Al-Farabi adalah seorang Filosof Islam yang meyakini bahwa agama tidak betentangan dengan filsafat.
Sebuah negara, provinsi, kabupaten atau kota itu bagaikan jasad manusia. Ada jasad yang anggota tubuhnya penuh kelebihan dan kebaikan. Jasad atau tubuh itu memiliki akal, pikiran, jasmani dan ruhani yang cerdas, bijak, sehat dan berbudi tinggi.
Ada jasad yang memiliki akal rendah. Kualitas tubuh yang serba kurang. Pikiran sederhana, fisik yang sakitan dan ruhani yang kacau.
Sementara ada pula jasad yang angota tubuhnya prima. Mempunyai akal dan ilmu pengetahuan seperti yang pertama, hebat, sehat dan kuat. Akan tetapi kelakuan anggota batang tubuh lainnya seperti yang kedua, kacau dan tidak bermoral hanya mementingkan kesenangan diri, keluarga dan oligarkinya.
Tipologi negara, provinsi, kabupaten dan kota pertama, warga masyakat serta kepala pemerintahahannya, disebut oleh Al-farabi sebagai al-Madinah al-Fadhilah atau kota utama.
Lawannya tipologi kedua. Warga masyarakat serta presiden, gubernur, bupati dan walikotanya, otak dan pikirannya tidak cerdas. Banyak yang sakit pisik dan mengalami spiritualitas atau ruhani tak bemutu. Ini disebutnya, al-Madinah al-Jahiliah. Kota yang terkebelakang.
Sementara tipologi ketiga, warga dan pemimpinnya tampak luar sehat dan segar tetapi memiliki otak, akal, pikiran bulus dan lebih-lebih lagi spiritualitas dan ruhaninya rusak. Tipologi ini disebutnya al-Madinah al-Fasiqah.
Al-Farabi (870-950 M) bernama lengkap Abu Nasr Muhammad Al-Farabi lahir di desa Wasij di wilayah Farab, Transoxania, Asia Tengah. Kira-kira sekarang menjadi wilayah Uzbekistan.
Al-Farabi adalah seorang Filosof Islam yang meyakini bahwa agama tidak betentangan dengan filsafat. Keduanya membawa kepada kebenaran.
Al-Madinah al-Fadhilah merupakan pemikiran filsafat politik Al-Farabi yang sampai sekarang masih menjadi rujukan pemikiran Islam tentang watak pemimpin dan warga bangsa dalam kehidupan kenegaraan dan pemerintahan.
Meskipun menggunakan kosa-kata al-Madinah atau kota tetapi oleh para pemikir Islam filsafat politik Al-Farabi ini dinisbahkan kepada kehidupan berbangsa dan bernegara .
Al-Farabi, dengan pemahaman itu menekankan bahwa tujuan utama bernegara adalah tercapainya kebahagiaan bagi warga negara. Kebahagian lahiriah dan batiniah. Kokoh dan kuatnya otak, pikiran dan kreatifitas, sehat jasmani dan ruhani setali dengan kebaikan hidup menurut aturan hukum duniawi dan agama.
Dengan begitu pemimpin dan warga negara yang disebut al-Madinah al-Fadhilah itu, menjadi proto-tipe masyarakat seperti masa kepemimpinan Nabi Muhammad Rasulullah saw dan masa para sahabat.
Konsep negara ideal dalam gagasanya dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan juga Aristoteles. Terutama dalam gagasan tentang manusia sebagai makhluk sosial.
Tentu saja, selain itu Al-Farabi dipengaruhi banyaknya peristiwa sosial politik pada masa khalifah Abbasyiah.
Pemerintahan Mu‟ti suatu priode yang paling kacau dan tidak ada stabilitas politik. Filsafat politik Al-Farabi ini kelihatannya sebagai oto kritik bagi pemerintahan Abbasiyah ini.
Muncul bermacam tantangan pertentangan politik, pemberontakan, stabilitas politik dan keamanan yang tidak terjamin menjadi faktor utama gagasan tersebut muncul.
Timbul pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan berbagai motif. Ada motif agama, kesukuan, dan materi dan harta benda. Banyak anak raja dan penguasa lama berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekuasaan nenek moyangnya, khususnya orang-orang Persia dan Turki.
Masa muda Al-Farabi di Bukhara dan masa tua sampai wafatnya di Aleppo, Syria, menjadikan pemikiran filsafatnya menjadi bagian yang tak terelakkan dari dinamika masa kemunduruan Abbasiyah. Terutama segi intelektualitas dan kembalinya pemikiran lama sebelum kejayaan Abbasiyah.
Filsafat politik Al-Farabi menggunakan teori organik, belakangan amat populer.
Al-Farabi menyatakan bahwa pemerintahan dalam negara itu seperti halnya sistem organisme tubuh manusia, dimana setiap unsur yang ada saling memperkuat untuk mencapai satu tujuan. Yaitu tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan bagi warga negara.
Dengan teori organik, Al-Farabi menyatakan bahwa pemerintahan dalam negara itu seperti halnya sistem organisme tubuh manusia, dimana setiap unsur yang ada saling memperkuat untuk mencapai satu tujuan.
Akan tetapi yang paling utama dari semua organik tubuh manusia itu terletak di kepalanya.
Untuk yang tertinggi tentulah kepala negara. Presiden paling menentukan. Kemudian gubernur. Dan kalau dilacak kepada proforma negara modern dan negeri kita, tentulah bupati dan walikota sebagai organik paling di atas di daerahnya.
Bila ingin suatu negara, suatu kota atau kabupaten menggunakan teori filsafat politik Al-Farabi, mereka tersebut tadi itulah titik sentral penentu sebagai sekrup utama.
Itu tidak berarti semata-mata hanya tergantung mereka. Kualitas dari warga masyarakat itu sendiri tak kalah pentingya. Semua saling terkait.
Baca juga: Kontradiksi Eksklusif-Inklusif
Bila warga bangsa dan masyarakat tidak mengikuti gerak simetris, vertikal dan horizontal organik tubuh yang lain, terutama bagian atas yang disebut kepala tadi, maka tujuan utama al-Madinah al-Fadhilah akan jauh panggang dari api. Wa Allah a’lam bi al-shawab.
__
Shofwan Karim
Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Barat