rohani pekerja kebun sawit asal Nias, yang dahaga bertahun-tahun lamanya. Berhubung mereka tinggal di Kota Padang, radius sekitar 200 km dari kawasan kebun sawit di Inderapura itu, maka peran mereka sebagai penginjil tak bisa selalu dicurahkan sekali sepekan.

Untuk itu, mereka mendorong beberapa orang untuk mendalami Alkitab atau peran-peran sebagai penginjil seperti Yosu Gulo dan Anjes Rifan Zai. Sebab mereka lah yang tinggal di kawasan perkebunan Incasi Raya Group, dan senantiasa bisa turut beribadat tiap minggu. Sehingga bila Teos dan Saut tak bisa ke Pesisir Selatan, Yosu dan Anjes bisa mengambil alih sebagai pemimpin ibadah mingguan.

Kala Teos dan Sihombing datang hari Minggu pertama bulan September 2023, mereka yang tinggal di Kamp H17 lekas menyibukkan diri mempersiapkan segala hal berwujud fasilitas ibadat. Ada yang segera menjemput alat musik keyboard, mengambil gitar yang tergantung di rumah. Dan kemudian membawa bangku panjang dari beberapa rumah. Lalu di konsentrasikan di selasar barak yang menjadi tempat peribadatan.

Lampiran Gambar
Salah seorang pekerja asal Nias yang juga jemaat ibadah Minggu di rumah ibadah di Kamp H17, membawa alat musik keyboard dari rumahnya, untuk perlengkapan ibadah Minggu, (10/9/2023). Foto: Yose Hendra/Langgam.id

Pos PI Kamp H17 termasuk di bawah binaan (cabang) GBI Rayon 19 Padang. Jemaat ibadat di Kamp H17 berjumlah 43 kepala keluarga (KK). Mereka tinggal di Kamp H17, Kamp Blok E, Kamp C3, Kamp C10, A kecil, Kamp Tengah.

Telina Faudu Giawa, 47, yang tinggal di Kamp H 17, turut sibuk mempersiapkan segala hal. Baginya, ibadah mingguan, bukan saja media untuk berinteraksi dengan Tuhan, melainkan juga titik berinteraksi dan bercengkrama dengan sesama pekerja asal Nias. “Meski ibadat ini dalam kesederhanaan, yang terpenting masih bisa ibadah dan berkumpul. Kita mohon janganlah diusik,” bilang Telina.

Alkisah, bulan Oktober 2017, tiba 12 KK yang menjadi pekerja Incasi Raya Group. Semuanya orang Nias, dan menghuni Kamp M6, dimana satu tahun terakhir berganti nama menjadi Kamp H17. Mereka tentu datang tanpa menanggalkan agama yang dianut yakni Kristen. Namun ketiadaan gereja atau tempat beribadat, membuat mereka sama sekali tak pernah ibadah mingguan hingga tahun 2020.

Salah seorang pendatang di awal itu, Nius Hia, 50, mengatakan, setelah tahun 2020, dia (KK-nya) dengan keluarga Teli mulai berdoa 7 malam, dan sekali seminggu, silih berganti. “Itu jalan setahun. Kemudian berhenti, karena gak ada orang. Dan Pak Teli juga pindah, karena baginya gaji di sini tak sesuai,” beber Nius.

Bulan November 2022,  datang Teos, dan juga Sihombing. Kedua penginjil dari GBI Rayon 19 Padang ini kemudian mengajak komunitas Nias yang bekerja di beberapa titik di Incasi Raya Group untuk beribadah.

Teos miris tatkala masuk pertama kali ke Kawasan Incasi tahun 2021. Ia mendapati pekerja di sana yang beragama Kristen bertahun-tahun tak beribadah. Penyebabnya cukup sederhana, karena ketiadaan tempat ibadat.

“Kebiasaan kita hari Minggu beribah. Ketika saya main ke kamp, gak ada yang ibadah. Miris saya. Saya cari informasi. Sudah kering rohani mereka. Rohani itu seperti tanaman, butuh disiram rohani. Saya tanya, ada pendeta ke sana. Jawabnya, ada tapi tak berkelanjutan. Hanya sekali-kali,” ungkap Teos.

Lampiran Gambar
Penginjil Teos Natal Halawa dari GBI Rayon 19 Padang yang datang ke kamp pekerja asal Nias, Minggu (10/9/2023), didapuk memberikan kutbah saat ibadah Minggu. Foto: Yose Hendra/Langgam.id

Lalu ia juga mendapati tak ada sinode di lingkungan Incasi. “Yang kita harapkan yang punya sinode atau organisasi, sehinggap penanggungjawabnya jelas. Misal nikah, surat nikah sanah, baptis , penyerahan anak sana,” ujar Teos.

PT Incasi Raya memiliki areal perkebunan sekitar 120 ribu Ha di Kabupaten Pesisir Selatan. Berdasarkan data Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Pesisir Selatan, PT Incasi Raya mengoperasikan 6 anak usaha di sektor perkebunan sawit di Kawasan tersebut. Keenamnya adalah PT. Incasi Raya Sodetan Estate, PT. Incasi Raya Sodetan POM, PT. SAK, PT. SJAL Estate, PT. SJAL POM, dan PT. Incasi Raya Lunang.

Tercatat 4.140 orang bekerja di semua anak usaha milik Incasi Raya di Kabupaten Pesisir Selatan. Dari jumlah itu, Penyuluh Pembimas Kristen Kemenag Sumbar sekaligus Penyuluh Kominfo, Desmurniati B, mengatakan, ada sekitar 700 kk umat Nasrani bekerja di perusahaan perkebunan di Kabupaten Pesisir Selatan, terutama perusahaan perkebunan milik Incasi Raya.

“Hanya beberapa titik ada kendala. Saya tak menemui kendala di sana saat beribadah. Saya penginjil,” ujar Desmurniati.

Teos mengatakan, waktu pertama datang ke perkebunan Incasi Raya untuk menemui pekerja yang beragama Kristen, pihaknya tidak gampang diterima begitu saja. “Mereka rindu untuk menjalankan ibadah agama, tapi tak berani. Kata mereka, di sini tak bisa. Jadi, hanya berlabel sebagai Kristen, tapi tak tahu apa-apa,” Teos mengingat kembali interaksi dengan orang-orang Nias di dalam kebun Incasi tahun 2021.

Teos berusaha menyentuh hati mereka, untuk meluapkan segala hal yang terpendam selama ini. Ia dapatkan sejumlah cerita yang cukup memprihatinkan. Misalnya, mereka sudah 12 tahun bekerja di Incasi, namun tak pernah menyalurkan kebutuhan rohani seperti ibadat Minggu. Dan dari penuturan tulus mereka, juga ada ketakutan jika menggelar ibadat Minggu, surat pemecatan menanti.

