Antara Bangka dan Bidar Alam, Awal Soal Internal Saat PDRI

Antara Bangka dan Bidar Alam, Awal Soal Internal Saat PDRI

'Istana' Bidar Alam, rumah sekaligus kantor Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara di Bidar Alam, Solok Selatan. (Foto: Hendra)

Langgam.id - Sebuah radiogram dari Pulau Jawa sampai ke Bidar Alam, Solok Selatan, Sumatra Barat hari itu. Dalam radiogram tersebut, pengirimnya Susanto Tirtoprodjo menyampaikan pesan penting kepada Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sjafruddin Prawiranegara.

Susanto adalah menteri kehakiman dalam empat kabinet parlementer Republik sebelum terjadi Agresi Militer II, 19 Desember 1948. Sejak 2 Oktober 1946, ia berturut-turut duduk pada jabatan yang sama di Kabinet Sjahrir III, Amir Sjarifuddin I dan II serta Hatta I.

Sejarawan Mestika Zed dalam Buku 'Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia' (1997) menulis, radiogram itu terkait susunan kabinet, pembagian kerja dan usul beberapa perubahan, tertanggal 30 Maret 1949, atau tepat 70 tahun yang lalu dari hari ini, Sabtu (30/3/2019).

Dalam radiogram itu, Susanto mengusulkan nama PDRI diubah jadi Pemerintahan Pusat Republik. Para komisaris PDRI di Pulau Jawa bukanlah pemerintah pusat, mengingat para menteri yang tinggal di Jawa tinggal terpisah-pisah.

Tentang politik luar negeri Republik, Susanto juga mengusulkan, para menteri di Pulau Jawa dalam keadaan mendesak diberi hak untuk mengambil keputusan sendiri, namun dengan tidak melepaskan tuntutan Republik. "Usul tersebut disetujui oleh Sjafruddin," tulis Mestika.

Namun, menurutnya, dalam beberapa hal masih terdapat perbedaan mendasar soal batas-batas kewenangan antara pemimpin di Jawa dan Sumatra. Meski demikian, menurut Mestika, pada akhir Maret tersebut konsolidasi antara pemimpin di Sumatra dan Jawa sudah tercipta.

Buktinya, pada 31 Maret 1949, sehari setelah radiogram Susanto, Sjafruddin mereshuffle kabinet darurat PDRI. Dalam susunan kabinet baru tersebut, Susanto menggantikan Teuku Muhammad Hasan menjadi wakil ketua PDRI.

Sebelumnya, PDRI terbentuk setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 dengan memborbardir Ibukota RI Yogyakarta, Lubuk Linggau dan Bukittinggi. Mereka kemudian menduduki kota-kota tersebut.

Di Jogja, tentara Belanda menawan Presiden, Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan sebagian besar Kabinet Hatta II. Pemerintahan lumpuh. Mr. Sjafruddin, salah satu menteri yang berada di Bukittinggi berinisiatif mendirikan pemerintahan darurat untuk menggantikan para pemimpin yang tertangkap.

Tanggal 22 Desember 1948, kabinet PDRI terbentuk di Halaban, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Meski, kemudian kabinet ini harus bergerilya.

Baru pada pertengahan Januari, kabinet ini bisa menetap di Bidar Alam, Solok Selatan dan bisa menjalin kontak melalui radio dengan wakil RI di luar negeri dan konsolidasi dengan Pulau Jawa.

Bidar Alam adalah nagari terlama yang jadi ibu kota PDRI. Sebelumnya, kabinet di bawah Sjafruddin bergerilya mulai dari Halaban-Bangkinang-Kampar-Sungai Dareh hingga menetap lebih sepekan di Abai, Solok Selatan. Setelah tiga bulan di Bidar Alam sempat pindah ke Silantai, Sumpur Kudus, Sijunjung untuk musyawarah besar. Hingga akhirnya cukup lama pula menetap di Koto Tinggi, Limapuluh Kota yang sejak awal memang sudah jadi basis Gubernur Militer Sumatra Barat Mr. Sutan Mohammad Rasjid. Usai itu, sebelum kembali ke Jogja sempat pula beberapa hari di Padang Japang, Limapuluh Kota.

Dalam susunan kabinet pertama yang diumumkan pada 22 Desember 1948, ketua dan wakil ketua PDRI beserta sekretaris dan para menteri berjumlah tujuh orang sipil ditambah lima orang pejabat militer.

Sementara, dalam reshuffle 31 Maret 1949, menteri menjadi 11 orang, atau bertambah dari enam orang. Di militer, Kolonel AH Nasution masuk kabinet sebagai panglima teritorial Jawa menyusul Kolonel Hidayat yang sudah masuk kabinet sejak awal sebagai panglima teritorial Sumatra. Keduanya dan tiga angkatan lain berada di bawah Panglima TNI Letjen Sudirman.

