Lirih Transpuan Padang, Luruhnya Sebuah Kehidupan

Lirih Transpuan Padang, Luruhnya Sebuah Kehidupan

Foto: Yose Hendra

Langgam.id - Dia, tak bisa menyembunyikan lara di tiap tawa yang dipancarkan, tatkala berbincang santai, awal November ini. Pilihan Dia menjalani hidup sebagai transpuan mengorbankan banyak hal. Sejak 2004, dia keluar rumah yang masih berada di Padang dan memilih indekos di kota yang sama. Rentang waktu hingga sekarang, sekali-kali ia pulang ke rumah, namun sebentar saja. Ia lalu kembali ke kontrakan.

Musababnya menurut Dia, karena keluarga tak nyaman dengan celotehan orang-orang sekitar. Dia memutuskan sebagai transpuan karena ekspresi gender feminin.

Konsekuensi semua itu, lingkungan menjadi tak menerimanya. Stigmatisasi kerap diterimanya, termasuk kala berurusan dengan pelayanan publik. Pernah suatu waktu pada 2015, Dia membuat KTP di kantor kelurahan yang mewajibkan dia menjalani sesi pemotretan, petugasnya tidak percaya. Sebab, kata Dia, saat ia datang petugas mendapati dirinya berdandan layaknya pedusi atau perempuan. Padahal, di formulir KTP, tertulis jenis kelamin laki-laki.

Alhasil, pihak kelurahan minta pembenaran atau verifikasi kepada keluarga. Sesampainya di kantor kelurahan, bilang Dia, lurah cekcok dengan keluarganya karena orang tua menyatakan dirinya laki-laki, meski tampilan sangat jelas pedusi.

“Itu untuk verifikasi. Singkat cerita, diambil foto saya. Tetap konsisten penampilan pedusi,” ujarnya.

Kepercayaan diri tampil sebagaimana adanya, berujung jua dengan kesuksesan mendapatkan KTP. Pihak Disdukcapil tetap memproses dan memberikan KTP kepadanya.

Di ruang publik lainnya, stigmatisasi berkelindan dengan nama yang menempel di KTP-nya. Seperti di salah satu rumah sakit swasta di Padang, Dia pernah disebut bapak saat pemanggilan untuk mengambil obat. Nah, ungkap Dia, kala ia berdiri tegak, dengan karakter perempuan, dirinya dan petugas saling memandang. Petugas itu melongo saja.

Kehidupan transpuan di Padang penuh liku. Kebanyakan mereka berangkat dari keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah. Lalu takdir yang menghendaki mereka menjadi transpuan, membuat mereka hidup terpisah dari keluarga alias sebatang kara. Hal ini demi menghindari konflik keluarga atau pun cemeeh (hinaan atau cemooh) yang memanaskan kuping telinga, menggelegakkan jiwa dari lingkungan sekitar. Mereka akhirnya kebanyakan memilih indekos.

Widya dan Adek misalnya, harus bertransaksi untuk bertahan hidup. Dulu metodenya mangkal di titik tertentu, tapi sekarang mereka harus adaptif dengan teknologi komunikasi. Bertransaksi diri lewat aplikasi pesan pendek.

Sementara Dia sedikit lebih baik. Setidaknya kesulitan finansial teratasi dengan bekerja pada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada isu HIV dan Aids, serta kelompok rentan lainnya.

“Persoalan terbesar yang dihadapi adalah persoalan keuangan,” kata Adek.

Dulu di kala mangkal, Adek mengaku, masih bisa menyisihkan sedikit pendapatan untuk diberikan ke keluarga. Namun sejak bertransaksi secara digital, keuangannya tak menentu. Kadang hari ini dapat satu pelanggan, namun berhari-hari kemudian kosong.

Padahal, ungkap Adek, ia harus membayar uang kontrakan, memenuhi kebutuhan dandan dan tentu saja makan sehari-hari.

“Untuk memenuhi semua itu, butuh Rp 2 juta tiap bulan,” ujar Adek.