“Ada yang sudah 12 tahun di sana. Katanya saya terima apa adanya. Jujur pedih hati saya. Bagaimana saya membina kalian. Kita mulai rangkul orang tuanya. Bagaimana nanti kita dilarang, katanya? Saya bilang berjalan saja dulu. Kita bukan buat kejahatan. Anggap saja di kamp ini doa di rumah. Saya mulai di salah satu blok. Tetap di bawah emperan kumpul dengan  mereka. Bagi saya tidak masalah. Jujur saya datang awal ke sana, nangis saya. Berdoa bersama mereka, pengalaman baru bagi saya,” cerita Teos.

Berjalan satu kali kegiatan ibadat, kemudian mulai ada rasa kepercayaan. Sejak tahun 2022, Teos turut berperan membuka 4 titik tempat doa GBI. Masing-masing Pos PI Blok M (H17) dengan keanggotaan 43 KK, Ray 24 KK, Blok I daerah Lunang Estate 19 KK, dan Kamp di SJAL 2 Estate Silaut dengan jumlah 20 KK. Namun sejak bulan Agustus 2023, pelaksanaan ibadah di Kamp SJAL 2 Estate Silaut dilarang oleh pihak perusahaan.

“Saya bina pimpinan sana (seperti Yosu), supaya bisa lanjutkan. Bisa jadi pimpinan, termasuk Penatua/Majelis. Ada 2 keluarga di SJAL, mamanya menangis karena merasa yang mereka rindukan selama ini, akhirnya sekarang terobati meski dalam segala keterbatasan. Saya bawakan pujian, saya ajak doa, ini yang saya lakukan 3 bulan belakangan,” bilang Teos.

Yang dimaksud Teos adalah Pos PI di kamp SJAL 2 Estate Silaut. Pos PI berteduhkan tenda terpal yang dibentangkan pada ruang kosong seukuran kamp yakni 2x3 meter, di antara sekolompok deretan kamp dengan jejeran kamp berikutnya.

Siraman Rohani Itu Cepat Berlalu

Terik semakin menjadi-jadi, karena posisinya berada di atas ubun-ubun. Di hari yang sama, (10/9/2023), usai pelaksanaan ibadat Minggu di Kamp H17, penulis bersama penginjil dan koordinator Pos PI bergegas, menyambangi beberapa Pos PI di Incasi Raya. Lokasi yang pertama dituju adalah Pos PI di kamp SJAL 2 Estate Silaut yang masih berjejak.

Dari Kamp H17 yang berada di Muaro Sakai, Kecamatan Pancung Soal, ke kamp di SJAL 2 Estate Silaut di Kecamatan Silaut, membutuhkan waktu tempuh sekitar sejam. Sebenarnya, secara radius tidaklah terlalu jauh. Namun jalan yang terbentang cukup buruk. Jalannya berbentuk perkerasan. Kami melahap jalan poros utama yang menghubungkan antara blok-blok perkebunan sawit dengan sirip jalan menuju kamp yang dihuni pekerja.

Kami tiba siang, sekira pukul 13.00 WIB. Normalnya hari itu adalah hari menyenangkan bagi umat Kristen. Seyogianya berpakaian kebaya bagi perempuan lengkap dengan hiasan diri, dan pakaian setelan kemeja dan celana rapi bagi lak-laki. Hal yang menjadi tradisi untuk beribadah mingguan.

Walakin,  Minggu siang itu, pekerja yang tinggal di kamp SJAL 2 Silaut, tak begitu jauh dari Kantor PT SJAL 2 Estate Silaut, terlihat murung. Tak tercium semerbak mewangi pertanda dalam suasana ibadah Minggu, tak terlihat mereka berpakain yang terbaik. Apa yang menempel di mereka, seperti pakaian dinas sebagai pemanen sawit atau penebas rumput. Sebagian di antara mereka menonton televisi, sebagian leyeh-leyeh di teras sempit kamp, untuk menikmati waktu istirahat.

Mereka sebetulnya tak senang keadaan demikian. Namun apa dikata, dahaga ibadah yang terobati selama beberapa kali pekan, kini harus kerontang kembali. Sudah sebulan terakhir mereka tak bisa lagi beribadah Minggu.

Sebelumnya, kaum pekerja yang menghuni kamp-kamp di SJAL 2 Silaut, dapat siraman rohani selama 5 kali minggu yakni bulan Juli sampai kemudian dilarang atau dibubarkan pada awal Agustus 2023. Artinya, sebelum bulan Juli, pekerja asal Nias di Kawasan itu pun tak pernah ibadat, sebelum datang penginjil GBI beserta koordinator yang telah dilatih untuk memfasilitasi peribadatan mereka.

Mereka yang tinggal di sana menceritakan kronologis pelarangan tersebut. Untuk menghindari risiko diberhentikan dari pekerjaan mereka, namanya sengaja tak dituliskan. Namun, segala hal yang mereka kisahkan, dibenarkan oleh Yosu Gulo, Koordinator Pelayanan Pos PI GBI Blok M Sodetan (Muaro Sakai), yang menjadi salah satu pemimpin doa di tiap kesempatan ibadat Minggu di kamp SJAL 2 Estate Silaut.

Untuk kenyamanan ibadah Minggu, maka minggu ketiga ibadah di bawah sinode GBI, dipasanglah tenda berupa terpal untuk melindungi diri dari hujan dan panas. Tenda itu dipasang di ruang kosong yang menghubungkan kamp SJAL 2 Divisi 2 Afdeling E.

“Kami lihat kemarin, doa misalnya bisa dilaksanakan di rumah. Tapi kamp ini cuma 2x3 meter. Muatnya paling maksimal 10 orang, itu pun sudah gencetan,” Yosu menjelaskan,

Sebelumnya memasang tenda antara 2 kamp itu, mereka sudah menyampaikan ke Asisten Afdeling (mereka menyebutnya Pak Supodo). Sifatnya memberitahukan. “Katanya berdoa seperti itu tak masalah. Masang tenda itu gak masalah. Setelah dipasang, sampai Short Messade Service (SMS) ke saya. Mungkin dia melaporkan ke atasannya. Kalau untuk ibadah harus izin dulu,” Yosu menirukan kembali ucapan asisten itu.

Pada minggu ke-4, akhir bulan Juli 2023,  pelaksanaan ibadah Minggu, POS PI yang hanya beratapkan terpal di ruang lepas itu, didatangi satpam perusahaan sebelum berlangsungnya ibadah.

“Saya dipanggil. Kata Satpam, ini apa kegiatannya? Kematian atau pesta? Kok ada terpal dibentangkan? Saya jawab; kita di sini melaksanakan doa secara kekeluargaan,” ungkap salah seorang yang ditokohkan di kamp itu, yang juga dibenarkan Yosu.

Lalu, satpam tersebut mengatakan, untuk melaksanakan ini kan sudah mengundang masyarakat banyak. Artinya, itu harus minta izin ke Ketua Pemuda dan pihak perusahaan.

“Kami tanya, untuk hari ini (ibadah akhir Juli) bisa kami laksanakan doa ini. Katanya bisa, tapi ke depan tak bisa menjamin. Yang datang waktu itu 2 orang satpam yang juga kita kenal,” beber Yosu.

