Salafy, Bonus Demografi dan Sikap Kita

Salafy, Bonus Demografi dan Sikap Kita

Dok. Pribadi

Tanpa sengaja, beberapa hari ini saya mengikuri diskusi menarik tentang semakin menyebarkan pandangan hidup (worldview) kelompok salafy di tengah masyarakat. Yaitu, suatu cara pandang yang ingin mengembalikan seluruh persoalan hidup kepada apa yang dilakukan oleh para salaf al-salih; orang-orang terdahulu (tiga generasi setelah kehidupan nabi Muhammad saw).

Saya meyakini bahwa seluruh ulama sepakat dengan keutamaan generasi awal tersebut. Namun, yang menjadi persoalan adalah sikap kelompok salafy yang sering menuding bid’ah, kafir, atau sesat terhadap pandangan lain yang menuruk mereka, bertentang dengan pandangan hidup mereka.

Bila salafi menjadikan salaf al-salih sebagai role model dalam kerangka ideologisasi, maka ahlu al-sunnah wa al-jama’ah (aswaja) mengambil jalan metodologis; mengambil cara berfikir salaf al-salih yang pada dasarnya telah diekstrak oleh imam mazhab dan tasawuf.

Akan tetapi, apakah kita akan terus mengulangi perdebatan tidak berkesudahan terhadap isu-isu furu’ tentang istawa, ziarah kubur, maulid nabi, zikir, tasawuf dan lainnya? Siapa yang diuntungkan atas perdebatan ini?

Saya meyakini bahwa upaya menjawab tudingan-tudingan miring kelompok salafi bukan atas kehendak mengubah pandangan hidup mereka. Tidak. Sebab, semakin disanggah, maka akar tunggang pandangan hidup Salafy semakin mencekam ke alam bawah sadar mereka yang menyakininya. Sebaliknya, tujuannya adalah agar masyarakat umum memahami konsep Islam yang ramah, damai, dan toleran. Tapi, apakah tidak ada jalan lain?

Bonus Demografi

Imam Ali r.a. pernah mengatakan “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir”. Ungkapan ini bisa menjadi evaluasi kritis terhadap cara kita menyikapi dakwah kaum salafi. Jika terus terjebak pada isu-isu permukaan, cukup beralasan bila pada ujungnya, pengaruh salafi semakin mendominasi. Mengapa?

Saat ini, Indonesia tengah menikmati bonus demografi. Ini ditandai dengan meningkatnya kelompok usia produktif, sehingga ruang-ruang ekonomi diharapkan diisi oleh kreatifitas dan produktifitas. Bila terkelola dengan baik, bonus demografi akan menghantarkan Indonesia menjadi the raising state di kawasan Asia Tenggara dengan GDP tertinggi. World Bank memprediksi pada tahun 2024, Indonesia mencapai target ini.

Lalu apa hubungannya dengan dominasi kelompok salafi?

Bonus demografi juga bisa dimaknai sebagai semakin meningkatnya kebutuhan manusia. Bila spiritualitas menjadi persoalan serius pada masa modernis, maka kebutuhan terhadap agama yang bisa mengisi spiritualitas manusia tentu semakin meningkat di masa pos modernis dan/atau era digital ini.

Sekalipun ada prediksi bahwa agama akan digantikan oleh Artificial Intelegent (lihat: God and robots: Will AI transform religion? di https://www.bbc.com/news/av/technology-58983047, namun ini justeru menjadi pertanda spritualitas semakin dibutuhkan manusia. Namun, penting juga disadari bahwa keadaan ini seturut dengan semakin dominannya cara berfikir positivistik-pragmatis di tengah masyarakat.

Meningkatnya kebutuhan akan spiritualitas dan kehidupan yang semakin positivistik-pragmatis, menjadi tantangan sendiri terhadap dakwah keagamaan. Digitalisasi semakin memudahkan orang mengakses berbagai informasi, termasuk tentang ajaran agama, sekalipun kesahihan informasi tersebut jarang dipertanyakan.

Kita tentu tidak bisa menyalahkan kemalasan publik mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut. Lagi-lagi ini disebabkan oleh pola hidup yang semakin dikendalikan oleh aturan main “cepat saji”. Aku Klik maka Aku Ada, itulah gambaran manusia digital, seperti ditulis F. Budi Hardiman.

Pada ruang-ruang yang terlipat dalam laju informasi yang semakin cepat itu, kelompok salafy menanamkan benihnya. Cara berfikir yang hitam-putih dan penuh kepastian yang disajikan melalui media-media digital tadi, merupakan informasi yang paling mudah diakses oleh generasi milenial terlebih generasi Z.

Sikap Kita

Bila kelompok Salafy telah berhasil mengelola segmentasi pasar raya dakwahnya, maka tantangan serius justeru terletak pada aswaja. Didukung penuh oleh negara melalui program moderasi beragama, saya justeru melihat ada perasaan terancam (feeling threatened) yang cukup kuat di kalangan elit aswaja.