Adek merupakan anak bungsu dari 7 bersaudara. Ia merasa nyaman sebagai perempuan sejak masa SD. Ia menegaskan, pilihan menjadi transpuan adalah takdir. “Rambut ini bentuknya mohawk, tapi hati ini tetap maunya perempuan. Siapa mau melawan hati. Jiwa itu nan pedusi (perempuan),” ujarnya.

Antropolog yang mengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta Koeswinarno mengatakan, lahirnya waria ini sangat dipengaruhi oleh kromosom yang terbentuk sejak manusia dalam janin.

“Kromosom ini merupakan penentu, walaupun bukan satu-satunya, tingkah laku, dan orientasi seksual manusia,” tulis Koeswinarno dalam buku Hidup sebagai Waria.

Sementara Widya, sejak tahun 2006 telah eksis menjadi transpuan di Kota Padang. Sejak tahun 2006 hingga 2019, dirinya pernah mangkal di Kawasan GOR H. Agus Salim. Sejak itu pula, ia hidup sendirian, meski orang tuanya tinggal di kota yang sama. Adapun titik mangkal transpuan di Padang sebelum bermigrasi ke gelanggang digital, adalah di Banda gereja, GOR, dan Markas Korem.

Transpuan dalam Perspektif Islam

Sosiolog Universitas Islam Negeri Imam Bonjol (UIN IB) Padang, Muhammad Taufik menyebutkan, Islam memandang penentuan dan penetapan jenis kelamin menjadi penting karena ini akan berdampak pada hukum berdasarkan jenis kelamin khususnya yang berkaitan dengan waris, imamah (kepemimpinan), jemaah, nikah dan lain-lain. Islam mengenal jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Namun dalam faktanya, ada ditemukan jenis kelamin yang diragukan apakah perempuan atau laki-laki.

“Kecenderungan ulama jenis kelamin sebagaimana yang disebutkan di atas nyaris ulama tidak beda pendapat. Kecenderungan melihat bentuk kelamin dan indikasi biologis seks lainnya seperti keluarnya sperma, tumbuh payu dara, darah haid dan lainnya. Jadi fikih dalam menetapkan itu lebih pada dominasi bentuk kelamin atau melihat operasial kelamin tersebut,” ujar Ketua Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang ini. 

Selain dua di atas, Taufik menambahkan, dikenal juga dengan istilah yang sama sekali tidak berkaitan dengan bentuk kelamin yaitu pertama, mukhannats (transpuan) yaitu laki-laki yang berprilaku atau berpenampilan seperti perempuan pada fisiknya laki-laki. Kedua, yaitu sebaliknya, mutarajjilah, yaitu perempuan yang berprilaku atau berpenampilan seperti laki-laki pada fisiknya perempuan.

Taufik melanjutkan, kemudian dalam perkara mukhannats di atas, ulama termasuk Imam Nawawi, menjelaskan mukhannats alami dan dibuat-buat (dikonstruksi), yaitu laki-laki yang feminim dan gemulai tanpa disengaja,  dianggap tidak berdosa sesudah ia tetap berupaya dan berusaha mengubah prilakunya itu.

Abdul Muiz dari Insitut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon menyebutkan, waria dalam fikih masih belum banyak disentuh oleh ulama. Menurutnya, hukum-hukum tentang waria yang ada sekarang ini pada umumnya tidak menukik pada eksistensi waria yang sebenarnya. Sebaliknya, hukum itu lebih sebagai generalisasi terhadap dzahir (lahir) waria semata yakni jenis kelaminnya.

“Pengharaman dan bahkan tuduhan terhadap waria sebagai orang abnormal ternyata bertentangan dengan pendapat ulama klasik seperti Ibn Hajar dan al Nawawi. Keduanya mengatakan waria ada yang memang diciptakan oleh Allah. Teks al Qur’an juga mengakui bahwa ada laki-laki yang tidak berhasrat secara seksual kepada perempuan. Dengan demikian, maka wajar apabila hukum-hukum itu banyak ditentang oleh waria sehingga menuntut waria untuk berijtihad sendiri untuk menemukan hukum-hukum yang berhubungan dengan dirinya,” jelas Abdul dalam sebuah jurnal berjudul Benang Kusut Fiqh Waria (Analisis Kritis Terhadap Polemik Identitas Waria Dalam Islam.