Minggu kelima ibadah mingguan, 6 Agustus 2023, mereka lagi khusyuk berdoa di bawah lindungan terpal biru di antara kamp. Tiba-tiba datang satpam dengan sepeda motor matic. Satpam itu turun dari motor, lantas mengambil ponsel pintar (smartphone), dan lekas memvideokan aktivitas ibadah tersebut. Dia hanya merekam, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Saya berhentikan doa, saya mendatangi dia. Pak, permisi, apa yang mau sampaikan. Bapak dari mana? Bisa perkenalkan diri,” Yosu yang memimpin ibadah saat itu mempertanyakannya.

Lalu sang satpam menjawab, bahwa ia datang dari perusahaan, instruksi dari Gunardi. Gunardi adalah Pimpinan PT SJAL 2 Estate Silaut. Kediamannya tak begitu jauh dari rumah doa dadakan antara kamp-kamp yang ditinggali pekerja asal Nias.

Lalu, Yosu menegaskan, bahwa mereka di sini (lokasi tersebut) hanya melaksanakan doa keluarga. Kemudian satpam itu berbalas kata, dengan mengatakan, untuk melaksanakan doa itu, harus minta izin ke ketua pemuda sama perusahaan.

Yosu lalu mengatakan, pihaknya hanya melaksanakan doa secara kekeluargaan, bukan mendirikan tempat rumah ibadah. “Tak pernah kami berniat mendirikan gereja. Apalagi ini bukan tanah kami,” tukas Yosu.

“Dan perlu bapak tahu, bahwasannya UUD 1945 menjamin kemerdekaan seluruh pemeluk agama masing-masing. Untuk hari ini apakah kami bisa melanjutkannya? Dia bilang silahkan. Minggu ke depannya kalau tak izin ketua pemuda dan perusahaan, jangan dilaksanakan,” Yosu mengingat kembali perdebatan tersebut.

Lampiran Gambar

Yosu mengungkapkan, soal melaksanakan ibadah di lokasi yang bukan gereja itu, pernah diberitahukan ke perusahaan dan juga ke Wakil Ketua Pemuda bernama Amir. “Katanya pelaksanaan tak bermasalah,” ucap Yosu.

Minggu keenam sejak ibadah mingguan digelar di kamp SJAL 2 Silaut pada awal Juli 2023, perwakilan penghuni kamp di SJAL 2 Silaut datang ke sebuah pertemuan yang diinisiasi oleh Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika Silaut).

“Saya di undang ke pabrik Silaut POM. Pabrik dan kantor besar. Saya ajak 3 orang. Rupanya datang ke sana, ada manajemen perusahaan, ada camat, walinagari, niniak mamak, pihak kepolisian, Babinsa. Mereka membuka agenda forum video yang viral tetap melaksanakan ibadah di Incasi,” jelas Yosu.

Dalam pertemuan itu, niniak mamak kembali membentangkan Surat Perjanjian dengan pihak pemerintah tatkala menjadikan kawasan Silaut sebagai tujuan transmigrasi. Sementara Incasi Raya sendiri berkebun di atas lahan yang masuk kawasan transmigrasi. Namun, lahan itu tak sepenuhnya terisi untuk para transmigran.

Inti pertemuan itu, kata Yosu, niniak mamak memperingatkan untuk komitmen dengan perjanjian kala lahan itu diserahkan untuk transmigrasi, dan perjanjian yang berlaku sama, ketika Incasi Raya mulai meneroka perkebunan sawit tahun 1990-an silam. Poin utamanya, tak boleh mendirikan rumah ibadah selain nonmuslim di dalam kawasan perkebunan.

Wali Nagari Silaut juga menekankan, tak boleh ada ibadah atau doa nonmuslim di Silaut secara bersama-sama. Yang dibolehkan hanya berbasis kepala keluarga di rumah masing-masing.

Dalam pertemuan itu, perwakilan pekerja Nias yang dipersoalkan menggelar ibadah Minggu di kamp SJAL 2 Estate Silaut menegaskan, sebagai nonmuslim tak pernah berniat mendirikan rumah ibadah atau gereja, melainkan hanya berdoa secara kekeluargaan di bawah tenda, di depan emperen, atau dalam rumah.

Penjelasan demikian tetap bertepuk sebelah tangan. Muspika tetap tak membolehkan adanya ibadah Minggu di SJAL 2 Estate Silaut yang masuk wilayah adat Silaut. Mereka kemudian merumuskan solusi untuk akses ibadah umat Nasrani yang bekerja di Incasi Raya Group. Disepakati, pihak perusahaan mesti memfasilitasi ibadah Minggu umat Kristen yang bekerja di Incasi Raya Group ke gereja terdekat yang ada di Lubuk Pinang, Kabupaten Muko-muko, Bengkulu.

Pihak perusahaan kemudian menyanggupi, dengan menyediakan bus. Dari SJAL 2 Estate Silaut ke Lubuk Pinang sekitar 2 jam perjalanan jika pakai motor. Sementara pakai mobil paling cepat 3 jam.

Jarak yang jauh ditambah dengan jalan yang buruk, salah satu hal yang menyebabkan solusi ini tak begitu menarik umat Kristen etnis Nias di Incasi Raya Group. Terlebih, hari minggu itu, selain ibadah, waktu sisanya dipakai untuk istirahat setelah capek bekerja selama 6 hari.

Namun ada hal yang paling krusial yakni, gereja di Lubuk Pinang yang dimaksud adalah HKBP. Sementara gereja Kristen lazimnya berbasis kesukuan. Sebab, dalam titik temu ibadah Minggu, bukan saja ruang ibadah, melainkan juga ruang interaksi sosial, ruang memadu erat kekerabatan.

“Minggu kemarin sampai WAG sesama pemanen. Asisten menyampaikan kalau mau beribadah, bus disediakan di SJAL 2. Tapi gak ada peminatnya. Siapa mau capek? Memang kita mengejar iman, bukan mengejar kecapekan. Capek duluan baru ada iman, gak mungkin,” kata Yosu.

Hari Minggu itu, bus tampak terparkir tak di halaman kantor SJAL 2 Silaut. Bus itu bersiap membawa kaum pekerja untuk beribadah Minggu ke Lubuk Pinang, Bengkulu. Namun sampai sore, bus itu tetap saja di sana, tak bergerak, tak ada penumpang yang hendak dibawa.

“Gak semua bisa naik mobil. Sebagian ada yang mabuk. Dan gimana bawa anak kecil ke Lubuk Pinang. Lagian yang ada di sana aliran gereja yang bukan kita,” ujar Yosu.

Komunitas Kristen Mentawai Pun Mendapat Larangan

Sepeda motor Billman T Simanjuntak, masih bergelimang luluk tatkala bertemu dengannya di sebuah kafe di Kota Padang, Rabu pengujung bulan Agustus lalu.

Pendeta GKPM Resort Padang itu baru saja pulang dari  Blok H perkebunan sawit Incasi Raya di Kawasan Silaut, memimpin ibadah terakhir di kamp orang Mentawai, tanggal 27 Agustus 2023.

