Matinya Si Canon
Belum lama ini, media sosial dihebohkan dengan kematian Canon, seekor anjing milik pengelola resort di Pulau Banyak, Kabupaten Singkel, Aceh. Mulai dari kecaman, kekecewaan, dan ekspresi lainnya, dilontarkan warganet. Bahkan, Sandiaga Uno menyayangkan kejadian itu.
“Pariwisata halal tidak seharusnya menyakiti siapa pun. Saya pikir kita perlu bangkit di masa-masa sulit ini untuk membuktikan bahwa Pariwisata Halal adalah jalannya,” ungkap Sandiaga.
Kegaduhan warganet ini pun ikut mendorong Deddy Corbuzier membahas topik ini melalui podcast dengan mengundang Guntur Romli. Seperti podcast Deddy lainnya, informasi yang disampaikannya selalu memberikan pencerahan dan pengayaan perspektif. Ini terlihat dari komen-komen viewers di video tersebut.
“Wisata halal kok pake cara yang haram. Yang haram yang saya maksud adalah melakukan penyiksaan terhadap binatang. Sampai mati, dia ga bisa bernafas. Inikan cara yang haram. Menyiksa binatang. Apapun binatangnya. Penyiksaan itu adalah sesuatu yang haram,” jelas Guntur Romli.
Sampai di sini, saya sangat setuju bahwa penyiksaan terhadap hewan adalah bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam. Guntur pun mencontohkan bagaimana adab menyembelih hewan di dalam Islam. Semua kita, sepakat dengan itu.
Kemudian, Guntur mengomentari apa yang disebut “Wisata Halal”. Menurutnya, wisata halal itu sebagai bentuk kampanye pariwisata untuk daerah yang mayoritas non muslim. Misalnya, di Jepang, kemudian di Taiwan, kemudian di Korea, Kemudian di Eropa, mereka punya Muslim Friendly Tourism atau wisata halal.
Tujuannya apa, agar orang muslim atau orang Timur Tengah tidak bingung, ini daerah non muslim. Maka disebut dengan wisata halal.
Wisata Halal
Lagi-lagi, tidak ada yang salah dari pernyataan Guntur. Secara teoritik, konsep wisata halal tidaklah tunggal. Ada yang memahaminya sebagai Muslim Friendly, Halal Tourisme, atau juga sebagai “Islamic Tourism”.
Dua istilah yang disebut terakhir sering digunakan secara bergantian. Isitlah “Halal” dalam pariwisata berhubungan dengan kebolehan dan larangan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan berdasarkan syariat Islam. Namun, ketika aktifitas wisata dimaksudkan untuk memperkuat mencari ridha Allah SWT, dan memperkuat keimanan, maka bisa dimaknai sebagai “Halal & Islamic Tourism”.
Adapun muslim friendly adalah layanan wisata untuk umat muslim yang disediakan oleh pengelola wisata di daerah-daerah minoritas muslim. Ini untuk memberikan jaminan bahwa destinasi wisata tersebut, ramah muslim. Ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Guntur.
“Nah sekarang, Aceh itu sudah menerapkan syariat Islam, katanya. Wisata halal itu untuk apa? Wong itu sudah daerah disebut dengan daerah Islam. Kita ke Arab Saudi, kemudian ke Dubai, ga ada yang namanya wisata Halal. Kenapa di kawan itu adalah sudah Islam. Jadi, ini salah kaprah menurut saya.”
Bila dilihat dengan konsep “Muslim Friendly” maka yang disampaikan oleh Guntur adalah tepat. Akan tetapi, benarkah di Dubai tidak ada wisata halal?
Ini adalah pernyataan terburu-buru tanpa didukung oleh data. Berdasarkan Global Muslim Travel Index 2021, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, termasuk top five destination, masing-masing di urutan ketiga dan kelima. Malaysia, Turkey, menempati posisi pertama dan kedua. Sedangkan Indonesia berada di posisi keempat.
Data tersebut menunjukkan bahwa Wisata Halal tidak bisa dipahami secara sempit hanya sebatas “Muslim Friendly” yang ada di daerah-daerah minoritas. Pentingnya jaminan produk halal, misalnya, juga tidak terlepas dari banyaknya kasus penggunaan bahan-bahan non-halal pada produk makanan, obat-obatan, kosmetik dan lainnya.
Silahkan search di google, berapa banyak kasus penggunaan daging tikus, babi pada makanan yang secara common sense dianggap halal, seperti sate, bakso, dan lainnya. Tidak hanya itu, ada juga kasus ayam potong yang dalam proses penggemukkannya ternyata disuntik oleh bahan-bahan haram, seperti gelatin.
Agaknya, kita terlalu berisik meributkan istilah berbau “agama”, tanpa secara serius mengelola potensi yang dapat mendatangkan kemakmuran bersama. Terlebih, istilah yang diributkan, telah diterima oleh komunitas akademik maupun praktiksi.
Jangankan Indonesia, negara-negara seperti Cina, Jepang, Belanda, UK, pun juga melirik potensi ekonomi dan keuangan syariah sebagai jalan mencapai tujuan-tujuan ekonomi yang lebih berkeadilan.