“Dan kenyataannya, jika ditilik lebih dalam lagi ke dalam teks-teks fikih klasik tidak ada pertentangan seperti tentang pakaian dan saf dalam salat,” tukasnya lagi.

Persoalan Transpuan Berkorelasi dengan Pendidikan

Keterbatasan transpuan mengakses dunia pekerjaan sangat berkorelasi dengan pendidikan.  Mereka mengeyam perundungan sejak di bangku sekolah. Dan kondisi ini kerap kali, membuat mereka jarang mengenyam pendidikan di level lebih tinggi.

Direktur LBH Padang Indira Suryani mengatakan,  permasalahan pekerjaan tak layak yang dijalani transpuan dimulai dari pencerabutan mereka mendapat pendidikan. Menurut Indira, ada transpuan di sekolah dirundung karena dianggap salah. Ini membuat mereka tak nyaman.

“Dimulai perampasan atas pendidikan sehingga pendidikan mereka tak layak. Di sini pemerintah tak mampu menyediakan lingkungan pendidikan yang inklusif, tak menerima ekspresi gender. Maka sektor swasta akan berpikir seperti itu. Setahu saya tak ada transpuan yang berkuliah,” ungkap Indira.

Menurut Indira, dari perspektif HAM, pembatasan akses dengan pembuatan persyaratan gender berupa laki-laki atau perempuan, adalah sebuah diskriminasi. “Diskriminasi ini yang terjadi terus menerus. Pemerintah juga membuat transpuan di posisi korban sweeping melalui Satpol PP. Dan ini jadi problem berikutnya ketika pemerintah tak mampu menyediakan pekerjaan yang inklusif,” kata Indira.

Permasalahan ini berentetan dengan kemiskinan mereka. Usaha mencari pekerjaan lebih baik terbentur dengan persyaratan berupa jenis kelamin laki-laki dan perempuan saja. Tak ada pilihan ekspresi gender.

Maka mereka cari ke pekerjaan yang sektor informal, yang juga bagian diterima di komunitas mereka seperti salon dan pergi orgen tunggal.

“Dan memang sektor-sektor seperti ini yang tersedia bagi mereka. Jarang mereka kerja di kafe atau marketing,” tukas Indira.

“Saya mendorong pemerintah membuka pendidikan untuk setiap orang. Setiap orang berhak mengakses pendidikan. Itu kuncinya mengubah nasib transpuan,” ujar Indira lagi.

Maka, sambung Indira, jangan langsung disalahkan, kalau ada transpuan melakukan dugaan kriminalitas.

“3 orang kasus transpuan yang ditangani Polresta Padang karena diduga melakukan kejahatan pemerasan dan kekerasan seksual terhadap driver online, perlu dilihat apakah dalam kasus itu mereka melakukan tindakan pidana, mereka tak terpenuhi hak atas pekerjaan mereka, tak punya pekerjaan yang baik, sudah memenuhi kebutuhan hidup, maka mencari uang untuk bertahan,” tandasnya.

Transpuan itu Kelompok Rentan, Tapi Minim Dijangkau Bantuan Sosial

Widya, Dia maupun Adek telah meneguhkan identitas gender mereka sebagai transpuan. Namun eksistensi dan ekspresi gender demikian kerap berujung diskriminasi, menyempitnya akses ruang pekerjaan.

Ketiganya pernah bekerja di salon. Untuk Adek, dia juga punya kecakapan dalam bernyanyi, sehingga pernah menjadi biduan. Namun pekerjaan itu tak bisa bertahan lama karena penghasilan yang didapatkan sangat kecil.

“Tahun 2010-an, kerja salon sama orang di Gunung Pangilun. Upah dapat 20 persen per pangkas. Paling dapat sehari Rp 50 ribu,” kata Adek.

Kondisi penghasilan itu tak mencukupi kebutuhan bulanan. Rata-rata tiap bulan, pengeluarannya minimal Rp 2 juta. Mangkal dengan tujuan menjaring tamu, menjadi salah satu pilihan kerja yang dilakoni. Dalam gelanggang mangkal banyak dinamika yang mereka hadapi. Ragam tamu atau pelanggan, kadang dapat tamu kadang tidak, dan sering diuber Satpol PP.