Setelah itu, perusahaan (Incasi) tak membolehkan lagi ada kegiatan ibadah di tenda yang dipasang di kitar kamp. Populasi jamaah (orang Mentawai) Sinode Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) di SJAL 2 sekitar 150 orang.

Billman mengatakan, sebetulnya perusahaan menyampaikan kepada orang Mentawai bahwa ibadah itu harus dihentikan tanggal 13 Agustus. Pada tanggal 27 Agustus, dengan segala permohonan kami mohon bisa melaksanakan ibadah, karena ini sudah kami jadwalkan. Ada baptisan anak dan katesisasi (istilahnya memuridkan pada hari minggu),” ungkap Billman.

“Pada akhirnya mereka mengizinkan dengan alasan karena ini sudah kita jadwalkan dari jauh-jauh hari.  Dilaksanakan di tanah kosong dekat mes, tidak ada simbol di sana dan jauh dari perkampungan warga pribumi,” Billman melanjutkan.

Penghentian ini menyedihkan Billman. Semenjak ditempatkan sebagai pendeta GKPM di Padang 6 bulan lalu, ia tertantang untuk memfasilitasi siraman rohani bagi pekerja Mentawai yang sebagian sudah 10 tahun kerontang rohaninya.

Sebabnya sederhana, ketiadaan gereja, dan pimpinan ibadah seperti penginjil atau pendeta. “Dulu orang Mentawai yang tinggal di sana tidak pernah beribadah. Ada yang sudah 10 tahun, 9 tahun, 8 tahun, tidak ada ibadah. Alasannya memang tidak ada pendeta yang mau melayani di sana karena mereka orang GKPM,” cerita Billman.

Lampiran Gambar
Pendeta GKPM Resort Padang Billman T. Simanjuntak saat ditemui di Padang. Foto: Yose Hendra/Langgam.id

“Baru sekitar 3 bulan di tahun 2023 ini ibadah, sekarang terhenti,” ucap Billman lagi.

Setali dengan persoalan yang membelit sebagian komunitas Nias untuk beribadah, Billman pun mendapat informasi, pelarangan tersebut dilandasi adanya perjanjian perusahaan dengan niniak mamak.

“Dihentikan oleh perusahaan dengan alasan pihak perusahaan mendapat tekanan atau intimidasi. Mereka mengingatkan kembali tentang perjanjian dulu tidak boleh mendirikan rumah ibadah. Karena sebelum perusahaan masuk ke sana sudah ada perjanjian bahwa perusahaan tidak boleh mendirikan rumah ibadah, mungkin kecuali masjid. Jadi itu mungkin yang diingatkan oleh warga kepada pihak perusahaan kenapa orang orang Mentawai beribadah di situ. Sehingga perusahaan tidak mau mengambil risiko,” beber Billman.

Seperti halnya komunitas Nias di sana, Billman pun menegaskan, tak ada niatan mendirikan gereja di sana.  Ibadah yang dilaksanakan secara sederhana pun berlokasi di belantara sawit. Tak ada kampung terdekat, dengan logika tak ada yang terganggu sebetulnya.

“Kita hanya mendirikan pondok-pondok untuk bernaung. Artinya sejara fisik tidak mendirikan gereja ya. Tidak, kita tidak ada mendirikan gereja, tidak ada simbol salib,” ujar Billman.

Setelah tak dibolehkan ibadah Minggu di lingkungan perkebunan, komunitas Kristen Mentawai pun mendapat tawaran difasilitasi ibadah mingguan di Lubuk Pinang, Bengkulu.

Untuk solusi itu, Billman mengembalikan ke jemaatnya, apakah mau ke sana. Sembari itu, ia mencoba mengkomunikasikan dengan pengurus HKBP, gereja yang ada di Lubuk Pinang, soal kesediaan menyediakan ruang untuk beribadah Minggu.

“Saya belum bertemu pendetanya, tapi saya sudah komunikasi lewat telepon. Sekarang sedang menunggu informasi dari beliau, yang katanya dirapatkan dulu. Jadi kalau seandainya HKBP juga tidak mau menerima orang Mentawai beribadah di sana ya sama seperti dulu, orang Mentawai tidak akan beribadah,” tukas Billman.

Pembubaran ibadah Minggu di Kawasan perkebunan Incasi Raya Group bukan saja dialami oleh sinode GBI dan GKPM, tapi juga BNKP (Banua Niha Keriso Protestan), Gereja Kristen Kudus Indonesia (GKKI), Gereja Protestan Injil Nusantara (GPIN). Alasannya nyaris sama, yakni keterikatan perjanjian dengan niniak mamak setempat.

Ekosistem Toleransi tak Bertumbuh di Perkebunan Sawit

PT SJAL 2 Estate Silaut, anak usaha PT Incasi Raya, tak bisa menegakkan ekosistem toleransi secara keseluruhan di lingkungan perkebunan. Di beberapa titik konsentrasi mukim pekerja Kristen asal Nias, maupun Mentawai, yang menggelar ibadah, tiba-tiba dilarang. Mereka terpaksa manut dengan segala tekanan dari berbagai pihak, dengan dalih perjanjian lama atau ikatan komitmen antara perusahaan dengan kaum adat setempat.

Menurut Pimpinan PT SJAL 2 Estate Silaut Gunardi, sebelumnya sudah diberitahu oleh pihak Babinsa dan penjelasan Muspika, bahwa ibadah di lingkungan tersebut tak boleh, dan bertentangan dengan perjanjian lama dengan kaum adat (niniak mamak).

Jadi, sambungnya, tudingan pembubaran sedang ibadah itu tak benar. “Tidak benar. Saya hati-hati dalam konteks beribadah. Sebetulnya pihak Babinsa sebelum itu datang dulu kemari. Kemudian kita sudah sampaikan juga ke pihak Muspika sebelumnya. Kebetulan karena kemarin ada di videokan. Sebetulnya bukan di sini saja, di tempat-tempat lain juga banyak. Maksudnya di kamp ini, bukan di kamp kemarin saja. Dia pindah-pindah gitu,” jelas Gunardi.

Lampiran Gambar
Pimpinan PT SJAL 2 Estate Silaut Gunardi saat diwawancarai di rumah dinasnya, kompleks perkantoran PT SJAL Estate Silaut.
Foto: Yose Hendra/Langgam.id

“Sebenarnya kemarin, (satpam) kami hanya menyampaikan pemberitahuan saja, bukan membubarkan.  Kan ada video versi mereka, versi kami. Waktu itu dilanjutkan juga, tidak ada di setop itu,” dia menambahkan.

Gunardi memahami pelarangan atau pembatasan ruang ibadah di kawasan Incasi tersandera perjanjian lama kala perusahaan mulai meneroka kebun di wilayah adat Silaut. Sebetulnya juga terjadi di nagari selain Silaut, konsesi kebun Incasi Raya Group lainnya.

