Langgam.id - Peneliti politik asal Belanda Ward Berenschot mengatakan biaya politik penyelenggaraan pemilu di Indonesia sangat mahal. Biaya mahal itu harus diatasi dan diturunkan, karena menciptakan politik transaksional antara calon dan pemilih.
Berdasarkan penelitian Ward, praktek bagi-bagi uang atau dikenal dengan istilah 'serangan fajar' saat pemilu sangat umum terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Semua caleg atau calon kepala daerah memberikan uang kepada pemilih agar mendapat suara. Perannya lebih seperti iklan politik yang sangat mahal.
"Seperti banyak orang bilang, kalau calon memberi uang saat pemilu belum pasti bisa menang. Tetapi kalau calon tidak memberi uang, sudah pasti tidak akan menang," kata dalam sebuah diskusi di Padang, Kamis, (17/5/2019).
Sebab, katanya, memberi uang sudah dikualifikasikan sebagai calon yang serius mendapatkan suara oleh pemilih. Praktek serangan fajar saat ini ditenggarai sudah cukup mengkhawatirkan.
Akibat serangan fajar itu, ongkos politik dan tingkat korupsi pun naik. Kerugian negara juga naik. Efeknya, anggaran negara untuk memperbaiki pelayanan publik, pendidikan dan lain-lain tidak bisa jauh berkurang.
Ward menyarankan agar pihak berwenang berpikir bagaimana bisa menghentikan atau mengurangi praktek serangan fajar.
Mengutip penelitian Burhanuddin Muhtadi, menurutnya, di Indonesia mulai dari 25 persen sampai 33 persen pemilih mendapat uang serangan fajar saat pemilu.
"Itu hasilnya bisa dibandingkan dengan negara lain karena di negara lain juga ada penelitian begitu. Dia menemukan praktek serangan fajar di Indonesia tingkatnya hampir tertinggi di dunia. Saya kira, ada satu atau dua negara di Afrika dimana tingkatnya masih lebih tinggi. Jadi posisi ketiga saya kira untuk Indonesia di dunia. Jadi itu memang indikasi hal serius yang harus diatasi," sebutnya.
Ward pernah melakukan survei dibantu teman-teman nya di daerah. Ia menanyakan soal berapa angka praktek serangan fajar. Kemudian juga bertanya seberapa umum praktek kasih kontrak dari pemerintah kepada perusahaan yang telah mendukungnya saat menjadi calon dan berapa umum memberikan promosi jabatan kepada PNS yang pernah mendukung calon saat kampanye.
Hal yang menarik menurut Ward bahwa ia menemukan praktek serangan fajar umum terjadi dimana-mana di Indonesia, tidak ada perbedaan besar di antara seluruh kabupaten kota seperti di pulau Jawa, di Sumatra dan di Papua.
Yang agak berbeda adalah praktek tukar kepentingan (klientalisme). Yaitu kontrak yang diberikan kepada perusahaan oleh pemerintah kepada perusahaan yang telah mendukung saat kampanye. Di sana ada perbedaan besar.
"Tingkat praktek klintealisme lumayan tertinggi. Tetapi tidak terlalu besar di pulau Jawa, skor terendah ada di kota-kota besar. Skor menengah di Sumatra termasuk Sumatra Barat. Sedangkan skor tertinggi ada di Kalimantan dan di Indonesia bagian timur. Saya menemukan praktek klientalisme itu bervariasi terjadi di Indonesia," ujarnya.
Menurut Ward, praktek klientalisme bukan hal mudah dihilangkan karena terkait budaya di masyarakat dan juga ada hubungan dengan struktur ekonomi. Namun menurutnya ada jalur untuk mengurangi yaitu dengan mengubah sistem elektoral yang ada.
Ward mencatat dalam sistem elektoral yang dipakai saat ini ada beberapa peraturan yang menaikkan tingkat praktek klientalisme. Di antaranya sistem partai terbuka saat pileg, lemahnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tidak memiliki wewenang cukup menghentikan praktek serangan fajar, dan jumlah calon yang terlalu banyak.
"Kemaren saat Pemilu ada 245 ribu calon, itu memang luar biasa banyak. Itu harus banyak memberikan insentif kepada banyak orang. Saya rasa Pemilu demokratis tidak perlu terlalu banyak calon. Itu terkait ukuran dapil, kalau bisa membesarkan dapil jumlah calon akan turun. Pokoknya ada beberapa pergantian bisa dilakukan. Mungkin mengubah sistem elektoral untuk mengurangi serangan fajar dan klientalisme turun," katanya.
Ward menyatakan biaya mahal adalah dampak sistem elektoral saat sekarang. Termasuk kebutuhan saksi di setiap TPS juga membuat biaya sangat mahal. Ia menyarankan agar melakukan pemilihan dengan elektronik yaitu e-voting.
Menurutnya sistem elektronik memang ada resiko seperti data yang dapat di-hack. Tetapi jika dibuatkan sistem yang kuat dan pelaksanaan yang baik tentu bisa berhasil. Misal, dengan tidak menghubungkan dengan jaringan internet.
Kemudian setiap TPS bisa membuat salinan dengan kertas seperti form C1 sehingga bisa dilakukan pengecekan dan ada data pembanding.
"Kalau setiap saksi dapat 200 ribu rupiah saja, bisa dihitung itu bisa miliaran rupiah habis uang. Kalau dengan voting elektronik tidak perlu saksi lagi, itu salah satu cara. Banyak cara untuk mengurangi ongkos yang mahal," tuturnya. (Rahmadi/HM)