Gubernur Sumbar Mahyeldi melakukan rotasi. Beberapa kepala dinas diputar-putarnya. Beberapa diantaranya memang ada juga yang baru masuk Provinsi.
Salah satu yang diputarnya adalah kepala dinas pendidikan. Kadis lama Barlius diputar ke Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM). Penggantinya dari Pemko Padang, Habibul Fuadi. Habibul bukan orang baru sama sekali, di dunia pendidikan. Beliau pernah jadi kepala dinas pendidikan dan kebudayaan kota Padang. Di Provinsi saja dia yang baru.
Beberapa tugas penting sudah menunggu Habibul. Pertama, menghentikan praktik jual beli buku di sekolah. Ini sudah rahasia umum. Penerbit-penerbit tertentu wara-wiri di sekolah-sekolah menjual langsung buku-buku mereka. Terjadi di hampir semua sekolah di senatero Sumatera Barat. Penerbit eksis di sekolah karena dapat "restu" dari orang dinas.
Jual beli buku di sekolah itu terlarang. Secara hukum begitu. Bacalah Pasal 63 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan: "Dilarang menjual buku teks pendamping secara langsung ke satuan dan/atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah". Saya kutip satu ini saja. Banyak lagi peraturan di bawah undang-undang memuat hal yang sama.
Banyak alasan larangan itu dibuat. Diantaranya, merintangi praktik komersialisasi di sekolah. Biasanya, praktik komersialisasi di sekolah berujung dengan suap menyuap. Sama-sama tahulah kita itu. Akibatnya, konsentrasi para guru dan pihak-pihak lainnya di sekolah memajukan pendidikan akan terganggu.
Transaksi terlarang itu juga mematikan toko buku. Pengunjung toko buku jadi jauh berkurang. Para orang tua dan anak-anaknya kehilangan alasan mengunjungi toko buku. Sebab, urusan perbukuan anak-anak dianggap sudah selesai di sekolah. Karena sudah jarang ke toko buku, minat baca anak-anak juga semakin rendah.
Akibat lainnya, rantai bisnis perbukuan juga jadi rusak parah. Rantai normalnya begini: penerbit - distributor - toko buku - sekolah dan/atau pembeli akhir. Praktik dagang buku di sekolah membunuh usaha distributor dan toko buku. Dampak ekonomi sosialnya sangat luar biasa. Banyak karyawan perusahaan distribusi buku dan toko buku yang kehilangan pekerjaan.
Kedua, Kadis Habibul mesti serius menyelenggarakan pendidikan yang membangun jiwa. Selama ini itu benar yang kurang.
Buktinya, ruang publik kita sangat amburadul. Sampah berserakan di banyak tempat: sungai dan pasar penuh aneka sampah. Antre di tempat umum jadi barang mahal. Jalan raya tidak aman dan nyaman: klakson berbunyi tiap sebentar, orang menyeberang di zebra cross tidak didahulukan, trotoar jadi tempat berjualan dan lain sebagainya.
Selama ini, dinas pendidikan terlalu serius memproduksi anak-anak berotak encer saja. Anak-anak berotak encer sangat dibanggakan. Padahal itu tidaklah pekerjaan sulit benar. Yang sulit itu mencetak anak-anak yang berperilaku baik, menghormati lingkungan, berkarakter atau anak-anak yang terbangun jiwanya.
Di poin ini, saya mengusulkan Kadis Habibul tampil memimpin dan/atau mengkoordinasikan para kadis pendidikan kabupaten dan kota se Sumatera Barat untuk menyelenggarakan pendidikan yang membangun jiwa.
Ketiga, menghapus sumbangan komite. Saya dan kita semua tahu, dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang dikucurkan Pemerintah Pusat tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh biaya operasional sekolah.
Menyiasati itu, peluang partisipasi publik dibuka. Para orang tua diimbau menyumbang, disebut sumbangan komite.
Dalam praktiknya, sumbangan komite menghadapi banyak masalah. Bahkan ada yang berujung di meja penegak hukum. Tidak itu saja, pihak sekolah dan komite sekolah juga banyak yang jadi objek pemerasan.
Orang-orang yang mengatasnamakan lembaga swadaya masyarakat dan wartawan adalah pemerasnya. Bahkan ada juga aparat penegak hukum yang bermetamorfosa menjadi pemeras.
Kadis Habibul harus berani menghapus sumbangan komite. Biar pihak sekolah dan pengurus komite lepas dari jerat hukum dan incaran para pemeras. Gantinya, hidupkan lagi sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) seperti tempo dulu.
Bagi saya, menghidupkan lagi SPP adalah kebijakan jantan dan bertanggung jawab Pemerintah. Jangan dikibuli juga lagi rakyat dengan terus menyebut sekolah gratis padahal uang komite harus dibayar saban bulan. Ibu-ibu sudah paham benar, itu hanya sekadar mengganti beruk dengan cigak.
Miko Kamal adalah Advokat dan Wakil Rektor III Universitas Islam Sumatera Barat