“Kita terikat lah dengan komitmen adat di Sumatra Barat khususnya Silaut, umumnya Pesisir Selatan. Kita hidup di lingkungan negeri Air Hitam kemudian Kecamatan Silaut, kita harus menghormati itu. Kita selalu terikat. itulah yang kita sampaikan kebebasan beribadah menurut kepercayaan masing-masing itu memang ada jaminannya, tapi kita tidak bisa komentar,” bilangnya.

Kala pertemuan dengan Pemerintahan Nagari Silaut dan Camat Silaut, serta pimpinan adat di Gedung Unit DKP, Kecamatan Silaut, bulan Juli, niniak mamak kembali mengingatkan perjanjian tahun 1997 itu.

“Kita terus terang saja. Saya kira informasi sudah cukup lah, karena mereka juga dihadirkan. Incasi tidak bisa berbuat apa-apa,” bilangnya.

Ketidakberdayaan Incasi Raya atau anak usahanya, lantaran konsesi perkebunan sawit saat ini berada di atas lahan diperuntukkan untuk transmigrasi pada program 1976.

Tahun 1976 itu, niniak mamak Silaut menyerahkan tanah nagari Silaut seluas 32.000 hektare untuk program transmigrasi pemerintah. Nah, dalam penyerahan itu ada komitmen antara niniak mamak dengan pemerintah, dengan poin utama tanah yang masuk transmigrasi,  warga, penduduk di Silaut harus mematuhi adat salingka nagari (adat setempat). Istilah di Minang "adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah. sarak mangato adat mamakai.

“Tidak memungkinkan diharuskan beragama Islam. Dan poin keduanya ditegaskan seperti itu. Poin selanjutnya, tanah tersebut untuk transmigrasi, tidak boleh diperalihkan pada pihak manapun. Apabila tidak diolah dalam jangka waktu 5 tahun, tanah tersebut dikembalikan ke nagari setempat,” terang Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Silaut Markas Datuak Bandaro.

Tanah diperuntukkan untuk transmigrasi itu tak sepenuhnya terpakai. Proyeksi kawasan transmigran sebanyak 10 klaster, akhirnya hanya 6 klaster yakni Silaut 1 sampai Silaut 6. Sisanya Silaut 7-10, setelah pelepasan tanah dari niniak mamak, oleh pemerintah dikeluarkan hak guna usaha (HGU).

“Jadi posisi Incasi Raya di Silaut di dalam surat yang 32 ribu hektare itu. Berbatasan dengan Nagari Inderapura, di mana konsesi Incasi juga ada di sana. Jadi kesepakatan yang lama berlaku karena ada di dalam surat perjanjian. Kami beranggapan setelah Incasi masuk dulu, memang tidak tertulis perjanjian kami dulu,  dikarenakan masih sesama kita, dan itu sudah disampaikan kepada pihak Incasi. Jadi menerima karyawan jangan diizinkan ini itu,” terang Markas.

Sehingga pihaknya kukuh agar Incasi menaati perjanjian tatkala mulai meneroka kebun di wilayah Nagari Silaut tahun 1997. Pihaknya tak menutup diri dengan keberadaan ragam etnis yang bekerja di Incasi. Namun khawatir ibadah umat Kristen dalam jumlah banyak di dalam Kawasan kebun, bisa mempengaruhi atau menyebarluaskan agama Kristen itu sendiri di Silaut.

“Kalau berkumpul dalam jumlah banyak, lain jadinya. Kalau rumah ke rumah atau ke kamp masing-masing, kan ngak terlalu kelihatan. Ibarat kan kita salat di rumah, kan ngak ada orang yang tau kecuali orang yang ada di rumah,” ujarnya.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong pihak Incasi memfasilitasi ibadah mingguan umat Kristen para pekerja itu ke Lubuk Pinang, Bengkulu.

Camat Silaut Syamwil mengatakan, Silaut adalah kecamatan transmigrasi. Sebab, sekitar 70 persen dari total populasi 15 ribu jiwa, merupakan transmigran. Artinya ada sekitar 12 ribu transmigran, dimana sebagian besar adalah etnis Jawa.

Namun belakangan, mulai masuk komunitas penduduk lain seperti Batak, Nias. Dikatakan Syamsil, mereka yang masuk belakangan ke Silaut bukan transmigran. Mereka datang secara mandiri, dan umumnya bekerja di kebun milik perusahaan sawit.

Perusahaan yang memiliki konsesi besar di Silaut adalah PT Incasi Raya Group lewat bendera PT. Sumatera Jaya Agro Lestari (SJAL). Selain PT SJAL, Incasi Raya Group juga mendirikan PT Transco Energi Utama (TEU), Incasi Raya Sodetan POM (SDTN), untuk menggerakkan perkebunan sawit di Pesisir Selatan.

Menurutnya, keberadaan PT Incasi Raya Group di Pesisir Selatan sejak 1997, menumbuhkan dinamika, polemik, terutama akses beribadah.

Syamsil selaku pimpinan pemerintahan tertinggi di Kecamatan Silaut mengaku bingung dengan mekanisme pekerja di Incasi Raya Group.

Menurutnya,  ketika perusahaan masuk di Silaut, tidak ada memberitahu jumlah karyawan, data demografi lainnya. Hal ini menyulitkannya dalam memetakan status karyawan atau buruh kebun, termasuk dalam hal ini soal agama beserta dinamikanya.

Teranyar, sekira bulan Agustus, pihaknya bersama Forkopimda lainnya di Kecamatan Silaut dan Nagari Silaut, sama-sama turun ke lapangan (ke kawasan perkebunan), diminta pihak perusahaan, terkait soal ibadah umat Kristen di sana.

“Kita turun sama Polsek, masalah ibadah. Kita fasilitasi. Apakah itu masyarakat saya atau karyawan perusahaan itu, saya bingung kadang-kadang. Kalau masyarakat saya, saya pasti tahu. Kadang karyawan itu KTP-nya bukan Silaut. Atau semuanya karyawan itu menjadi masyarakat saya, yah lapor lah. Berapa jumlahnya,” ungkapnya.

Menurutnya, kalau memang bisa memenuhi syarat rumah ibadah, silahkan saja asal sesuai Peraturan 2 Menteri. Yang dimaksud adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Peraturan ini dikenal juga dengan SKB 2 Menteri tentang rumah ibadah.

Basis pendirian rumah ibadah dalam peraturan ini didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk. Ada pun persyaratan khusus yang harus dipenuhi terkait pendirian rumah ibadah, yaitu daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat; dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

Jika persyaratan pertama terpenuhi sedangkan persyaratan kedua belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.

“Bukan larangan. Itu polemik kemarin, antara fungsi rumah ibadah dengan kamp mereka. Kalau betul-betul rumah ibadah, perusahaan wajib memfasilitasi,” tandasnya.

Wali Nagari Silaut Syapril Dani menjelaskan perjanjian antara ninik mamak atau kaum adat dengan Incasi di tahun 1997, sebuah keniscayaan yang harus dipatuhi dan dijalankan. Perjanjian itu menitikberatkan tak boleh mendirikan rumah ibadah selain rumah ibadah muslim yakni masjid atau musala, di wilayah adat Silaut.