“Mangkal karena terpaksa, karena tidak tampak bayangan kerja. Perut lapar, orang tidak menolong,” ungkap Widya.

Mereka bisa bertahan hidup atas dasar pencarian sendiri. Mengadu ke keluarga pun tak mungkin. Sebab mereka umumnya berasal dari keluarga kurang mampu. Bahkan sudah yatim pula.

“Dulu ayah berdagang, dan sudah meninggal tahun 2009. Sementara ibu hanya ibu rumah tangga,” tukas Adek.

Sementara itu, ayah Widya bekerja sebagai tukang harian. Namun telah bercerai dengan ibunya. Kondisi ini membuat mereka sebetulnya bertekad membantu keuangan keluarga. Namun apa daya, penghasilan tak menentu, sehingga sulit memberi orang tua maupun keluarga lain uang.

“Untuk sekarang susah ngasih uang. Untuk makan saja susah. Waktu mangkal rutin, karena penghasilan berlebih. Kalau mangkal, setidaknya per hari dapat Rp 100-200 ribu,” jelas Widya.

Penghasilan mereka salah satunya dipengaruhi faktor pandemi covid-19 beberapa tahu lalu. Pembatasan aktivitas di luar membuat pelanggan sepi. Penghasilan jadinya menurun drastis. Lalu datanglah teknologi aplikasi pesan pendek. Beralih ke aplikasi pesan pendek untuk menjaring tamu, volumenya tak sebanyak kala mangkal.

Mengandalkan aplikasi, Adek dan kawan-kawan dirundung penghasilan tak menentu. Hal ini mengacu pada minimnya tamu yang didapat. “Misal hari dapat Rp 300 ribu atau pun Rp 1 juta hari ini, namun seminggu berikutnya zonk,” ujarnya Adek. Pendapatan itu tak bisa disisihkan untuk menabung.

Kondisi demikian entah sampai kapan melanda mereka. Seiring itu pula, bayangan masa depan di pelupuk mata mereka masih kabur. Mereka sebetulnya menyadari, usia yang mungkin masih bisa bersaing di pasaran paling mentok di angka 45 tahun.

Adek misalnya, hari ini berusia 40 tahun. Artinya, tinggal 5 tahun lagi masa-masa yang bisa bersaing untuk profesi yang dijalani sekarang. Celakanya, mereka tak punya aset, tak punya tabungan, dan tak punya alat produksi lain untuk menatap masa pensiun atau masa hari tua.

Mereka menyadari hal ini dan sebetulnya berusaha mencari pekerjaan lain. Namun, lowongan pekerjaan itu begitu sempit ditambah dengan label yang disematkan pada mereka seperti ‘waria kutukan’, ‘dilaknat.’

Transpuan di Padang tak terasosiasi pada komunitas tertentu. Mereka hidup sendiri-sendiri. Logikanya, jika kepapaan menyelimuti mereka, itu artinya dirasakan sendiri-sendiri.

Menurut Dia, transpuan di Padang ada 2 versi yakni waria penuh dengan ekspresi dandanan penuh perempuan dan waria semi atau siang laki-laki dan malam perempuan. Biasanya mereka memakai wig.

Dia menakar, transpuan penuh yang hidup di Kota Padang berkisar 30-40 orang. Pekerjaannya kebanyakan di salon dan menjadi pekerja seks dengan cara mangkal atau pun lewat aplikasi.

“Sekarang jarang yang ada mangkal atau menunggu di jalan. Transpuan malas dikejar pamong. Kini di aplikasi, namun ada juga kena jebakan. Tarif Rp 50.000 – 200 ribu short time,” imbuhnya.

Pelanggan tak menentu, berujung pada penghasilan tak menentu. Kaum transpuan ini sungguh-sungguh rentan. Namun bantuan sosial tak pernah hinggap ke mereka. Bahkan di masa pandemi sekalipun.

Ekspresi yang mudah dikenali membuat transpuan berada di tubir kerentanan. Persekusi, stigmatisasi, dan keterbatasan mengakses hal yang berbau sosial semakin menebalkan kerentanan transpuan, di mana sewaktu-waktu bisa jatuh ke jurang rentan yang lebih dalam.

