Kontradiksi Eksklusif-Inklusif

Al-Farabi adalah seorang Filosof Islam yang meyakini bahwa agama tidak betentangan dengan filsafat. Keduanya membawa kepada kebenaran.

Shofwan Karim. (Foto: Dok. Pribadi)

Istilah populisme ekslusif (Exclusive Populism) di dalam wacana tulisan ini adalah diksi pinjaman dari Rober W Hefner (2016).

Guru Besar Universitas Boston ini menggambarkan era Donald Trump (DT), Presiden Amerika 2014-2018. DT terkenal populis, sangat dekat dengan rakyat dan popular karena teriakan dan programnya yang menolak pihak lain. Kini menjadi kenangan.

Pendahulu Joe Biden ini memainkan isu sensitive. Seperti Islamofobia, anti imigran, anti Meksiko dan Latino. Pada Tahun 2017 DT melarang rakyat 7 negara muslim masuk Amerika. Ke-7 negara itu adalalah Iran, Irak, Suriah, Yaman, Sudan, Somalia dan Libya.

Untuk meredam masuknya imigran dari Meksiko dan Latin Amerika , DT pada Tahun 2017 juga meminta senat Amerika mengesahkan rencana pembangunan tembok raksasa pembatas antara Amerika dan Meksiko.

Bagi kalangan tertentu di Amerika, DT sangatlah popular. Terutama dari kalangan pendukung Partai Republik, dari mana DT berasal. Seorang presiden terkaya Amerika 2,5 abad ini.

Partai Republik dengan ideologi konservatisme sangat kaku terhadap yang berbau asing. Kunto (2020) menyebutkan bahwa ada empat pandangan yang dianut oleh konservatisme.

  • Pertama, negara harus melindungi warga negaranya dari negara lain secara ketat.
  • Kedua, konservatisme memuja kebebasan pasar yang sebebas-bebasnya.
  • Ketiga, konservatisme punya kecenderungan asosiasi kuat dengan agama, terutama nilai-nilai protestan.
  • Keempat, sangat ekslusif. Dalam arti melindungi total kepentingan negeri dan meniadakan pihak lain atau negeri lain.

Berbeda dengan Partai Republik, Partai Demokrat dengan ideologi liberalismenya. Pertama, menganggap bahwa masyarakat tidak perlu terkungkung dengan negara.

Kedua, berkompetisi dengan negara dan warga negara lain. Ketiga, tidak perlu ada proteksi total ekonomi yang berlebihan. Proteksi yang berlebhan itu akan melemahkan persaingan dan kompetisi di luar negeri.

Dengan ideologi itu tadi, Joe Biden dianggap kalangan tertentu lebih rasional, lebih matang, lebih dewasa, lebih inklusif. Dalam arti lebih menerima keberagaman dengan pihak-pihak lain dengan tetap melindungi kepentingan negerinya.

Meskipun kedua ideologi tersebut, sama-sama berdiri pada ideologi kapitalis, namun yang membedakan adalah konservatisme dan liberalismenya atau eksklufisme dan inklusifisme tadi.

Teori Hefner di atas mungkin dapat dilekatkan kepada hal yang berbeda dalam konten yang sama kepada isu lain di negeri kita.

Misalnya, populisme ekslusif dan populisme inklusif di Indonesia. Ada kalangan yang populer karena eksklusifisme. Populeritas yang berdasarkan ketidak bepihakan kepada pihak lainnya. Bahkan menyakitkan. Sebaliknya adalah populisme yang rasional, lebih santun serta inklusif tehadap pihak lain.

Pada beberapa kasus misalnya para “buzzer” dan “influencer”. Buzzer (B. Inggris) bisa disebut lonceng, alarm atau kentongan . Ia berfungsi untuk memanggil, memberitahu dan mengumpulkan orang untuk melakukan sesuatu.
Akhir-akhir ini “buzzer” juga disebut lebih halus dengan kata “influencer”. Subyek yang mempengaruhi. Membuat sesutu menjadi “trending” atau “trend setter”.

Kedua kosa kata itu menjadi konten dominan di media sosial dalam berbagai variasi.

Akan tetapi penggunaannya, untuk buzzer lebih kepada isu dan kepentingan politik menumbuhkan populisme kelompok, partai politik atau tokoh.

Sementara, influencer biasanya lebih kepada tujuan komersial, bisnis, ekonomi dan pemasaran. Baik dalam bentuk opini, tayangan iklan iPod, YouTube, IG, FB, LinkdIn dan lainnya.

Bila menimbulkan kontra produktif untuk kemaslahatan umat, bangsa, negara dan kelanjutan generasi, maka hal itu dapat dikategorikan kepada buzzer dan influencer katgori populisme eksklusif.

Baca juga: Mahyeldi-Audy, Civil Society atau Masyarakat Madani?

Akan tetapi bila diperkirakan sesuai dengan arus utama yang normatif dan positif bagi mayoritas akal sehat, budaya dan ketinggian budi, inilah yang diharapkan menjadi populisme inklusif. Maka di situlah makna QS, Al-Anbiya, 21: 107, “Dan tidak Kami utus engkau ya Muhammad, kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”
Bukan paradoks populisme ekslusif-inklusif. Tidak mengandung kontradiksi terhadap kebersamaan. Sebaliknya menjadi kentongan untuk harmonisasi dan kerukunan.

Wa Allah a’lam bi al-shawab. Dan Allah Maha Tahu apa yang sebenarnya.

__
Shofwan Karim
Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Barat

Tag:

Baca Juga

Kekeliruan atas Laporan Film Dirty Vote
Kekeliruan atas Laporan Film Dirty Vote
TPA Aie Dingin Kota Padang: Salah Langkah, Bencana Menanti
TPA Aie Dingin Kota Padang: Salah Langkah, Bencana Menanti
"Ancika 1995" Happy Ending Seorang Dilan
"Ancika 1995" Happy Ending Seorang Dilan
Analisis BI7DRR: BI Diperkirakan Tetap Menahan Suku Bunga Acuan di Level 6 Persen
Analisis BI7DRR: BI Diperkirakan Tetap Menahan Suku Bunga Acuan di Level 6 Persen
Langgam.id - Salah satu tema percakapan publik yang paling hangat belakangan ini adalah tentang perayaan Halloween di Saudi Arabia.
Bahasa Minang dalam Tafsir Ulang Keminangkabauan
Nofel Nofiadri
Tafsir Ulang Keminangkabauan