“Bahwa tak dibenarkan membuat rumah ibadah. Silahkan beribadah, tapi tidak mendirikan rumah ibadah (rumah ibadah baik gereja, rumah doa), selain dari masjid. Ini sudah kesepakatan. Sudah ditandatangani PT Incasi Raya,” ujarnya.

Lampiran Gambar

“Artinya, kalau nonmuslim masuk Silaut tidak dilarang, namun akses mendirikan rumah ibadah tak boleh,” dia menambahkan.

Perjanjian demikian baginya adalah sebuah harga mati. Bahkan jika mengalir tekanan dari luar atau pun pemerintah di atasnya, ia mengaku tak takut untuk mempertahankan poin-poin perjanjian tersebut.

“Kalau ada tekanan pusat? Silahkan. Kami tetap tak setuju. Saya selaku sebagai walinagari tak takut, berhenti pun menjadi walinagari siap. Karena ini prinsip saya. Khusus soal akses rumah ibadah. Tapi kalau berteman dengan nonmuslim, saya banyak,” jelasnya.

Perjanjian lama ditambah frekuensi yang sama dari Forkopimda kukuh mempertahankannya membuat Incasi Raya tak berdaya dalam menyuburkan toleransi di Kawasan perkebunan.

Padahal apa yang dilakukan oleh komunitas Nias maupun Mentawai yang notabene beragama Kristen, tidak memperjuangkan berdirinya gereja, melainkan lebih kepada bagaimana mereka diberi ruang untuk bisa ibadah bersama-sama dengan tenang.

“Kalau itu tidak bisa komentar. Kalau lihat dasarnya,  sebenarnya setiap warga negara berhak untuk beribadah sesuai kepercayaan masing-masing. Tapi mungkin cara dan tempatnya yang tentunya disesuaikan. Kalau kita di muslim di masjid yang resmi, musala yang resmi. Kan itu yang dilakukan, itu yang kita pahami. Kalau komunitas-komunitas itu kita kan kita gak tahu keyakinan mereka. Kalau masjid banyak di sini,” terang Gusnardi.

“Yang jelas kita ikuti lingkungan kita di sini. Kalau kita siapkan armada kita siapkan sebagai komitmen. Tapi yang namanya pendirian gereja kan ada aturannya,” tukasnya.

Kemenag Dorong Intensifkan Komunikasi

Kepala  Kantor  Kementerian Agama Kabupaten Pesisir Selatan, Abrar Munanda mengaku sudah dapat informasi persoalan beribadah di perkebunan Incasi Raya dari KUA yang membawahi penyuluh.

Menurut Abrar, sebaiknya perlu ditekankan komunikasi sekaitan dengan dugaan pelarangan rumah ibadah yang darurat di Kawasan perkebunan. Ini termasuk solusi memfasilitasi ibadah mingguan ke daerah Muko-muko, Bengkulu.

“Kami dapat laporan, tapi kita tidak bisa langsung mengambil keputusan sepihak dan sebagainya, tapi saya ingin dengarkan dulu, ingin menelaah dulu dari berbagai pihak, kemudian mengkomunikasikannya. Kita sosialisasikan kepada masyarakat bagaimana memupuk kerukunan dan keberagaman itu,” jelasnya.

Menurutnya, penting saling memahami kearifan local dan juga falsafah minang, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK) yang menjadi landasan perjanjian yang mengecilkan ruang ibadah umat lain selain Islam.

“Kalau bicara adat dalam basandi syarak, syarak basandi kitabullah sendiri lakum dinukum waliyadin; bagimu agama mu bagiku agama ku. Mereka silahkan beribadah asalkan tidak menganggu. Ketika merasa ada yang merasa terganggu kita carikan solusinya dengan cara tidak anarkis,” jelas Abrar.

Sekaitan dengan persoalan yang terjadi, pihaknya  akan menugaskan dulu penyuluh ke lapangan untuk memetakan persoalan, dan berkoordinasi dengan pihak Muspika, Kapolsek, serta tokoh-tokoh masyarakat menyikapi perihal ini.

“Termasuk kita komunikasi dengan pihak perusahaan itu seperti apa, apakah yang datang sudah menempuh dengan ketentuan imigrasi kependudukan dan dikoordinasikan dengan pihak pemerintahan setempat,” bilangnya.

Hingga saat ini, Pesisir Selatan termasuk kabupaten yang tidak memiliki gereja. Selain itu, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) pun belum terbentuk.

“Yang kita rancang saat ini bagaimana Pesisir Seatan membuka forum yang disebut dengan forum kerukunan beragama, sehingga ada hal-hal yang rasanya menjadi hal yang tidak bagus bisa langsung terdekteksi dan kita bicarakan dengan forum itu,” ungkap Abrar.

Ketua FKUB Sumbar Duski Samad menegaskan, kalau pendirian rumah ibadah memenuhi syarat, tidak ada alasan menolak.

“Kalau persyaratan dipenuhi, negara menjamin kehidupan beragama, tak boleh ada halangan. Ini segi formal,” ujarnya.

Sementara dari sisi izin lingkungan, menurut Duski perlu diskusi, dialog. “Masjid pun begitu. Harus didirikan atas persetujuan lingkungan. Saling mendengar intinya. Diperlukan kearifan local, di samping rambu-rambu hukum yakni PBM,” katanya.

Ia juga mendorong FKUB Pesisir Selatan harus segera berdiri. Sebab, bilang Duski, pentingnya FKUB di kabupaten kota, bisa menyelesaikan persoalan keagaaman lebih banyak melalui pendekatan dialog.

“Di Pasar Usang (Kabupaten Padang Pariaman) sejak tahun 1918, Kristen di sana, punya gereja, tak ada heboh-heboh. Itu karena kearifan lokal di sana menerimanya. Jadi tak cukup peraturan formal saja, perlu berembuk. Maka penting FKUB,” tandasnya.

Tak Ada Umat Kristen di Sumbar Ngotot Mau Mendirikan Gereja

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan populasi Sumatra Barat di tahun 2022 berjumlah 5.640.629 jiwa. Mayoritas populasi beragama Islam, dengan angka 5.528.423. Sisanya, secara berurutan adalah Kristen sebanyak 85.548 jiwa, Katolik 47.301 jiwa, Buddha 3.345 jiwa, dan puluhan orang memeluk Hindu dan juga Konghucu.

Kondisi ini membuat nuansa Islam sangat mengental dalam kehidupan orang Minang (etnis mayoritas di Sumatra Barat). Dalam pandangan orang Minangkabau, Islam tidak hanya sebagai referensi perilaku sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Islam juga merupakan salah satu identitas etnis. Dalam perspektif antropologis, antara Islam dengan orang Minangkabau merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Di masa lalu, pedoman hidup diterbitkan dengan nama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Ini filosofi hidup yang dipegang dalam masyarakat Minangkabau, yang menjadikan Islam sebagai landasan utama dalam tata pola perilaku dalam nilai-nilai kehidupan. Dengan kata lain, ABS-SBK merupakan kerangka kehidupan sosial baik horizontal-vertikal maupun horizontal-horizontal. Dan temporer, UU nomor 17/2022 tentang Provinsi Sumatera Barat mengatur adat budaya Minangkabau berdasarkan falsafah ABS-SBK.

