Roem-Roijen Tanpa PDRI, Perundingan yang Picu Banyak Pihak Tersinggung

Roem-Roijen Tanpa PDRI, Perundingan yang Picu Banyak Pihak Tersinggung

Peta posisi Sjafruddin, Sukarno-Hatta dan Sudirman saat Roem Roijen. (Foto: Ist & openstreetmap.org)

Langgam.id - Adalah rencana Perundingan Roem-Roijen yang membuat para pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) harus berjalan kaki lagi ratusan kilometer untuk menggelar musyawarah besar di Silantai dan Sumpur Kudus, Sijunjung.

Terdengar kabar, PBB melalui United Nations Committee for Indonesia (UNCI) membujuk para pemimpin Indonesia yang ditawan di Bangka untuk berunding dengan Belanda. Terlintas pula berita, para pimpinan di Bangka setuju untuk berunding dan menunjuk Muhammad Roem sebagai ketua delegasi Indonesia.

Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Ketua PDRI langsung saling kontak, mempertanyakan. Kenapa tak menghubungi penanggung jawab yang sedang menjalankan pemerintahan?

"...apakah orang-orang yang dalam tawanan atau pengawasan Belanda berhak merundingkan, lebih-lebih memutuskan sesuatu hal yang berhubungan dengan politik, untuk menentukan status negara kita. Sedang telah ada PDRI yang telah diresmikan sendiri oleh Tim Presiden ke seluruh dunia pada tanggal 19-12-1948,” kata Jenderal Sudirman, sebagaimana ditulis Jenderal AH Nasution dalam Bukunya "Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia" (1977). (Baca: Surat Panglima Besar Soedirman untuk PDRI)

Toh, perundingan tersebut tetap jalan, tanpa menghubungi PDRI. Pada tanggal 6 Mei 1949, Mohammad Roem yang menjadi pimpinan delegasi Indonesia datang ke Bangka menemui Sukarno-Hatta yang masih ditawan. Ia membawa draft naskah perundingan yang akan disepakati tersebut. Begitu disetujui, ia kembali ke Jakarta.

"...paginya berlangsung upacara penandatanganan pernyataan, yang dicapai dari perundingan Roem dan Van Roijen, dengan bantuan Merle Cochran. Naskah, yang dalam catatan sejarah kelak lebih dikenal dalam istilah, Pernjataan Roem-Roijen, tanggal 7 Mei 1949," tulis Julius Pour dalam Buku "Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer" (2010).

Pramoedya Ananta Toer dkk dalam Buku "Kronik Revolusi Indonesia Jilid V" menulis, Mr. Muhammad Roem menyatakan, bahwa ia diberi kuasa oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk memberikan jaminan.

Jaminan itu sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB 28 Januari 1949 dan Pedoman Kanada. Yakni, pertama, mengeluarkan perintah kepada penganut-penganut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.

Kedua, kerjasama untuk memulihkan dan mempertahankan ketertiban dan keamanan. Dan, ketiga, turut serta dalam konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan tak bersyarat yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Republik Indonesia Serikat.

Sebagai imbalannya, pihak Belanda menyetujui: pertama, kembalinya Pemerintah Republik ke Yogyakarta, dan untuk itu dibentuk panitia bersama di bawah naungan UNCI. Dengan tugas, mengadakan persiapan-persiapan pendahuluan dan memberi nasehat tentang tindakan-tindakan untuk penghentian perang gerilya dan mempertahankan ketertiban dan keamanan;

Kedua, Pemerintah Republik akan bebas dan dipermudah untuk menjalankan fungsi-fungsinya yang perlu di Karesidenan Yogya.

Ketiga, pihak Belanda akan segera mengakhiri operasi militernya dan membebaskan semua tahanan politik sejak l7 Desember l948

Keempat, Pemerintah Nederland akan menghentikan pembentukan atau pengakuan negara atau daerah di wilayah yang dikuasai oleh Republik sebelum tanggal l7 Desember l948

Kelima, Pemerintah Nederland menyetujui adanya Republik sebagai negara bagian dalam Negara Indonesia Serikat, dengan suara sepertiga dari seluruh jumlah suara dalam badan perwakilan federal.

Keenam, KMB yang diadakan sesudah pemerintah republik ke Yogyakarta, akan membicarakan bagaimana mempercepat penyerahan kedaulatan kepada RIS yang benar-benar penuh tanpa syarat sesuai dengan prinsip Renville.

Ketujuh, pemerintah Nederland menyetujui bahwa daerah-daerah di luar Yogyakarta di mana pemerintah sipil dan polisi republik masih menjalankan tugasnya, akan tetap berfungsi.