Saya katakan elit, karena fenomena ini tidak begitu serius di tengah masyarakat umum. Di luar mereka yang secara jelas mengikuti salah satu pandangan itu, terdapat kelompok masyarakat yang justeru resah dengan perdebatan di ruang publik antar tokoh agama hanya karena perbedaan cara pandang. Jika ini terus terjadi, patut kita renungkan bersama, siapa yang diuntungkan dari hal ini?

Saya termasuk orang yang resah dengan perdabatan tak kunjung usai, saling meninggikan “goti” masing-masing kelompok. Akan tetapi, bukan berarti saya membenarkan cara pandang kelompok salafy yang memang meresahkan dan sengaja membakar amarah.

Salafy adalah fenomena alamiah dari dinamika sosial yang justeru menantang kita untuk menemukan titik keseimbangan; yaitu berupa jalan tengah, mengetengahi cara pandang yang berkembang. Untuk itu, yang diperlukan adalah toleransi dan co-existence, seperti ditegaskan Kahrudin Yunus pada tahun 1956.

Jika semangat moderasi ditumbuhkan dari akar dominasi, maka yang terjadi adalah ketidakadilan struktural. Ia pada ujungnya akan menjadi tafsir tunggal yang bisa saja menduplikasi wajah buruk radikalisme maupun liberalisme.

Dalam keadaan itu, kita butuh mengatur strategi dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Sudahi nyinyiran tidak penting bahwa terdapat juru dakwah yang mengejar motif materialistik dalam berdakwah. Tanpa kita sadari, sekalipun motif itu buruk, tapi terkelola dengan baik.

Lalu, mengapa kita tidak bisa mengelola motif yang baik dengan strategi yang baik pula? Sementara kita sibuk mengkonter narasi Salafy tentang maulid dan ziarah kubur, misalnya, mereka justeru menggunakan perangkat adat dan budaya untuk menyebarkan pandangan hidup Salafy. Minang Bertauhid adalah contoh infiltrasi yang cukup berhasil dilakukannya.

Sudah jadi rahasia umum bahwa ada kekuatan modal yang membiayai dakwah Salafy. Ini menunjukkan bahwa aktifitas dakwah memerlukan harta. Untuk itu, kita perlu mendayagunakan potensi yang ada untuk tujuan itu. Ini bisa dilakukan, misalnya, dengan memanfatkan media sosial yang ada.

Saya sangat prihatin, jumlah subscriber Kanal Youtube Kaji Surau jauh tertinggal dengan Kanal Surau TV atau Minang Bertauhid yang merupakan media dakwah kelompok salafi. Ini terkesan sepele, namun mencerminkan betapa lemahnya cara kita mengelola kekuatan modal sosial yang telah dimiliki.

Dengan 149K subscriber, Kanal Minang Bertauhid memiliki modal lebih dalam aktifitas dakwahnya. Wajar bila pengaruh mereka semakin menguat dan menyebar ke seluruh elemen. Sementara “kaji” kita, berputar di sekitar kita saja.

Pada ujungnya, bila mereka militan dalam menyebar cara pandang salafy, mengapa militansi kita justeru terfokus membendung arus salafy. Bila terus dibendung, tiba masanya air bah salafi akan menenggelamkan kita semua. Yang kita butuhkan adalah mengalirkan aswaja ke setiap parit-parit kehidupan masyarakat. Bila tidak, parit-parit itu akan diisi oleh limbah Salafy yang kita bendung di hilirnya.

*Direktur Eksekutif Bersama Institute

Baca Juga

Lirih Transpuan Padang, Luruhnya Sebuah Kehidupan
Lirih Transpuan Padang, Luruhnya Sebuah Kehidupan
Buka Festival Multi Etnis, Hidayat: Semua Etnis Hidup Berdampingan di Sumbar
Buka Festival Multi Etnis, Hidayat: Semua Etnis Hidup Berdampingan di Sumbar
Rangkaian Atraksi Budaya Festival Pusako Beri Pesan Kelestarian
Rangkaian Atraksi Budaya Festival Pusako Beri Pesan Kelestarian
Hindari Politisasi Agama Jelang Pemilu 2024, Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman Mestinya Diterapkan
Hindari Politisasi Agama Jelang Pemilu 2024, Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman Mestinya Diterapkan
Sulitnya Jemaat Kristiani Beribadah di Perkebunan Sawit Sumbar
Sulitnya Jemaat Kristiani Beribadah di Perkebunan Sawit Sumbar
Merawat Keberagaman, Anak Muda Bukittinggi Kunjungi Rumah Ibadah
Merawat Keberagaman, Anak Muda Bukittinggi Kunjungi Rumah Ibadah