ABS-SBK kemudian menjadi kredo, melandasi sejumlah penolakan terhadap tumbuh kembang agama di luar Islam di Sumatra Barat, pengecualian Kepulauan Mentawai. Sumatra Barat memang terbuka dalam sisi asimilasi budaya atau etnis tertentu, tapi sangat saklek dengan agama. 

Secara total pemeluk Kristen dan Katolik berjumlah 132.849 (BPS: 2022), dengan jumlah gereja 277 di 19 kabupaten dan kota. Jika ditotal dengan Rumah Doa, maka keseluruhan rumah ibadah Kristen dan Katolik berjumlah 355. (data Kemenag Sumbar).

Dari 19 kabupaten kota, ada beberapa kabupaten kota tak memiliki gereja. Padahal di daerah tersebut ada penganut agama Kristen  maupun Katolik. Untuk agama Kristen, 10 kabupaten dan kota tercatat tak punya gereja yakni, Pesisir Selatan, Solok, Sijunjung, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Solok Selatan, Kota Solok, Kota Padang Panjang, Payakumbuh, dan Pariaman.

Di daerah yang tak ada gereja, ibadah mingguan menjadi tantangan tersendiri. Ada yang harus menempuh perjalanan melelahkan, berjam-jam, mengakses gereja terdekat di kota lain. Misal dari Pesisir Selatan ke Kota Padang, atau Pariaman ke Padang. Solusi lain selama ini, mereka beribadat di aula atau rumah yang disediakan Kodim di masing-masing kota. Dan tentu saja ada pelarangan ibadah di lokasi yang dikondisikan sebagai Pos PI.

Walakin, kerumitan umat Kristen dan Katolik beribadah ini menjadi dilematis tatkala mereka kebanyakan pasrah dengan keadaan. Pembimas Kristen Yesri Elfis melihat umat Kristen di Sumbar menyesuaikan saja dengan kondisi seperti itu, tak terlalu ngotot untuk bisa mendirikan rumah ibadah, karena ada rasa trauma.

"Maka itu, mereka cenderung hanyut dalam filosofi yang ada di Minang yakni dima langik dipijak di sinan langik di junjuang (artinya adaptif dengan lingkungan tempat tinggal)," ujar Yesri.

Pelarangan Ibadah atas Dalih Apa Pun Bertentangan dengan Hukum

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang melihat Sumbar karena mayoritas Islam, seringkali kurang memperhatikan hak asasi untuk beribadah bagi komunitas di luar Islam. Dalam pemetaaan yang dilakukan, perintangan beribadah bukan saja terjadi di sejumlah titik di areal perkebunan Incasi Raya di Pesisir Selatan, tapi juga di Kawasan perkebunan besar lainnya seperti di Dharmasraya.

Polanya, menurut Direktur LBH Padang Indira Suryani, awalnya di kampung sekitar perkebunan hanya Islam, dan kemudian datang orang bukan Islam untuk hidup di sana, sebagai pekerja.

Hal ini tentu ironi, mengingat antusiasme Sumatra Barat sendiri akan investasi. Padahal pertumbuhan ekonomi di sektor perkebunan mendorong pekembangan ketenagakerjaan. Para pekerja dari dari berbagai daerah, dengan latar agama yang berbeda amat dibutuhkan pengusaha perkebunan. Sehingga membuat Sumbar kian beragam.

“Seringkali pelarangan beribadah di Sumbar muncul dari niniak mamak atau berlabel KAN. Tentu saja ini melanggar UU,” ujar Indira.

Hak kebebasan beragama dijamin dalam Pasal 29 ayat dua UUD 1945, yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Menurut Indira, harusnya dalam permasalahan ini, pemerintah daerah harus punya perspektif mengakomodasi kebutuhan setiap warga. “Pelarangan-pelarangan ibadah atas nama perjanjian atau kesepakatan itu tak sesuai dengan hukum. Karena ini sesuatu yang bukan halal, dalam perjanjian klausa yang halal, atau yang dibolehkan oleh hukum. Di sini kemudian, pemahaman agama yang insklusif itu dipraktikkan semua pihak. Bukan kemudian atas nama adat dan agama melarang orang beribadah, dengan dalih ini sebuah kesepakatan. Apalagi pelarangan ini dari otoritas, misal di pemerintahan bawah dan KAN,” kata Indira.

Indira menambahkan, Pemda mesti cermat melihat data dan situasi demikian. “Khusus orang Minangkabau mestinya tidak ada alasan mereka untuk berpikir, bertindak toleran. Dilihat dari perspektif Islam, Islam adalah agama perdamaian. Menyerukan perdamaian bagi semua orang walau berbeda agama. Kita punya kode etik untuk menghargai perbedaan, melindungi minoritas,” jelasnya.

Lalu,  dari perspektif adat, pemikiran normal-normalnya cukup inklusif, tapi ditafsirkan dengan sesuatu yang ekseklusif. “Tidak melihat fakta keberagaman itu. Padahal banyak nilai-nilai adat kita mengajarkan keberagaman. Misal ketika Natsir bersuara soal pendirian rumah sakit Kristen di Bukittinggi, terjadi pro kontra. Natsir dengan tegas mengatakan, api kita saja dipertarang (diterangkan), tapi api orang jangan dipudurkan. Mereka punya hak mendirikan rumah sakit,” beber Indira.

Menurut Indira, dalam perspektif HAM, Islam dan adat itu nilainya sama dalam HAM. Dalam HAM orang berhak beribadah, dilindungi beribadah. “Sebagaimana kita dalam Islam, kita berhak mendirikan masjid, begitu juga orang Kristen berhak mendirikan gereja, atau orang Budha berhak mendirikan wihara,” tukas Indira.

Dosen UIN Imam Bonjol Padang yang juga Ketua Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Muhammad Taufik menilai, persoalann dalam kasus pada PT Incasi Raya Grup di Pesisir Selatan sepertinya perusahaan berada pada titik antara pemenuhan hak konstitusi karyawan atau buruhnya dengan komitmen dengan ninik mamak.

Menurut Taufik, kondisi ini semestinya diketengahi oleh pemerintah daerah. “Dan ninik mamak perlu diberikan pemahan tentang keberadaan dan fungsi rumah ibadah bagi pemeluk agama, dengan mencoba menghilangkan prasangka-prasangka seperti tentang gerakan kristenisasi jika umat kristiani diberi ruang dan kebolehan untuk mendirikan rumah ibadat atau lain-lain,” bilangnya.

Teranyar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama, pada tanggal 25 September 2023.