“Tak pernah dapat bantuan sosial. Mungkin karena transpuan nomor sekian,” celetuk Dia.

Komunitas transpuan Padang amatlah terpukul sejak pandemi covid-19 hingga saat ini. Mereka yang seyogianya masuk sebagai kelompok rentan tak mendapatkan bantuan sosial. Tak ada otoritas yang memegang kendali bantuan sosial menjangkau mereka.

Koordinator Program Yayasan Akbar Nicky menilai, transpuan masih  turun di jalan atau menjadi pekerja seks lewat aplikasi karena tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk akses ekosop (ekonomi sosial dan politiknya) di tengah kesulitan ekonomi yang mendera mereka.

“Kenapa transpuan turun ke jalan atau memjadi pekerja seks? Mungkin ini dianggap pelanggaran Perda. Padahal, mereka tak punya akses pekerjaan formal. Kalau tak terpenuhi kebutuhannya, berikan bantuannya sebagai warga negara seperti bantuan sembako, BLT, uang seperti bantuan covid 19, dan keterampilan untuk memiliki skil,” bilang Nicky.

Ia menambahkan, di Padang, pihaknya belum menemukan transpuan yang mendapatkan paket bantuan sosial. “Sebanyak itu bantuan sosial, kami tak temukan ada bantuan untuk transpuan. Persoalannya komplek seperti tidak ber-KTP, tidak memenuhi indikator penerima bantuan karena bukan warga Padang,” jelas Nicky yang cukup aktif mendampingi komunitas transpuan.

“Kami menemui indikator mereka bukan warga Padang. Dia menetap di Padang, walau secara administratif dia bukan orang Padang,” lanjut Nicky.

Nihilnya jangkauan bantuan sosial untuk transpuan juga tak terlepas ketiadaan mereka di Data Terpadu Kesenjangan Sosial (DTKS) Kemensos.

Menurut Nicky, DTKS adalah database keluarga miskin berbasis by data, by KTP. “Banyak kawan transpuan tak terakses. Data itu harus diisi sendiri di websitenya (https://cekbansos. kemensos.go.id//). Banyak transpuan karena tak memenuhi syarat atau KTP dengan keterangan jenis kelamin laki-laki, sementara visualnya perempuan,” beber Nicky.

Ia juga menilai kebanyakan transpuan dari daerah malas mengurus KTP Padang misalnya, karena dalam pelayanan publik mereka kerap menjumpai stigma, pandangan dan gestur verbal yang menghampiri. Situasi itu membuat tak nyaman transpuan.

“Hadir di tengah khalayak tak nyaman, maka malas mengurus urusan kependudukan. Bahkan sakit yang harusnya mereka dirawat inap di rumah sakit pun kadang enggan. Alhasil mereka pun susah menjangkau bantuan sosial karena ketiadaan KTP, atau ada KTP menjadi ketakutan ketahuan identitasnya, dan ketahuan keluarga,” bilang Nicky.

Kepala Dinas Dukcapil Kota Padang Teddy Antonius memastikan siapapun bisa mengurus KTP Padang asal membawa surat pindah dari daerah asal. Menurutnya, untuk mendapatkan surat pindah saat ini sangatlah mudah. Tak rumit seperti dulu, misalnya harus mengantongi surat pengantar dari rukun tetangga atau Wali Nagari.

Sekarang, lanjutnya, surat pindah bisa diperoleh langsung dengan mendatangi Dukcapil daerah asal. Bahkan, kalau Disdukcapil sudah menerapkan pelayanan berbasis daring, maka surat pindah bisa didapatkan secara daring.

