75 Tahun Peristiwa Situjuah, dan Chatib Soelaiman yang Tak Kunjung Jadi Pahlawan Nasional

M. FAJAR RILLAH VESKY

M Fajar Rillah Vesky

"Kekasihku. Siapa kuasa memecah cinta? Tumbuh murni antara kita. Biar aku kejam di asing. Dipaksa suruh beralih kasih dan dikau kini jauh tiada. Hilang dimusnahkan orang. Namun, wahai kekasihku. Bagai api dipendam sekam. Cintaku mustahil akan padam. Dalam derita rela kunanti. Kuyakin dikau akan kembali. Sebab manusia mana dapat menindas. Kasih kudus nikmat ilahi."

Puisi di atas ditulis Chatib Soelaiman (baca: Khatib Sulaiman), usai memimpin rapat perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di surau milik Wedana Militer Payakumbuh Selatan, Mayor Makinudin HS, tepatnya di Lurah Kincia, Nagari Situjuahbatua, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, 15 Januari 1949. Selesai ditulis, puisi itu diserahkan Chatib Soelaiman kepada Wakil Gubernur Militer Sumatera Tengah Letkol Dahlan Ibrahim yang hadir dalam rapat tersebut dan kelak atau pada kurun 1956-1957 dipercaya Presiden Soekarno sebagai Menteri Negara Urusan Veteran Republik Indonesia.

Siapa nyana, puisi yang ditulis Chatib Soelaiman pada selembar kertas bekas bungkus rokok merupakan karya terakhirnya. Setelah itu, Chatib Soelaiman yang asli putra Sumpur, tepian Danau Singkarak, Tanah Datar, tapi melewati masa kecil di Pasa Gadang, Padang, berpulang ke rahmatullah. Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) Sumatera Tengah dan pengurus Front Pertahanan Nasional yang memulai debut perjuangan kemerdekaan Indonesia dari Padangpanjang dan Bukittinggi ini, meninggal akibat berondongan peluru tentara Belanda yang mendadak mengepung surau tempat rapat pejuang PDRI di Lurah Kincia, Situjuahbatua.

Selain mengepung surau tempat Chatib Soelaiman dan pejuang PDRI menggelar rapat, tentara Belanda yang kala itu sedang melancarkan Operatie Kraai (Operasi Gagak) di Sumatera Tengah atau dikenal sebagai Agresi Militer ke-II, dengan melibatkan banyak Belanda Hitam (budak-budak dari Afrika yang direkrut menjadi Tentara Kerajaan Hindia Belanda), juga mengumpulkan penduduk di belakang Balai Adat Nagari Situjuah Batua. Balai Adat ini, letaknya tidak jauh dari Lurah Kincia.

Setelah dikumpulkan, warga sipil itu disuruh berbaris dan mengikuti aba-aba siap-gerak. Bagi warga sipil yang gerakan baris-berbarisnya dianggap Belanda mirip gerakan tentara Indonesia, dipaksa berlutut dan ditembak mati. Sisanya, dipukuli, ditendang dan dihantam dengan popor senjata. Kemudian, disuruh mengangkut hasil rampasan perang menuju Kota Payakumbuh.

Penembakan tentara Belanda terhadap warga sipil tidak hanya terjadi di belakang Balai Adat Situjuahbatua, tapi juga berlangsung pada sejumlah kampung yang berada di jalan Situjuah menuju Payakumbuh. Kendati tentara Belanda sempat mendapat serangan balasan dari pejuang Indonesia di kawasan Limaukapeh (kini masuk Kelurahan Limbukan, Kota Payakumbuh Selatan), tapi tetap saja pembalasan itu tidak seimbang. Malahan, tujuh pejuang ikut terbunuh dalam penyerangan terhadap Belanda di Limaukapeh dan mereka dikebumikan di Nagari Situjuahgadang.

Sampai tragedi berdarah di Lurah Kincia, Nagari Situjuahbatua berakhir, tercatat sebanyak 69 orang tewas demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Korban tewas itu merupakan korban terbanyak sepanjang sejarah perjuangan PDRI dipimpin Mr Syafruddin Prawiranegara. Mereka yang gugur ini, selain dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Lurah Kincia Situjuahbatua, juga ada yang dimakamkan di Nagari Situjuah Banda Dalam, Nagari Situjuahgadang, dan Nagari Limbukan.

Di antara syuhada yang gugur dalam Peristiwa Situjuah, 15 Januari 1949 itu, tersebutlah Chatib Soelaiman, pejuang yang namanya diabadikan sebagai nama jalan utama dan nama lapangan di Kota Padang, Padangpanjang, Payakumbuh, Limapuluh Kota, dan Tanahdatar. Selain Chatib Soelaiman, Bupati Militer Limapuluh Kota Arisun Sutan Alamsyah yang kebetulan adalah keponakan Mr Assaat Datuak Mudo (mantan Pj Presiden Republik Indonesia), juga ikut menjadi korban Peristiwa Situjuah.