Tujuannya, untuk penguatan harmoni dan kerukunan umat beragama, serta peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama. Dalam Pasal 3 Perpres 58/2023 disebutkan, bahwa penguatan moderasi beragama dilaksanakan untuk penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama secara moderat untuk memantapkan persaudaraan dan kebersamaan di kalangan umat beragama.

“Penyelarasan relasi cara beragama dan berbudaya; serta pengembangan ekonomi umat dan sumber daya beragama,” demikian bunyi Perpres 58/2023.

Pasal 5 diatur, bahwa penguatan moderasi beragama diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara terencana, sistematis, koordinatif, kolaboratif dan berkelanjutan. Penyelenggaraan penguatan moderasi beragama dituangkan dalam dokumen perencanaan tahunan kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 “Penyelenggaraan penguatan moderasi beragama dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat; pengikutsertaan dilakukan dalam bentuk sosialisasi, advokasi, pendampingan dan/atau kegiatan lain,” sebut Pasal 8 Perpres 58/2023.

Taufik menjelaskan, dalam sejarahnya,  regulasi pendirian rumah ibadah ini mengalami dinamika. Di awali dengan SKB 2 Menteri  No 1/BER/ mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya.

SKB ini kemudian mengalami perubahan keperaturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 (selanjutnya disebut Perber 2 Menteri). Peraturan ini mengatur lebih detil mulai dari persyaratan pendirian rumah ibadah, rumah ibadah sementara, izin sementara pemanfaatan gedung, hingga kelembagaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

“Dari persyaratan yang mesti dipenuhi oleh peraturan tersebut akan mengalami problem terutama pada keadaan sosial yang beraneka ragam di Indonesia,” ujar Taufik.

Menurutnya, pemenuhan persyaratan yang ada dalam pertauran tersebut akan sangat tergantung situasi sosial masyarakat. Pada daerah tertentu bisa saja semua persyarataan itu terpenuhi namun di daerah lain tidak bisa, apalagi pada daerah yang tingkat toleransi masyarakatnya rendah.

“Pada masyaralat toleransinya rendah maka persyaratan tersebut akan sulit dipenuhi karena akan muncul resistensi dan penolakan dari masyarakat dengan berbagaimacam argumentasi yang tentu saja di luar norma hukum yang ada. Ditambah lagi dengan pendekatan mekanisme kuantitatif sebagai persyaratannya akan membuka peluang terjadinya manipulasi oleh sebab itu pendekatan kualitatif yaitu adanya argumen yang jelas dan logis jika terjadi penolakan atau persetujuan,” terangnya.

Problem lain, sebut Taufik, juga muncul pada level pemerintah, kadang dalam konteks pemerintah tidak melihat seutuhnya bahwa pemenuhan hak konstitusi masyarakat karena pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Dan itu dijamin oleh UUD 45 dan HAM.

“Namun dalam banyak kasus pemerintah “kalah” oleh tekanan sebagian kelompok masyarakat sehingga yang dilakukan oleh pemerintah tidak lagi pemenuhan hak konstitusi masyarakat namun lebih “memaksa” melakukan politik harmonisasi bagi kelompok yang berkepentingan terhadap pendirian rumah ibadat tersebut. Ini terjadi bagi pemerintah yang abai dan tidak mau berhadapan dengan kelompok penekan.”

Apalagi dalam kontek masyarakat yang menjadi karyawan sebuah perusahan, penyediaan tempat ibadah oleh perusahan tertuang dalam Undang-undang No. 13 tentang Ketenagekerjaan, khususnya Pasal 80 bahwa “Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.”

“Makna “memberikan kesempatan yang secukupnya” tersebut adalah menyediakan tempat untuk ibadah yang memungkin pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan,” ujar Taufik.

Bahkan ini dipertegas lagi dengan pasal 100 ayat 1 dalam UU yang sama bahwa “untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejakteraan.”

Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah, fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan dan fasilitas rekreasi.

Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM RI Sumatera Barat Sultanul Arifin menguatkan bahwa larangan beribadah dan pembubaran beribadah termasuk dalam kelompok hak yang disebut dengan Non Derogable Rights (hak yang tidak bisa dikurangi dalam bentuk apapun dan dalam kondisi apapun).

"Perusahaan tidak boleh merintangi, melarang dan membubarkan orang beribadah. Sebab itu bertentangan dengan pasal 4 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM," ujarnya.

Di tengah keterbatasan fasilitas ibadah yang didapat, buruh beragama Kristen asal Nias yang bekerja di Incasi Raya tetap menyelipkan doa-doa terbaik untuk perusahaan dalam tiap ibadat Minggu.

“Engkau berkati pimpinan-pimpinan perusahaan (Incasi) ya Tuhan, sehingga mereka semakin memperhatikan kehidupan kami. Dan tanaman sawit yang telah ada di sini, engkau berkati ya Tuhan, biar menjadi sawit dengan buah melebat, untuk kami panen, untuk kami mendapatkan hasil yang bagus, untuk menguatkan kami,” lafal Anjes Rifan Zai, 39, selaku Wakil Koordinator Pos Pekabaran Injil (PI) Kamp H17, yang kemudian diaminkan oleh puluhan orang jemaat pada ibadat Minggu, Minggu (10/9/2023).

Menurut Anjes,  tiap ibadah Minggu perusahaan selalu didoakan, sebagai bentuk rasa terima kasih atas berkat Tuhan. Sebab, ujarnya, dari perusahaan mereka dapat rezeki. “Dan harapan kita tentu kita dipedulikan sebagai bagian dari bisnis perusahaan. Makanya sawit didoakan, yang subur, sehat, berbuah lebat. Ini menjadi kewajiban, karena kita semua bekerja untuk Incasi,” pungkas Anjes. (*/)

Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #SemuaBisaBeribadah oleh
12 media lokal dan nasional bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang
terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS).

Baca Juga

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menetapkan 17 bandara udara di Indonesia berstatus bandara internasional. Sebelumnya ada 34 bandara
Kemenhub Tetapkan 17 Bandara Internasional, Salah Satunya BIM
Pameran Foto dan Seni Rupa Di Bawah Kuasa Naga, Sebuah Kritikan pada Kebijakan Pariwisata
Pameran Foto dan Seni Rupa Di Bawah Kuasa Naga, Sebuah Kritikan pada Kebijakan Pariwisata
Kandaskan Korea Selatan Lewat Adu Tos-tosan, Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U-23
Kandaskan Korea Selatan Lewat Adu Tos-tosan, Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U-23
99 Tahun Gedung De Javasche Bank Padang (1)
99 Tahun Gedung De Javasche Bank Padang (1)
Seorang operator excavator yang melakukan pengerukan material lahar dingin di Kelok Hantu Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat (Sumbar),
Seorang Pekerja Normalisasi Sungai di Kelok Hantu Meninggal akibat Terseret Arus Sungai Berhulu Gunung Marapi
Pemkab Pesisir Selatan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Bahas Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
Pemkab Pesisir Selatan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Bahas Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan