Di Balik Mangkraknya Museum PDRI, Alot Sejak Penentuan Lokasi

Museum PDRI

Monumen Bela Negara / Museum PDRI di Jorong Aia Angek, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, kondisinya terlantar. Pembangunan yang dimulai tahun 2012, beberapa tahun terakhir hingga saat ini terhenti karena persoalan anggaran dan melemahkan komitmen dari instansi yang bersepakat sejak awal. Foto: Yose

Langgam.id - Setelah sekian tahun mangkrak, pembangunan monumen nasional Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) atau yang dikenal juga dengan Monumen Bela Negara, di Koto Tinggi, Lima Puluhkota, Sumatra Barat (Sumbar), rencananya dilanjutkan kembali jelang tutupnya tahun ini.

Kepastian ini diperoleh setelah pemerintah pusat mengalokasikan anggaran sebesar Rp.32 miliar melalui Kementerian Pendidikan RI untuk melanjutkan pembangunan monumen tersebut.

Wakil Bupati Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan, Selasa (10/9), mengatakan pihaknya sangat bersyukur bahwa pembangunan monumen ini dilanjutkan kembali, yang direncanakan dikerjakan selama 114 hari hingga Desember 2019.

Sebagaimana diketahui, pembangunan monumen ini telah dimulai sejak tahun 2012 dan terbengkalai disebabkan tak tersedianya anggaran.

Pembangunan awal pada tahun 2012 tersebut telah menelan biaya sekitar 43 miliar rupiah, yang diakomodir oleh APBN.

Ide perlunya Monumen Bela Negara/ Museum PDRI cukup sederhana; mengingatkan publik atau generasi hari ini, tanpa PDRI mungkin episode Republik sudah tamat di tahun 1948.

Bulan Desember 2010, Purnomo Yusgiantoro yang menjabat Menteri Pertahanan saat itu, mencuatkan ide untuk membangun Monumen Bela Negara sebagai wujud mengenang jasa PDRI bagi eksistensi republik.
 
Maka tak mengherankan bila diasumsikan Kementerian Pertahanan menjadi ‘pimpinan proyek’ ini di lingkup pusat. Andil Kementerian Pertahanan kental terlihat saat ground breaking (peletakkan batu pertama) tahun 2012 silam.
 
Alkisah, Rabu (19/12/2012) pagi,  semburat mentarai yang terperanjat di celah perbukitan Bukit Barisan menebar rasa yang menyengat. Namun itu tak menyurutkan langkah warga sekitar Gunung Omeh untuk turut larut dalam keramaian peringatan Hari Bela Negara 2012 di lapangan sepakbola Koto Tinggi.

Hari itu dirasakan penuh suka cita. Sebuah nagari yang berada disela-sela deretan Bukit Barisan selama ini sepi, tiba-tiba dikunjungi pejabat Kementerian Pertahanan, pejabat Kementerian Dalam Negeri, Wakil Gubernur
Sumbar Muslim Kasim, hingga prajurit berseragam TNI dan Polri.

Koto Tinggi menjadi pusat peringatan Hari Bela Negara 2012. Di samping itu, untuk menjadi sumber memoribilia Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), maka dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Monumen Nasional PDRI.

Penetapan Hari Bela Negara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 28, belum terlihat dampaknya dalam konteks pencerahan sejarah, belum terasa kentara dalam mengubah arti penting PDRI.
Memasuki tahun keenam, hanya segelintir orang yang tahu makna Hari Bela Negara itu. Dan jika dikerucutkan, hanya pada masyarakat yang menjadi pusat perhelatan seperti di Gunung Omeh yang memberi rasa dan makna
peringatan Hari Bela Negara.

Pandangan sebagian kalangan menyebutkan, ketetapan Hari Bela Negara masih setengah hati. Pihak-pihak yang memperingatinya masih terbatas di lingkup TNI, sipil terkait, veteran, dan masyarakat disekitar tempat peringatan.
Belum dijadikannya tanggal peringatan tersebut sebagai hari libur nasional disebut menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, belum ada bangunan yang benar-benar monumental, berbasis memorabilia, sebagai ikon sejarah PDRI, membuat Hari Bela Negara agak hampa.

Maka, tercetuslah ide pentingnya membangun monumen sekaligus museum PDRI. Koto Tinggi terpilih setelah melewati perdebatan panjang dan melelahkan.
 
“Proyek ini dicetuskan oleh Kemenhan (Menhan Purnomo). Di Padang dia ngomong. Saya hadir (sebagai kader ahli waris dari Agustiar Dt. Bandaro Mudo, sebagai orang yang dianggap bisa bicara mengenai sejarah PDRI). Dia anak walinagari militer Koto Tinggi (Aziz). Ia (Purnomo) bilang agar lokasi pembangunan monumen betul-betul basis PDRI,” kisah Metrizal, pemerhati sejarah PDRI yang tinggal di Koto Tinggi.
 
Gayung bersambut. Rapat digelar berkali-kali, antara pemerintahan provinsi, kabupaten, dengan masyarakat basis PDRI, dan melibatkan sejarawan.
 
