Kita tau bahwa Sumatra Barat (Sumbar) bukanlah daerah kaya. Pertumbuhan ekonomi biasa-biasa saja. Soal pengangguran, Sumbar juara dua di Sumatra. Persentase pekerja formal sedikit, hanya menang dari Bengkulu dan Lampung. Ndak dapat akal lagi.
Ekonomi lokal terlihat tidak begitu dinamis, bahkan cenderung lesu. Sehingga, merantau menjadi katup penyelamat.
Ada yang memperkirakan bahwa jumlah orang Minang di luar Sumbar lebih banyak dari pada penduduk Sumbar yang berjumlah sekitar 5 juta. Atau setidaknya podo. Mana yang benar, entahlah.
***
Tapi, ada berita baik. Kemiskinan di ranah bundo rendah. Hanya 6.1% saja, itupun setelah dihantam Covid. Angka itu jauh lebih rendah dibanding rata-rata nasional yang 10.1%. Ini berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021 yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik).
Soal angka kemiskinan ini, Sumbar hanya kalah dari Kepulauan Riau (Kepri) dan Bangka Belitung (Babel). Kita pun bisa berdalih, Kepri dan Babel bukan bagian dari “Pulau Sumatra” yang sekeping besar itu.
Maka, kita bisa klaim bahwa Sumbar adalah provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah di Pulau Sumatra. Hebat kita. Ini kabar baik dan sangat menggembirakan. Walau ekonomi begitu-begitu saja, orang di ranah ternyata ndak susah-susah amat.
Aceh yang punya gas, Riau yang terkenal kaya, tingkat kemiskinan mereka diatas kita. Menang kita. Pendapatan per kapita Sumbar bisa saja rendah, tapi kemiskinan juga rendah. Tentu ada perbedaan antara pendapatan dan kemiskinan. Ini mirip-mirip dengan pernyataan, “Gaji boleh kecil, pendapatan lain soal.”
***
Tapi, bagaimana menjelaskan kehebatan kita itu? Ada dua kemungkinan.
SATU, Pemda hebat, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Bisa jadi, Pemda mampu menjalankan program-program anti-kemiskinan yang menjadi prioritas Pemerintah Pusat. Mereka telah berkerja secara efektif dan efisien. Kalau begini, tentu, dua jempol kita acungkan. Hormat kita.
DUA, ranah bundo terbantu oleh kiriman perantau. Kita tau bahwa orang Sumbar banyak yang merantau. Sampai pelosok-pelosok nusantara. Buktinya, lihatlah sebaran Rumah Makan Padang. Katanya, "di bulan pun ada".
Kita tahu, hubungan perantau Minang dengan sanak saudara dan orang di kampung sangat erat. Anak dipangku, kemenakan dibimbing. Saya saksinya. Dalam skala international, kiriman perantau ini disebut “remittance”.
Bangladesh, Nepal dan Philippines adalah tiga negara di Asia yang terkenal dengan tingginya penerimaan remittance dari warganya yang banyak tersebar di berbagai belahan dunia. Tentu, sanak saudara di kampung halaman jadi sangat terbantu.
Secara umum, tiga negara itu lebih miskin dari Indonesia. Banyak orang Bangladesh, Nepal dan Philippines menjadi buruh migran di Barat atau negara-negara Teluk. Hal ini dipicu oleh kondisi perekonomian negara mereka yang begitu-begitu saja.
Secara perekonomian, Indonesia jauh lebih baik dan lebih sejahtera dibanding ketiga negara itu.
Kira-kira faktor mana yang lebih berperan mengurangi kemiskinan di ranah bundo? Pemda atau perantau?
Saya cenderung mengatakan bahwa peran perantau lebih besar. Pemda tentu ikut berkontribusi. Tapi, mungkin yang lebih penting adalah faktor orang kampung yang memiliki tingkat resiliensi tinggi. Ketika terdesak, kincir-kincir pun jalan.
Baca Juga: Sumbar, Pengangguran dan Roda Pembangunan
Tentu akan ada yang akan berkomentar, “Anda tau apa, anda melihat dari jauh, tak paham kondisi lapangan”
“Mana datanya? Jangan-jangan hanya takok-uwok saja”
Komentar seperti itu benar. Saya tak paham kondisi lapangan. Saya sudah lebih 30 tahun meninggalkan di kaki Singgalang, pergi merantau. Bisa jadi saya berpandangan myopic.
Saya belum pernah pulang habis. Kalau mudik sih sering. Sebelum pandemi, bisa dua kali setahun. Walau bermukim di Australia, ada-ada saja rezeki yang membawa saya pulang. Mungkin berkat doa ibu.
Pandemi telah membuat dunia berubah. Kaki Singgalang terlihat samar, walau dekat di hati. Ibu saya pun telah berpulang, sudah setahun lebih. Alfaatihah.
***
Pagi ini saya akan mudik secara virtual ke Universitas Andalas di Padang. Memenuhi undangan kawan saya, Dr. Hefrizal Handra. Beliu sekarang jadi wakil rektor. Deras dia.
Nanti, saya akan tanyakan kepada mereka yang berada di ranah dan lebih paham kondisi lapangan, mana yang lebih besar perannya dalam mengurangi kemiskinan: Pemda atau perantau.
Tapi, itu tidak penting. Tak perlu pula kita bersitegang. Yang lebih penting adalah pemda/ranah dan perantau harus bekerja sama. Setidaknya ma ”ota-ota” bersama, berbagi cerita. Semua mencintai ranah, tempat kita pulang. Ranah bundo. (*)
Dr. Zulfan Tadjoeddin adalah
Associate Professor di Development Studies, Western Sydney University, Australia