Sejak tahun 1999 semangat otonomi daerah begitu digelorakan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini memberikan angin segar bagi masyarakat di daerah untuk optimis akan peningkatan kesejahteraannya. Sistem sentralistik yang pernah diberlakukan rezim orde baru menyebabkan daerah sulit mengembangkan potensi derahnya secara maksimal.
Tercantum jelas dalam konsideran menimbang UU Nomor 22 Tahun 1999 ini, bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Otonomi daerah sendiri dalam UU ini dijelaskan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Layaknya daerah yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumahtangganya sendiri, tentu juga harus diberikan “modal” yang cukup untuk itu. Di UU No 22 Tahun 1999 ini “modal” daerah tersebut terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan: Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dan semangat ini kurang lebih sama dilanjutkan dalam UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 23 Tahun 2014.
Di bulan Januari 2009, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan semangat untuk dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien dan berwawasan lingkungan, UU ini mencabut UU nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang dirasa sudah tidak sesuai lagi. Salahsatu tujuan pengelolaan mineral dan batubara dalam Pasal 3 UU Nomor 4 Tahun 2009 adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Dari tujuan pengeloaan ini secara eksplisit sebenarnya sudah diketahui bahwa masyarakat lokal (lah) yang diprioritaskan untuk disejahterakan.
Pada tanggal 10 Juni 2020 disahkan UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Di tengah Pandemi Covid19 yang masih melanda, lahirnya undang-undang ini langsung disambut beberapa kritikan masyarakat. Terdapat penambahan 2 Bab baru sehingga menjadi 28 bab, sebanyak 83 pasal diubah, penambahan 53 pasal baru dan penghapusan 18 pasal. Penambahan, perubahan, dan penghapusan pasal tersebut secara umum terkait tentang perpindahan kewenangan pemberian izin, pengawasan, dan pengelolaan sumber daya manusia.
Beberapa pasal yang diubah secara krusial diantaranya Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2009. Pasal ini sebelumnya menyatakan bahwa penguasaan mineral dan batubara diselenggarakan oleh pemerintah (pusat) dan/atau pemerintah daerah. Sedangkan di Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2020 menyatakan penguasaan mineral dan batubara diselenggarakan (hanya) oleh pemerintah pusat. Pasal lainnya yang diubah adalah Pasal 6.
Tidak hanya dari segi kuantitas, Pasal 6 UU Nomor 3 Tahun 2020 juga secara kualitas memberikan perluasan kewenangan kepada pemerintah Pusat. Dari segi jumlah, terdapat 23 kewenangan pemerintah pusat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 dan hanya sebanyak 21 butir dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009.
Secara kualitas, kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara ditambahkan sehingga menjadi berwenang dalam menetapkan rencana pengelolaan mineral dan batubara nasional, menetapkan kebijakan mineral dan matubara nasional, menetapkan peraturan perundang-undangan, menetapkan standar nasional, pedoman, dan kriteria, serta melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan pada seluruh wilayah hukum pertambangan.
Kewenangan lainnya yang juga dipegang oleh pemerintah pusat adalah dalam hal menetapkan WP (Wilayah Pertambangan). Setelah ditentukan oleh pemerintah daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menetapkan WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) Mineral Logam dan WIUP Batubara, menetapkan WIUP Mineral Bukan Logam dan WIUP Batuan, menetapkan WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus), melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas, menerbitkan perizinan berusaha, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang dilakukan oleh pemegang perizinan berusaha, menetapkan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi.
Lalu menetapkan kebijakan kerjasama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat, melakukan pengelolaan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan batubara, melakukan pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi dan pascatambang, melakukan penyusunan neraca sumberdaya mineral dan batubara tingkat nasional, melakukan pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan, melakukan peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan, menetapkan harga patokan mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu, mineral radioaktif, dan batubara, melakukan pengelolaan inspektur tambang, melakukan pengelolaan pejabat pengawas pertambangan.
Penambahan kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara ini begitu komprehensif namun berbanding terbalik dengan kewengangan pemerintah provinsi dan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 2009 yang berbicara tentang kewenangan pemerintah provinsi dan Pasal 8 tentang kewenangan pemerintah kabupaten dan kota dihapuskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2020. Padahal perubahan Pasal 4 ayat (2) serta penghapusan Pasal 7 dan Pasal 8 UU No 4 Tahun 2009 tentu saja bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
Kewenangan-kewenangan terkait potensi Sumber Daya Alam di daerah idealnya harus berada di tangan pemerintah daerah, atau setidaknya harus mengikutsertakan pemerintah daerah. Memang, dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, namun kata “negara” tidak bisa hanya diartikan sebagai “pemerintah pusat” saja. Pemerintah daerah juga menjadi bagian dari itu. Dan poin penting yang tidak boleh dilupakan adalah frasa “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Mahkamah Konstitusi dalam keputusan terkait uji materil atas UU Nomor 27 Tahun 2007 menyatakan bahwa frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” harus dimaknai dalam 4 tolak ukur, yaitu: kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Jika boleh berprasangka buruk, maka sesungguhnya UU Nomor 3 tahun 2020 ini telah mengamputasi kewenangan pemerintah daerah yang imbasnya juga akan berpengaruh pada pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Masyarakat daerah hanya akan menjadi penonton ketika pengusaha-pengusaha besar yang dekat dengan kekuasaan pusat mengeksploitasi Sumber Daya Alam, khususnya mineral dan batubara di daerah mereka.
Belum lagi permasalahan lingkungan yang ditimbulkan pascatambang. Semoga saja Pemerintah dan DPR mau meninjau dan mengkaji kembali beberapa pasal krusial yang terdapat dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 ini.
Lerri Pattra, Dosen Fakultas Hukum Unand