Pengusulan lokasi pembangunan Museum PDRI sebermula menggantang polemik. Perang argumentasi terjadi, dan berkali-kali diseminarkan. Pengusulan lokasi juga diwarnai intrik politik, ada kepentingan di dalamnya.
 
Setidaknya hal demikian dirasakan Metrizal yang terlibat sejak awal. Sebagai seorang putera Koto Tinggi, dengan pendalaman sejarah PDRI sejarah otodidak dan menimba dari sumber primer, maka Metrizal menjadi diplomat Koto Tinggi, merangkul memorabilia PDRI ke tanah Koto Tinggi.
 
Monumen PDRI yang akhirnya dibangun di Koto Tinggi, buah dari diplomasi Metrizal dan pelaku atau keluarga besar pelaku PDRI yang berbasis di Koto Tinggi. Memang tidak gampang, karena PDRI sejatinya dipahami sebagai pemerintahan nomaden, berpindah dari satu nagari ke nagari lainnya.
 
Ada banyak nagari yang pernah menjadi ibukota PDRI, dengan ‘kepala negaranya’ Syafruddin Prawiranegara.
 
Selain Koto Tinggi, nagari-nagari yang pernah menjadi ibukota Republik di masa pdri adalah Halaban dan Padang Japang di Kabupaten Limapuluh Kota, serta Pagadih di Kabupaten Agam, Bidar Alam dan Abai Sangir di Kabupaten Solok Selatan, serta Sumpur Kudus dan Silantai di Kabupaten Sijunjung.
 
Metrizal, saksi hidup ihwal pembangunan Museum PDRI menceritakan, sebermula terjadi tarik menarik untuk lokasi. Ada suara ke Halaban. Sebab, di sini pertama kali dideklarasikan PDRI. Pengumuman kabinet pertama juga berlangsung di nagari kaki Gunung Sago tersebut, persisnya 22 Desember 1948.
 
“Tarik ulur terjadi dengan Halaban, dimana Halaban bersikeras Monas dibangun si sana karena PDRI dibentuk dan diumumkan di Halaban. Syafruddin Prawiranegara yang berpengaruh di jajaran PDRI, terlibat langsung membentuk,” terang Metrizal.
 
Dalam argumentasinya, Metrizal mengatakan, meski dibentuk di Halaban, kemudian pusat pemerintahan awal PDRI diputuskan di Koto Tinggi.
 
Membedakan dengan basis lainnya, Koto Tinggi dalam konteks ketetapan pemerintahan, berlangsung sepanjang periode PDRI, bahkan berlanjut hingga 17 Agustus 1949, ditandai dengan dibangunnya tugu oleh Sutan Mohammad Rasjid (Gubernur Militer Sumatera Barat/Tengah) dan kolega PDRI lainnya.
 
“PDRI tercatat 7 bulan. Tapi sesungguhnya keterlibatan Koto Tinggi 9 bulan. Monumen kecil di samping kantor walinagari tercatat 17 Agustus 1949. Dibangun dalam rangka perayaan ultah RI ke 4, sekaligus ajang perpisahan pelaku PDRI dengan masyarakat. Rasyid berpidato atas nama pemerintahan RI,” ungkap Metrizal.
 
“Nagari Koto Tinggi terletak di daerah ketinggian dan baik untuk dijadikan tempat kedudukan pemerintah dalam perjuangan. Mulai dari tanggal 24 Desember 1948, Koto Tinggi sampai akhir perang kemerdekaan kedua adalah tempat kedudukan Gubernur Militer Sumatera Barat / Sumatera Tengah (Mr. St. Moh. Rasyid),” risala yang dibukukan dalam buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I di Minangkabau/Riau 1945-1950 II, memperkuat Koto Tinggi sebagai basis abadi PDRI.
 
Tanpa menafikan basis lain, Koto Tinggi juga menjadi urat nadi eksistensi PDRI ke dunia luar, termasuk komunikasi dengan pemerintahan yang berjalan pimpinan Syafruddin.
 
Adalah pemancar AURI di Puar Datar, sebuah jorong di Kenagarian Koto Tinggi, yang menjadi sumbu komunikasi di masa itu.
 
Pemancar tersebut ditempatkan di rumah keluarga Abdoel Madjid Moein. Rumah tersebut menjadi markas besar dan pusat pemberitaan, menyuarakan Republik masih tegak berdiri.
 
Dari rumah tersebut, pengiriman berita kepada semua menteri dari PDRI dilakukan.
 
Vitalnya Koto Tinggi, terutama keberadaan pemancar di Puar Datar, maka tidak mengherankan Belanda merangsek ke Koto Tinggi pada 10 Januari 1949. Namun, Belanda tidak menemukan pemancar karena dengan cerdik dipindahkan oleh pejuang dari Puar Datar ke kampung Mudik Dedap.
“Muslim Kasim (Wakil Gubernur Sumbar masa itu) dalam tahap pembangunan Monas, mencek lokasi, sudah ditugaskan Alis Marajo (Bupati Limapuluh Kota) antara Koto Tinggi dan Halaban. Sementara dalam tahap pencalonan, kunjungan Muslim Kasim meninjau calon lokasi. Daerah lain sudah gugur,” tutur Metrizal.
 
Meski masih dalam tahap usulan lokasi, Metrizal mengatakan, tahu-tahunya Muslim Kasim sudah menetapkan di Halaban, untuk pembangunan Monas, dan tugu-tugu (Bela Negara) di daerah basis lain seperti Koto Kacik, Koto Tinggi, Koto Tuo.
 

“Pada hal, kita diperintahkan oleh Alis Marajo mengusulkan lokasi. Dalam tahap itu, MK mengunjungi lokasi bahwa di Halaban ditetapkan pembangunan lokasi Monas,” ujarnya.

 

Masih tahun 2010, dilanjutkan Metrizal, Muslim Kasim mendatangi Koto Tinggi. Diadakan pertemuan di Masjid Kampung Tingga, sehingga menjadi kesempatan bagi masyarakat menyampaikan unek-unek, termasuk tidak sependapat kebijakan  yang telah menetapkan.
 
“Kami ungkapkan keterlibatan masyarakat, tidak kurang 1500 bungkus masyarakat menyumbangkan nasi. 750 siang, 750 malam. Belum materi, belum nyawa, terus upeti seperti pajak. Itu selama 7 bulan, apa terbayarkan 3 hari peristiwa di Halaban,” kisah Metrizal.
 
Alhasil, Muslim Kasim yang merupakan Ketua Panitia Pembangunan Monas PDRI di Sumbar, mengkaji ulang tentang ketetapannya soal Halaban lokasi pembangunan monas.
 
Tidak beberapa lama, sekitar 1 bulan, sebut Metrizal,  dia dan beberapa tokoh masyarakat disuruh menghadap ke rumah dinas oleh Alis Marajo.
 
Alis, katanya, menyokong Koto Tinggi, karena dia tahu sejarah. Kemudian dia pun mencari celah.
 
Siasatnya; masyarakat didorong bikin surat, ditujukan kepada Presiden SBY, Ketua DPR, Danlanud, pengurus DHD ‘45, dan segala unsur yang terlibat.
 
“Kemudian diadakan seminar di Jakarta mengkaji ulang sejarah PDRI. Pesertanya Adityawarman Taha, Jasri Marin, Gamawan Fauzi, Amir Sarifuddin, Mestika Zed, Algamar,  dan lainnya,” beber Metrizal.
 
Dalam seminar tersebut, menguatkan Koto Tinggi pantas menjadi lokasi didirikannya Monas PDRI.
 

“Tapi SK menetapkan bukan orang seminar, tapi Gubernur berdasarkan hasil seminar,” tukas Metrizal.

 
Meski menang secara diplomasi, sayang Metrizal justru larut dalam kesedihan.
Bagaimana tidak, ketika dia tiap hari melihat kenyataan, monumen yang sangat gagah digambar belum kunjung berdiri secara nyata.
 
Sisi lain, jalan yang diharapkan layak dengan adanya pembangunan tersebut, justru belum diperbaiki. Kongkritnya, kendaraan roda empat susah mengakses lokasi yang berjarak sekitar 7 km dari rumahnya.
 
Sedari awal, pengerjaan Monas memaparkan kesejahteraan bagi masyarakat di basis.
 
Setidaknya mulai terlihat di masa pembangunan, kala 200 tenaga kerja yang diserap berasal dari Koto Tinggi dan sekitarnya.
 
Asanya tentu lebih, dengan keberlanjutan pembangunan, kemudian realisasi proyek lain seperti Universitas PDRI, maka diharapkan meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui jualan dan pemandu wisata. (Yose Hendra)
 

Baca Juga

Ekspedisi Bela Negara, Menjemput Semangat PDRI di Masa Silam
Ekspedisi Bela Negara, Menjemput Semangat PDRI di Masa Silam
M. FAJAR RILLAH VESKY
75 Tahun Peristiwa Situjuah, dan Chatib Soelaiman yang Tak Kunjung Jadi Pahlawan Nasional
Puluhan Millenial dan Gen Z Mencari Ibu Kota Republik Lewat Ekspedisi D.Day Bela Negara 2023
Puluhan Millenial dan Gen Z Mencari Ibu Kota Republik Lewat Ekspedisi D.Day Bela Negara 2023
Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik
Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik
Misteri "Black Cat", Pesilat dan Harimau, Pengawal PDRI dari Kejaran Belanda
Misteri "Black Cat", Pesilat dan Harimau, Pengawal PDRI dari Kejaran Belanda
Menyambut 75 Tahun PDRI: Merunut Sejarah PDRI dalam Meningkatkan Partipasi Politik Generasi Z
Menyambut 75 Tahun PDRI: Merunut Sejarah PDRI dalam Meningkatkan Partipasi Politik Generasi Z