Lima orang menteri baru di kabinet PDRI adalah Susanto Tirtoprodjo (yang merangkap wakil ketua PDRI), dr Sukirman, IJ Kasimo dan KH Masykur yang berada di Pulau Jawa serta Mr. AA Maramis di India sebagai menteri luar negeri.

Terciptanya koordinasi antara pemerintah gerilya di Sumatra dengan pemerintah dan tentara yang bergerilya di Pulau Jawa, menurut Mestika, sudah dimulai sejak akhir Januari 1949.

Di Pulau Jawa, kontak pertama dijalin oleh Kolonel Simatupang pada 29 Januari 1949 yang mengirim telegram kepada Kolonel Hidayat dan Ketua PDRI. Kontak berikutnya, dilakukan oleh Kolonel AH Nasution, IJ Kasimo, Panglima Sudirman dan Susanto yang kemudian jadi wakil ketua PDRI.

Koordinasi PDRI jelas makin solid terjadi di akhir Maret. Meski hanya di bawah pemerintah darurat yang kemudian diketahui memang dikirimi mandat, gerilya di Pulau Jawa dan Sumatra, berjalan seirama.

Tapi, pada saat yang bersamaan, kontak-kontak internasional untuk menengahi perang, malah terjadi dengan Pulau Bangka, tempat para pemimpin ditawan.

Di hari yang sama ketika Mr. Sjafruddin di Bidar Alam dan Susanto di Pulau Jawa saling kontak untuk mengkoordinasikan perjuangan PDRI, pada tanggal 30 Maret 1949 itu pula United Nastions Commisions for Indonesia (UNCI), sebuah komisi PBB yang dibentuk untuk menyelesaikan masalah konflik dengan Belanda, menawarkan agar pemimpin di Bangka bersedia berunding dengan Belanda.

"Setelah mengadakan sidang pada 25 dan 26 Maret 1949, UNCI mengundang delegasi Indonesia dan delegasi Belanda untuk mengadakan perundingan pada 30 Maret 1949," tulis Batara R. Hutagalung dalam Buku 'Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (2017).

Jenderal AH Nasution dalam Buku 'Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Volume 11' (1991) menulis, ketika diundang berunding dengan Belanda, Sukarno-Hatta dan para pemimpin yang ditawan di Bangka meminta UNCI datang ke sana.

"Setelah mendapat penjelasan, Sukarno-Hatta berpendapat bahwa undangan tersebut perlu dipertimbangkan lebih jauh," tulisnya.

Inilah kontak pembuka yang kemudian membawa Indonesia duduk dalam perundingan Roem-Roijen dengan Belanda. Indonesia diwakili Mohammad Roem, sementara delegasi Belanda dipimpin Van Roijen. Perundingan dimulai pada 4 April 1949 dan disepakati pada 7 Mei 1949.

Perundingan yang diadakan tanpa melibatkan para pimpinan PDRI di Pulau Sumatra dan Jawa. Perundingan dengan persetujuan pemimpin di Pulau Bangka yang kemudian direspons keras oleh Kabinet PDRI di Bidar Alam dan termasuk oleh Panglima Jenderal Sudirman di Pulau Jawa.

Masalah yang kelak menjadi soal yang mengganjal jelang Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat PDRI kepada Sukarno-Hatta yang kemudian dibebaskan setelah perundingan tersebut. (HM)

Baca Juga

Ekspedisi Bela Negara, Menjemput Semangat PDRI di Masa Silam
Ekspedisi Bela Negara, Menjemput Semangat PDRI di Masa Silam
M. FAJAR RILLAH VESKY
75 Tahun Peristiwa Situjuah, dan Chatib Soelaiman yang Tak Kunjung Jadi Pahlawan Nasional
Puluhan Millenial dan Gen Z Mencari Ibu Kota Republik Lewat Ekspedisi D.Day Bela Negara 2023
Puluhan Millenial dan Gen Z Mencari Ibu Kota Republik Lewat Ekspedisi D.Day Bela Negara 2023
Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik
Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik
Misteri "Black Cat", Pesilat dan Harimau, Pengawal PDRI dari Kejaran Belanda
Misteri "Black Cat", Pesilat dan Harimau, Pengawal PDRI dari Kejaran Belanda
Menyambut 75 Tahun PDRI: Merunut Sejarah PDRI dalam Meningkatkan Partipasi Politik Generasi Z
Menyambut 75 Tahun PDRI: Merunut Sejarah PDRI dalam Meningkatkan Partipasi Politik Generasi Z