Kemudian, pejuang lain yang cukup tersohor dan gugur dalam Peristiwa Situjuah adalah Mayor TNI Munir Latief. Ia merupakan putra dari Haji Abdul Latief, pemilik pabrik kain sarung “Cap Randai” dan “Cap Pahlawan” di Simpangharu Padang, sekaligus keponakan Wali Kota pertama Padang, Abubakar Jaar. Selain Munir Latief, juga gugur dalam Peristiwa Situjuah Kapten Zainudin Tembak (ayah mendiang Mayjen Ismet Yuzairi/ mantan Pangdam I Bukit Barisan).

Selanjutnya, Kapten Thantowi, putra kandung Syekh Mustafa Abdullah, ulama kharismatik yang bersama saudaranya Syekh Abbas Abdullah pernah ditemui khusus oleh Bung Karno. Selanjutnya, Letda Syamsul Bahri, putra Ampanggadang, Guguak, Limapuluh Kota. Kemudian, Letda Raudani, Letda Agus Yatim, Letda M Juneid, Serma Abdul Lubis, Serma Daruhan, Serma Jamaris, Kopral Abbas Siddik. Lalu, Kopral Rasyid Sirin, Kopral Lahasyim, Pratu Sayuti Ahmad, dan Pratu Zikar Harun, serta puluhan nama lain yang meminjam istilah penyair Taufik Ismail, tidak “pernah ada dalam direktori apa-siapa, apalagi masuk buku teks sejarah”.

Menuju Pahlawan Nasional
Pada Januari 2009 silam, almarhum Profesor Marlis Rahman yang kala itu menjabat Wakil Gubernur Sumbar pendamping Gamawan Fauzi, pernah datang ke Situjuahbatua, memperingati tragedi 15 Januari 1949. Marlis bukanlah pejabat pertama yang datang ke Situjuah.

Sebab, sejak 15 Januari 1968, Pemprov Sumbar dan Pemkab Limapuluh Kota, bersama para veteran, TNI, Polri, dan rakyat di daerah ini, setiap tahun menggelar upacara militer di Situjuahbatua, dilanjutkan dengan tabur bunga di Situjuah Banda Dalam dan Situjuahgadang.

Silih berganti Menteri, Gubernur, dan Bupati yang datang ke Situjuah, belum pernah terbetik terberita, upacara militer dan tabur bunga ini digeser posisinya. Sungguh kualat pula jika ada yang meniadakannya. Bahkan, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta saja, saat datang ke Situjuah pada 1952 silam, ziarahnya tetap ke Situjuahbatua. Ini, fakta sejarah. Masyarakat Situjuah, tentu sangat arif dengan sejarah. Tak akan mau diadu-domba. Politik devide et impera itu cukup di zaman Belanda saja.

Apalagi, di Kabupaten Limapuluh Kota, sejak zaman Bupati Alis Marajo, sudah ada Peraturan Bupati Nomor 34/2011 tentang Penetapan dan Pedoman Penyelenggaraan peringatan Hari Bela Negara dan Rangkaian Peristiwanya di Kabupaten Limapuluh Kota. Dimana, 19 Desember diperingati di Kototinggi, 22 Desember di Halaban, 10 Januari di Titiandalam Pandam Gadang, 15 Januari di Situjuahbatua, 10 Juni di Kototuoharau, 6 Juli di Padangjapang, dan 7 Juli di Kotokociak.

Kembali kepada Profesor Marlis Rahman, waktu memperingati Peristiwa Situjuah pada 2009 silam, ia atas nama Pemprov Sumbar pernah menegaskan, bahwa pahlawan yang gugur dalam Peristiwa Situjuah, pantas diusulkan sebagai pahlawan nasional. Salah satunya, adalah Chatib Soelaiman. Merespons gagasan Marlis Rahman tersebut, penulis pada Agustus 2009 silam, membuat "Chatib Soelaiman, Pahlawan Sebatas Jalan".

Kini, setelah lima belas tahun berlalu, gagasan agar Chatib Soelaiman menjadi pahlawan nasional, masih belum terwujud. Walau sudah diusulkan Pemprov Sumbar, didukung Pemko Padangpanjang, Pemkab Tanahdatar, Pemkab Limapuluh Kota, Pemko Payakumbuh, keluarga pejuang kemerdekaaan dan masyarakat luas, tapi sampai 75 Tahun Peristiwa Situjuah diperingati Senin (15/1/2024), Chatib Soelaiman masih menjadi pahlawan sebatas jalan.

Padahal, Chatib Soelaiman layak untuk ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional. Bahkan, menurut Guru Besar Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Unand, Profesor Dr. phil. Gusti Asnan dalam seminar di Padangpanjang Agustus 2019 silam, Chatib Soelaiman adalah sosok yang melahirkan banyak ide-ide, pemikiran, perjuangan, dan pengorbanan Chatib untuk bangsa dan negara.

Menurut Profesor Gusti Asnan, Chatib Soelaiman mulai berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia pada era politik represif Belanda. Selain melalui jalur pendidikan (mengepalai HIS Muhammadiyah) dan politik (menjadi pengurus Partai Permmi dan PNI Baru), Chatib Soelaiman juga berjuang melalui ekonomi (mendirikan Bumiputera). Bahkan, Chatib juga menjadi salah satu aktor utama panggung sejarah perang kemerdekaan kemerdekaan Indonesia. Dan, Chatib pun berpulang sesudah rapat merundingkan strategi perjuangan.