“Aturannya melalui Perpres nomor 96 tahun 2018. Tidak ada syarat surat pengantar. Cukup Dukcapil ke kota kabupaten. Kalau ada aplikasi online tanpa harus ke daerah, itu selesai,” jelasnya.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong para transpuan kalau terbentur KTP untuk mengakses bantuan sosial atau akses publik lainnya di Kota Padang, maka segeralah mengurus KTP Padang dengan memenuhi persyaratan. Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Kota Padang Heriza Syafani menjelaskan, pendataan DTKS dimulai dari kelurahan yang diawali musyawarah kelurahan, dihadiri Ketua RT dan RW, pekerja sosial masyarakat (PSM), dan lurah setempat. Kemudian juga dengan cara usulan Kementerian Sosial melalui aplikasi Bantuan Sosial dan pendaftaran mandiri melalui aplikasi cek Bansos yang dibantu PSM Kelurahan.

Hal itu mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin serta Keputusan Menteri Sosial Nomor 262/HUK/2022 tentang Kriteria Fakir Miskin yang masuk persyaratan dalam DTKS.

“Perihal bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah tidak untuk selamanya didapatkan oleh masyarakat yang kurang mampu, karena Pemko Padang berharap penerima bantuan itu lambat laun akan berdaya dan mandiri,” ujar Heriza Syafani.

Dia mengaku, kalau kelompok rentan seperti anak jalanan, lansia, orang dengan gangguan jiwa (OGDJ) adalah kelompok terlantar, yang dijangkau oleh dinas sosial setelah dijangkau Satpol PP.

“Artinya diamankan, kita asesmen, mereka punya keluarga nggak di kota ini? atau benar-benar terlantar atau tak ada identitas. Setelah itu baru diarahkan ke panti yang ada di Kota Padang,” ujarnya.

Sekaitan dengan itu, Heriza mengaku belum menemukan kasus transpuan yang terlantar atau pun sudah melalui penjangkauan Satpol PP.

“Kami menerima kalau diantarkan ke dinas sosial. Kami akan kerjasamakan dengan panti dan didampingi oleh MUI,” katanya.

Pelibatan MUI, menurutnya, sebagai representasi keagamaan. “Kalau agamanya Islam, supaya tuntutan jati diri sesuai keagamaan diperkuat,” tukasnya.

Kelindan persoalan yang membelit transpuan di Padang bukan itu saja. Ada upaya mereka untuk cari pekerjaan yang layak, pun kerap berujung kegagalan.

Nicky mengatakan, mereka pada akhirnya kembali bekerja sebagai pekerja seks karena tak ada kesempatan. Perusahaan formal yang mau menerima waria bisa disebut tidak ada. Sementara itu, bekerja di salon semakin menunjukman persaingan semakin ketat dan upah pun tak layak.

“Dari 10 orang transpuan diwawaancarai, 3 orang sudah mencoba melamar. Tapi tidak ada feedback. Dugaan kami, salah satunya karena fotonya perempuan, sementara di di KTP laki-laki,” kata Nicky.

Ia menyayangkan, pemkot tak punya lembaga pemberdayaan ekonomi untuk kelompok waria. Ia menyebutkan, selama ini Dinas Sosial Padang punya program pemberdayaan waria seperti menjahit dan salon. Tahun 2021 misalnya, Dinas Sosial Padang pernah melatih waria bersama penyandang HIV. Namun, ujar Nicky, tak efektif.

“Seperti menjalankan SPJ saja. Setelah dilatih, dukungan modal, alat mana?”

Kalau Ada Usaha Lain, Tak Mungkin Kami Seperti Ini

Mereka yang transpuan juga punya masa jenuh dan capek menggeluti kehidupan hari ini. “Keluar malam itu capek, tapi itu kan kerja. Kalau ada kerja baik, mana mungkin ini dikerjakan. Kalau bisa tidaklah. Sudah capek,” kata Eka.

Sementara uluran kesempatan pekerjaan dari pemerintah pun tak pernah menghampiri. Itu termasuk memoles kecakapan mereka di bidang pekerjaan yang sesuai dengan identitas mereka.

Eka dan Widya menyebut, keahlian dan usaha yang paling mungkin mereka lakukan adalah salon, buka jasa pijit dan sauna.

“Kami tak pernah dapat bantuan sosial. Kami berharap diberi solusi usaha atau pelatihan kerja di BLK, tak pernah dapat panggilan. Kalau ada ruang hidup lain, kami akan tutup Open BO,” bilang Eka dan juga Widya.