"Jam 17.00, Roem-Roijen Statements (Persetujuan Roem-Roijen) tercapai dan ditandatangani di Hotel des Indes, Jakarta," tulis Pramoedya.

Kesepakatan Roem-Roijen menimbulkan reaksi di kedua belah pihak. Di pihak Belanda, "Wakil Mahkota Belanda di Indonesia Dr. Beel pada 9 Mei 1949 menyatakan mundur dari jabatannya dan digantikan AH Lovink," tulis Iin Nur Insaniwati dalam Buku "Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya, 1924-1968".

Dari Indonesia juga muncul berbagai tanggapan. Ketua Masyumi Mohammad Natsir mempertanyakan mandat Roem sebagai ketua delegasi RI dari Sukarno-Hatta yang tidak berfungsi lagi sebagai presiden dan wakil presiden. Menurutnya, Roem-Roijen perlu didiskusikan terlebih dahulu dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai ketua PDRI.

Panglima Jenderal Sudirman yang sudah sejak semula tak simpati dengan perundingan ini, bertambah tersinggung setelah mendengar poin pertama kesepakatan. Menurut Iin, istilah "penganut-penganut republik yang bersenjata" dalam poin pertama kesepakatan tersebut dinilai Panglima menyepelekan dan tidak mengakui Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Sjahrir yang beroposisi juga mengkiritik perundingan yang tak melibatkan PDRI.

Kelompok yang paling dikecewakan tentulah PDRI. Saat keadaan genting, PDRI yang memegang komando perjuangan Republik. Ketika ada perundingan, jangankan dianggap sebagai yang paling berwenang, dilibatkan saja tidak. Jangankan dilibatkan berunding, diajak berkonsultasi pun tidak.

Muhammad Roem dan Ali Sastroamidjojo yang menjadi wakil ketua delegasi menjawab tudingan tersebut. Iin menulis, Roem mengaku sama sekali tak berniat melecehkan tentara. Namun ia mengakui kekeliruan kalimat di poin pertama itu.

Namun, menurut Roem, persetujuan yang dibuatnya membuka pintu yang lebar untuk terus memperjuangkan kepentingan Indonesia. Kedudukan Republik makin kuat. Perjuangan bekum selesai. "Tetapi ia yakin bahwa kembalinya pemerintah ke Yogyakarta akan menuju kepada pengakuan dari segenap dunia terhadap eksistensi RI," tulis Iin.

Sementara Ali beralasan, pihak PBB dan UNCI selalu mengajak pimpinan di Pulau Bangka untuk berunding. Sehingga, secara hukum internasional, keberadaan para pimpinan di Bangka masih dianggap sah mewakili di dunia internasional.

Selain itu, menurut Ali, Sjafruddin dan PDRI menurutnya sudah menyetujui resolusi New Delhi. Salah isi resolusi, mendorong supaya pemerintah dikembalikan ke Yogyakarta dan dimungkinkan berfungsi bebas. Makanya, ketika mungkin berfungsi, maka ia pun berjalan.

Ketika perundingan itu ditandatangani, sebagian pemimpin PDRI sudah sampai di Nagari Silantai dan Sumpur Kudus, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat. (Baca: Surau Tua Silantai, Istana Ketua PDRI)

Penandatanganan perundingan tersebut menambah panas situasi yang sebelumnya memang sudah tidak menghendakinya. Namun, pimpinan PDRI sepakat membahas tanggapan atas kesepakatan tersebut dalam musyawarah besar. Mubes sendiri berlangsung 14-17 Mei 1949.

Penyikapan PDRI atas kesepakatan Roem-Roijen jadi salah satu dinamika dalam perjuangan PDRI. Hal yang kemudian masih terbawa jadi persoalan sampai ke hari-hari terakhir jelang mandat PDRI dikembalikan. (HM)

Baca Juga

Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Tanjung Barulak Menolak Pajak
Tanjung Barulak Menolak Pajak
Ekspedisi Bela Negara, Menjemput Semangat PDRI di Masa Silam
Ekspedisi Bela Negara, Menjemput Semangat PDRI di Masa Silam
M. FAJAR RILLAH VESKY
75 Tahun Peristiwa Situjuah, dan Chatib Soelaiman yang Tak Kunjung Jadi Pahlawan Nasional
Puluhan Millenial dan Gen Z Mencari Ibu Kota Republik Lewat Ekspedisi D.Day Bela Negara 2023
Puluhan Millenial dan Gen Z Mencari Ibu Kota Republik Lewat Ekspedisi D.Day Bela Negara 2023
Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik
Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik