Menanggapi ‘Garah’ Miko Kamal

Menanggapi ‘Garah’ Miko Kamal

Benni Inayatullah

Tulisan ini saya buat untuk menanggapi kolom Miko Kamal yang berjudul “Jalan Lintas Layak Dulu Baru Tol” yang dimuat di situs Langgam.id. Pada intinya Miko Kamal menganggap bahwa jalan tol Padang - Pekanbaru belum seharusnya dibangun. Menurutnya negara harus memenuhi kewajiban dahulu yakni membangun fasilitas umum yang layak baru kemudian membuat jalan tol.

Berikut kutipan Miko Kamal menyitir UUD 1945; Pesan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang saya kutip di cuitan itu ada dua: pertama, negara wajib menyediakan fasilitas kesehatan, dan kedua, negara juga wajib menyediakan fasilitas umum. Keduanya haruslah yang layak. Tidak boleh yang asal jadi. Sekadar pelepas tanya saja.

Namun, Miko Kamal tidak merinci definisi layak dari fasilitas umum khususnya jalan nasional itu seperti apa. UUD tentu saja tidak merinci seperti apa prasyarat kelayakan itu. Karena begitulah UUD, ia membutuhkan perangkat aturan lain seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri untuk yang bersifat teknis dan mendetail. Namun sebagai ahli hukum tampaknya Miko Kamal lebih memilih definisi yang personal sekali sehingga Miko berpendapat bahwa ada yang keliru dengan praktik tol selama ini karena sebagian besar ruas jalan lintas yang sempit , banyak lubang dan bergelombang.

Apakah memang jalan nasional di Sumbar belum bisa dikategorikan layak?. Sebetulnya untuk menilai layak atau tidak kita bisa merujuk kepada Keputusan Menteri Perhubungan KM 1 Tahun 2000. Dalam Kepmen tersebut jalan nasional sepanjang Padang-Pekanbaru itu masuk kategori IIIA. Hampir seluruh ruas jalan nasional di Sumatera tergolong kelas III A. Hanya beberapa jalan yang masuk kategori II antara lain di Inderalaya Sumatera Selatan yang memang merupakan perlintasan yang sangat ramai.

Merujuk kepada survei jalan nasional tahun 2018 tingkat kemantapan jalan di Sumatra Barat (Sumbar) mencapai 93,88 persen. Artinya kualitas kelayakan jalan di Sumbar sangat baik. Kita sendiri bisa membuktikan Sumbar adalah salah satu provinsi yang memiliki jalan mulus hingga ke nagari-nagari. Jadi argumen Miko bahwa jalan nasional belum layak karena sempit dan berlubang sudah terbantahkan disini.

Argumen lain yang digunakan Miko untuk mengatakan jalan nasional Sumbar belum dikategorikan layak adalah waktu tempuh Padang-Pekanbaru yang saat ini mencapai 6 s.d 7 jam. Mungkin Miko mengatakan ini untuk membuat pembaca meyakini pendapatnya bahwa jalan nasional kita belum layak karena tidak bisa dilalui dengan cepat. Miko kemudian juga melontarkan keinginannya untuk dapat menempuh Padang-Pekanbaru dengan waktu hanya 3 jam.

Di sini terlihat sebetulnya di alam bawah sadar Miko justru memimpikan adanya tol di Sumbar. Kenapa begitu?, Karena hanya jalan tol yang bisa mengantarkan pengguna jalan dari Padang ke Pekanbaru dalam waktu tempuh 3 jam. Jalan nasional non tol tidak akan mampu memberikan waktu tempuh sesingkat itu. Karena untuk menempuh Padang-Pekanbaru sejauh 360 kilometer dalam waktu 3 jam rata-rata kecepatan yang dibutuhkan adalah lebih dari 120 km/jam. Jalan serupa apa yang bisa dilalui dengan kecepatan itu kecuali jalan tol?.

Miko lupa bahwa Permenhub No 111/2015 memberikan batasan kecepatan untuk jalan antar kota dibatasi maksimal 80 km/jam seluas dan selicin apapun jalan antar kota itu. Kenapa kecepatan ini perlu dibatasi?. Karena jalan nasional antar kota antar propinsi itu melewati banyak persimpangan dan juga dipenuhi oleh pengendara motor, non motor dan penyeberang jalan. Pembatasan kecepatan ini adalah demi keselamatan pengguna jalan raya. Keselamatan kita semua.

Apakah Miko Kamal membayangkan ia bisa memacu mobilnya dengan kecepatan 120 km/jam di jalan raya Padang-Pekanbaru non tol?. Sudah seperti pembalap saja kalau begitu. Saya dalam tahap ini agak heran dan tidak memahami mengapa Miko Kamal sebagai ahli hukum seolah lupa merujuk aturan-aturan hukum dalam berjalan raya ini.

Terlebih lagi Miko Kamal dalam tulisannya juga mengatakan bahwa pemerintah bertanggungjawab menjadikan jalan nasional sekelas jalan tol. Saya semakin tercengang, bagaimana mungkin jalan nasional yang banyak perlintasan dan dipenuhi oleh rumah dan lapau sepanjang jalan bisa dibuat sekelas jalan tol?. Sedangkan membangun flyover melewati pasar Koto Baru saja sudah bertahun-tahun tidak jadi-jadi karena mendapatkan penolakan dari masyarakat. Ini sebuah angan-angan yang mustahil menurut saya atau sekedar mencari-cari alasan untuk tidak setuju dengan pembangunan jalan tol.

Lebih jauh lagi Miko melontarkan pernyataan yang cukup keras dengan mengatakan proyek tol adalah cara negara melepas tanggungjawab. Ini tuduhan yang serius namun sepertinya lagi-lagi Miko Kamal juga terlupa membaca Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. UU ini menyatakan bahwa jalan tol adalah bagian dari jalan nasional yang diselenggarakan untuk memperlancar lalu lintas dan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan. Dalam UU itu pada pasal 44 disebutkan jalan tol sebagai bagian dari sistem jaringan jalan umum yang merupakan lintas alternatif.

Jalan tol bukan untuk menggantikan jalan umum tak berbayar yang ada sekarang. Pemerintah membangun jalan tol di berbagai daerah di Indonesia ini adalah demi memberikan alternatif jalan bagi pengguna. Pengguna itu ya kita-kita ini. Kalau selama ini kita bermacet-macetan di pendakian Silaiang apalagi di musim liburan maka kita hanya bisa pasrah saja karena tidak ada pilihan jalan lain.

Kini pemerintah memberikan pilihan jalan yang lebih baik jalan tanpa hambatan dan tanpa kemacetan. Namun memang untuk menikmati kemewahan itu pengguna jalan mesti membayar sejumlah biaya karena pembangunan jalan tol dan perawatannya bukan diambil dari pajak rakyat seperti yang Miko Kamal sebut di tulisannya.

Ini adalah sebuah sebuah alternatif yang sangat baik dan berkeadilan. Bila kita ingin cepat sampai maka kita bisa memilih jalan tol. Bagi yang tidak mau membayar masih bisa melewati jalan lintas seperti biasa yang tetap terawat dengan baik. Adanya jalan tol bukan berarti jalan lintas nasional akan terbengkalai apalagi ditutup. Justru jalan lintas nasional akan lebih lengang karena sebagian pengendara beralih ke jalan tol. Ini adalah win-win solution, semua untung dan semua nyaman.

Saya sering berkendara ke tempat saudara saya di Palembang dari Jakarta. Sejak adanya jalan tol waktu tempuh saya berkurang signifikan hingga separohnya. Meskipun membayar biaya tol namun saya hemat bahan bakar dan juga waktu. Saya juga pernah secara sengaja tidak masuk tol dan melewati jalan lintas yang lama. Saya ingin mengetahui apakah ada perubahan di jalan lintas itu. Yang saya lihat dan rasakan, jalan Palembang, Kayu Agung hingga Lampung tetap mulus dan lebih lengang sehingga waktu tempuh juga semakin cepat.

Hal ini juga akan terjadi di jalan nasional Padang-Pekanbaru bila ada jalan tol. Jalan nasional akan menjadi berkurang pemakainya karena sebagian pengguna terutama pengemudi truk akan lebih memilih jalan tol. Sehingga waktu tempuh di jalan nasional pun akan menjadi semakin berkurang karena semakin lengang.

Kalau kekhawatiran bahwa jalan nasional nanti tidak akan diurus lagi oleh pemerintah maka ini sebuah imajinasi dan ketakutan yang berlebihan saja. Kita mungkin perlu membaca kembali Rencana Pembangunan Jangka Panjang daerah Sumbar 2005-2025 dimana jelas tercantum disitu penambahan jalan dan peningkatan kualitas jalan masih akan terus dilakukan oleh pemerintah. Tidak perlu ada kekhawatiran jalan lintas biasa akan terbengkalai dan menjadi tidak layak serupa imajinasi Miko Kamal.

Orang Minangkabau sebetulnya terbiasa mancaliak contoh ka nan sudah dan manuladan ka nan elok (melihat contoh ke yang sudah ada dan meneladani yang baik). Sepanjang itu jalan tol yang sudah beroperasi di pulau Jawa dan Sumatera tidak ada satupun jalan nasional yang kemudian menjadi terbengkalai dan tidak terawat. Hak warga negara mendapatkan fasilitas umum yang layak tetap dipenuhi oleh pemerintah. Bahkan pemerintah memberikan alternatif jalan tol bagi kebutuhan perpindahan arus barang dan jasa demi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

Miko Kamal adalah pengacara Sumbar yang hebat dan juga aktivis LSM yang terkenal. Mustahil rasanya seorang Miko Kamal beropini dengan melupakan aturan dan regulasi yang berlaku serta fakta yang terpampang dengan jelas. Sepertinya Miko Kamal menulis opini tentang belum perlunya jalan tol ini sebagai bentuk kegenitan saja dalam berdialektika di twitter.

Bagaimana mungkin seorang Miko Kamal tidak menyetujui pembangunan jalan tol di Sumbar?. Ia adalah bagian dari tim Percepatan Pembangunan Sumbar Madani yang dibentuk Gubernur Sumbar Mahyeldi untuk merumuskan RPJMD. Kalau Miko betul-betul menolak dengan argumen proyek tol hanyalah alasan negara melepas tanggungjawab maka bisa saja orang memplesetkan Miko Kamal sebagai anggota Tim Perlambatan Pembangunan Sumbar Madani. Saya tidak percaya itu, saya lebih memilih mempercayai bahwa Miko Kamal sedang bergarah saja tapi tidak lucu.


Benni Inayatullah (Peneliti Senior The Indonesian Institute Jakarta)

Baca Juga

Permasalahan baru yang menimpa umat Islam yakni terkait daftar nama-nama ustadz kondang yang terdaftar dalam jaringan radikalisme.
Pergeseran Nilai Muhammadiyah Sumbar dalam Politik?
Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Sumbar, Bayu Aryadhi mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi
BP2MI: Tidak Ada Pekerja Migran Indonesia dari Sumbar di Zona Konflik
Jelang Lengser, Jokowi Resmikan 2 Ruas Tol Trans Sumatra
Jelang Lengser, Jokowi Resmikan 2 Ruas Tol Trans Sumatra
BNNP Sumbar Gagalkan Penyelundupan Setengah Ton Ganja di Kabupaten Pasaman 
BNNP Sumbar Gagalkan Penyelundupan Setengah Ton Ganja di Kabupaten Pasaman 
Ahmad Hafidz
Nagari Creative Hub: Penggerak Ekonomi Masyarakat
Sebanyak 14 anggota DPR RI dan 4 anggota DPD RI terpilih asal Sumatra Barat untuk periode 2024-2029 telah dilantik pada 1 Oktober 2024
Harta Kekayaan Anggota DPR dan DPD Asal Sumbar: Mulyadi Terkaya, Cerint Iralloza Terendah