Perda ekonomi syariah, baik yang mengatur tentang pariwisata, produk halal, bank syariah, tidak bisa dilihat dengan kacamata sentimen “politik identitas.” Sebab, saat ini masyarakat telah memiliki rasionalitas yang lebih terbuka, dari sekedar cara pandang demikian. Simplifikasi wisata halal dengan kasus tertentu, adalah bentuk ketidakadilan berfikir.
Namun, kasus ini menjadi evaluasi kritis, baik secara akamis maupun praksis, bagaimana mengelola halal tourism secara profesional. Bila tidak, kasus-kasus kecil seperti ini akan menjadi preseden buruk terhadap upaya pengembangan wisata halal.
Sejauh mana perda ekonomi syariah mampu menjamin terwujudnya profesionalitas dalam pengelolaan bisnis dan keuangan syariah, sehingga mendatangkan kemakmuran bersama semestinya menjadi fokus dan perhatian utama kita.
Aceh
“Jadi, wisata halal itu untuk apa untuk siapa? Itu pertanyaanya menurut saya. Menurut saya, wisata halal itu bukan untuk wisatawan tapi untuk kepentingan kekuasaan pemerintah daerah yang melakukan politisasi agama, politisasi islam atas nama Halal.
Karena derahnya ga butuh. Sudah ga butuh, soal halal, soal islam udah banyak.. rumah makan, banyak masjid. Tempat mushala. Jadi buat apa halal dipakek. Dipakek oleh pemimpin-pemimpin daerah yang menurut saya yang melukakan, biar dianggap lebih islam, dianggap perhatian, padahal bukan untuk kepentingan wisatawan.”
Saya termasuk orang yang tidak setuju dengan politik identitas, apapun bentuknya. Sebab, bisa saja orang tidak mengunakan simbol agama dalam politik identitas, tapi dia menggunakan identitas lain, seperti organisasi, tokoh, daerah, suku, dan lainnya.
Misal, cukup banyak terjadi seseorang yang memiliki keahlian tertentu, tidak bisa menempati posisi/jabatan tertentu karena dia bukan termasuk “orang kita”. Sungguh, ini adalah politik identitas tersembunyi yang merusak tatanan. Saya tidak tahu, entah sampai kapan budaya politik seperti ini bersemayam di negeri ini.
Lalu, apa hubungannya dengan Aceh?
Kasus Canon terjadi di Aceh. Daerah yang di media-media mainstream selalu menjadi viral bila terjadi kasus-kasus yang menyentuh sentimen moral publik, seperti kematian Canon. Atau kasus-kasus lain, yang bila Anda search di google, semua bisa ditemui.
Dulu, saya termasuk orang yang merasa jengkel setiap kali membaca berita tentang Aceh. Katanya menerapkan syariat Islam, kok kasus-kasus memalukan sering terjadi di Aceh. Perempuan dilarang duduk mengangkang di motor, hukuman cambuk, penganiayaan terhadap perempuan dan lain sebagainya. “Dasar Aceh, menggunakan label Islam, tapi sama sekali tidak Islami. Patutlah Tsunami menghantam, kau Aceh. Dasar!”
Demikian pikiran saya menghakami Aceh, dulu. Tapi, setelah saya menginjakkan kaki di Aceh, semua image tentang Aceh yang saya baca di media, musnah seketika. Bukan karena Aceh telah “Islami” tapi karena adanya niat; kehendak menjadi lebih baik, sesuai dengan apa yang diyakini: Islam.
Pandangan hidup (worldview) kita tentang Islam tidak hanya terbentuk dari pemahaman teologis, tetapi juga dari faktor sejarah, budaya, bahasa, dan bahkan politik. Cukuplah Aceh mengalami ketidakadilan dalam sejarah republik ini, jangan ditambah oleh ketidak-adilan kita dalam memahami Pandangan hidup (worldviewI) mereka.
Saat ban motor yang saya kendarai kekurangan angin, saya berhenti di salahsatu tampal ban. Yang bekerja seorang Ibu-ibu. Selain ramah, ibu itu secara telaten menambah tekanan angin pada ban motor saya. Saya bergumam pada teman saya, “yang seperti ini, kok tidak pernah diberitakan media ya.”
Sudah menjadi budaya di Aceh, setelah sholat subuh duduk di warung kopi. Sekali waktu, saya dan teman saya, Rama, cukup lama berdiskusi di warung kopi. Dampaknya, saat hendak kembali ke penginapan, motor yang kami kendarai diberhentikan oleh polisi.
Dari komunikasi teman saya dengan polisi tersebut, kami mendapat teguran keras. Saya yang tidak paham, bertanya apa arti kata polisi tadi. “Dia menegur kita, kok tidak pake helm. Berbahaya. Rama bilang, pulang dari Masjid. Lalu, dia suruh kita jalan di jalur lain.” “Polisi yang baik,” batin saya.
Pada akhirnya, al-umuru bi al-maqasidiha, suatu urusan berpulang pada niat atau maksudnya. Tidak perlu jauh-jauh mencari keburukan di Aceh, sebab pada pikiran-lah keburukan itu berurat tunggang. Sebaliknya, tidak perlu jauh-jauh ke Vatikan untuk menemukan kebaikan, karena nun di hati kita, kebaikan itu bersemayam.
Nagari Tuo Pariangan, 30 Oktober 2021.
*Direktur Eksekutif Bersama Institute