"Chatib Sulaiman dan puluhan suhada lainnya tewas diterjang peluru Belanda segera setelah mereka rapat merundingkan strategi menghadapi serbuan Belanda. Kematian pada subuh 15 Januari 1949 itu membuktikan bahwa hingga akhir hayatnya, Chatib Sulaiman masih memikirkan dan ikut terlibat dalam upaya mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negaranya. Bahkan dia rela menyerahkan jiwanya demi bangsa dan negara. Karena itu sangat layak kiranya bila dikatakan, bahwa Chatib Sulaiman rela mengorbankan semua yang dia miliki untuk bangsa dan negara," kata Gusti.

Sependapat dengan Gusti Asnan, sejarawan lainnya dari Unand, Dr Wannofri Samry, dalam makalah berjudul “Chatib Sulaiman: Pemimpin dan Negarawan Pejuang”, juga menyebut Chatib Soelaiman layak menjadi pahlawan nasional. Begitu pula dengan Siti Fatimah, sejarawan dari Universitas Negeri Padang. Menurut Siti Fatimah dalam seminar tentang Chatib Soelaiman di Padangpanjang, Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949, wajib diperingati setiap tahun

"Peristiwa Situjuh adalah rangkaian dari peristiwa PDRI yang harus dipelajari di sekolah-sekolah, mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi, sebagai materi dalam mata pelajaran sejarah. Pemerintah daerah harus menjaga dan memelihara lokasi peristiwa ini dengan merivatilisasinya atau memperbaikinya sebagai situs sejarah bangsa. Pahlawan yang gugur, berhak diperjuangkan dan diangkat sebagai pahlawan nasional, khususnya Chatib Soelaiman," kata Siti Fatimah.

Jauh sebelum para sejarawan ini angkat bicara, ulama legendaris dari Ranah Minang, Buya Hamka, dalam kenangannya dengan gamblang mengatakan, perjuangan di Sumatera Barat tidaklah dapat memisahkan nama Chatib Soelaiman, baik di zaman Belanda ataupun pendudukan Jepang, apalagi di zaman sesudah proklamasi. Wajar saja, Buya Hamka tahu, karena Buya Hamka dan Chatib Soelaiman sama-sama pernah menjadi pengurus Front Pertahanan Nasional sebagai bentuk perlawanan kepada Belanda yang melanggar perjanjian Linggarjati.

Bagi Buya Hamka, Chatib Soelaiman adalah pencinta tanah air sejati. Jiwa dan semangatnya mencerminkan masyarakat dan budaya Minangkabau yang kuat berlandaskan ketaqwaaan dalam agama Islam. Bukan cuma itu, Buya Hamka menilai, Chatib loyal kepada yang di atas, setia kawan dan keras hati. Terakhir sekali, Hamka menyebut Chatib kaya dengan teori-teori, penuh inisiatif, serta pandai merancang dan merekayasa karya besar. Namun, Chatib tidak suka menonjolkan diri. Rendah hati sebagai ciri dari seorang yang kuat pribadinya.

Akankah, Chatib Soelaiman diusulkan kembali menjadi pahlawan nasional? Kita tunggu saja respons dari Tim Peneliti, Pengkaji dan Gelar baik di daerah ataupun yang daerah. Yang jelas, dalam momentum Peringatan Peristiwa Situjuah ke-75 Tahun pada Senin (15/1/2024), ribuan orang kembali berdoa, untuk mengenang kepergian Chatib Soelaiman dan para syuhada Peristiwa Situjuah. Baik yang dimakamkan di Situjuahbatua, Situjuah Banda Dalam, Situjuahgadang, maupun Limbukan. (*)

*Penulis Buku Tambiluak, Tentang PDRI dan Peristiwa Situjuah

Baca Juga

Ekspedisi Bela Negara, Menjemput Semangat PDRI di Masa Silam
Ekspedisi Bela Negara, Menjemput Semangat PDRI di Masa Silam
Puluhan Millenial dan Gen Z Mencari Ibu Kota Republik Lewat Ekspedisi D.Day Bela Negara 2023
Puluhan Millenial dan Gen Z Mencari Ibu Kota Republik Lewat Ekspedisi D.Day Bela Negara 2023
Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik
Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik
Misteri "Black Cat", Pesilat dan Harimau, Pengawal PDRI dari Kejaran Belanda
Misteri "Black Cat", Pesilat dan Harimau, Pengawal PDRI dari Kejaran Belanda
Menyambut 75 Tahun PDRI: Merunut Sejarah PDRI dalam Meningkatkan Partipasi Politik Generasi Z
Menyambut 75 Tahun PDRI: Merunut Sejarah PDRI dalam Meningkatkan Partipasi Politik Generasi Z
Hasril Chaniago Ajak Milenial Pahami Sejarah untuk Merancang Masa Depan
Hasril Chaniago Ajak Milenial Pahami Sejarah untuk Merancang Masa Depan