Kalau ada pekerjaan lain yang sesuai dengan kompetensi mereka, barangkali itu akan mereka pilih. Sayang, tak banyak ruang pekerjaan yang dibentangkan ke hadapan mereka.

Kepala Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP) Padang Eka Cahyana Adi, mengaku, dari dulu pihaknya tidak ada punya akses dengan komunitas transpuan. “Kalau ada teman yang mempertemukan kami dengan koordinatornya, kami akan lakukan pendekatan. Kami bisa buatkan mereka pelatihan ke sini, atau kita ke sana,” kata  Sabtu (4/11).

Eka menegaskan pelatihan bagi para pencari kerja yang menjadi tugas dan fungsi BPVP berprinsip inklusif. Artinya, pelatihan tak memandang latar belakang dan tak membatasi usia.

BPVP, katanya, fokus untuk kompetensi pekerjaan, tanpa memandang mereka siapa. “Kami dukung sekali. Kami tak melihat KTP. Semua boleh. Kita mengarahkan kerja lebih. Kami juga berikan motivasi kerja. Ada juga materi bela negara diajarkan,” katanya lagi.

Pihaknya pun antusias membuka ruang bagi komunitas transpuan untuk memandapatkan kompetensi. Bahkan mendorong komunitas transpuan untuk menjadi siswa di BPVP.

“Hal yang dilakukan, paling pemetaan target audiens dulu. Gender perempuan misalnya, pelatihan masuk ke fashion teknologi, menjahit, make up, tata boga, pdan embuatan bola. Karena itu pekerjaan yang biasa dilaksanakan perempuan. Yang tersedia di BLK sekarang pelatihan fashion teknologi, perawatan kulit dan rambut, tata boga, menjahit. Dan digital juga tersedia, misalnya konten kreator dan desain grafis.

Eka juga memastikan, pelatihan di BPVP tak memungut biaya. Bahkan peserta juga diberi uang pengganti transportasi, makan siang, dan alat tulis.

“Rata-rata pelatihan lebih kurang 1 bulan. Hari kerja yakni Senin sampai Jumat. Seusai pelatihan juga dikasih sertifikat kompetensi,” bilang Eka.

Namun Eka mendorong keterlibatan pihak ketiga, atau pihak yang mau jadi ‘bapak angkat.’. Sebab, dengan begitu, setelah mendapat pelatihan, komunitas transpuan bisa langsung mendapat permodalan usaha.

“Bagusnya MoU, dan harapannya bisa dapat dukungan pihak lain. Kalau permodalan, pendampingan dari stakeholder sepertik Bank Nagari, Bumdes setelah pelatihan lebih bagus. Apalagi menjadi bapak angkat. Kami memoles di dasarnya, melatih kompetensinya sehingga mereka siap di dunia usaha dan industri,” pungkasnya.

Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #RawatHakDasarKita oleh 6 media massa di Pulau Sumatera dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

Baca Juga

Buka Festival Multi Etnis, Hidayat: Semua Etnis Hidup Berdampingan di Sumbar
Buka Festival Multi Etnis, Hidayat: Semua Etnis Hidup Berdampingan di Sumbar
Rangkaian Atraksi Budaya Festival Pusako Beri Pesan Kelestarian
Rangkaian Atraksi Budaya Festival Pusako Beri Pesan Kelestarian
Hindari Politisasi Agama Jelang Pemilu 2024, Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman Mestinya Diterapkan
Hindari Politisasi Agama Jelang Pemilu 2024, Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman Mestinya Diterapkan
Sulitnya Jemaat Kristiani Beribadah di Perkebunan Sawit Sumbar
Sulitnya Jemaat Kristiani Beribadah di Perkebunan Sawit Sumbar
Merawat Keberagaman, Anak Muda Bukittinggi Kunjungi Rumah Ibadah
Merawat Keberagaman, Anak Muda Bukittinggi Kunjungi Rumah Ibadah
Pelatihan LOVE, Ikhtiar MAARIF Institute untuk Menguatkan Nilai Inklusi Sosial-Keagamaan
Pelatihan LOVE, Ikhtiar MAARIF Institute untuk Menguatkan Nilai Inklusi Sosial-Keagamaan