Menelisik Keadilan di Balik Sehelai Jilbab

Menelisik Keadilan di Balik Sehelai Jilbab

Selly Afrida Oltar (Foto: Dok. Selly)

Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah berita yang tautannya disebarkan salah seorang anggota di salah satu grup whatsapp. Berita tersebut dimuat di salah satu media terkenal di negeri ini dengan judul “Saat Siswa SD di Gunungsitoli Menangis karena Dilarang Pakai Jilbab di Sekolah”.  Informasi tersebut tertanggal 14 Juli 2022.  Beberapa pekan setelahnya, di media yang sama terpublikasikan berita bertajuk “Siswi SMAN di Yogyakarta Diduga Dipaksa Pakai Jilbab oleh Guru, Bagaimana Aturan Seragam Sekolah di Indonesia”? Sangat disayangkan, peristiwa semacam ini masih kerap terjadi, bahkan menjelang bangsa kita memperingati 77 tahun berdirinya negara yang menganut asas demokrasi ini.

Sebagaimana diketahui, di dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia adalah untuk mewujudkan keadilan sosial. Tujuan ini dikuatkan lagi dengan sila kelima Pancasila yang ditetapkan sebagai dasar negara kita. Kita patut prihatin kasus-kasus pemaksaan maupun pelarangan berhijab masih kerap terjadi di negeri ini. Namun sepanjang saya mengamati kasus semacam ini, nampaknya fenomena ini akan terus berulang di negara kita, mengingat hampir setiap daerah memiliki karakteristik tersendiri terkait kebiasaan, kelaziman, kebudayaan dan kearifan lokal di masing-masing daerah. Karena itu sepatutnya kasus-kasus semacam ini diselesaikan di tingkat daerah saja, misalnya di tingkat Kabupaten/ Kota atau tingkat Provinsi, sebagaimana peristiwa yang baru saja terjadi di Yogyakarta berhasil diselesaikan di tingkat Provinsi.

Yang ingin saya telisik lewat tulisan ini adalah sikap negara (melalui pemerintah pusat) dalam menangani kasus semacam ini. Pemerintah berkewajiban bersikap bijaksana dalam merespon sekaligus memenuhi rasa keadilan bagi seluruh rakyat apabila ada keputusan yang terpaksa harus dikeluarkan terkait penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum abdi negara. Masih melekat kuat dalam ingatan saya, kasus dugaan pemaksaan penggunaan hijab yang dilakukan oleh oknum guru di SMKN 2 Padang, Januari tahun lalu. Saat itu saya teramat sangat heran mengapa kasus ini terkesan terlalu dibesar-besarkan, padahal dugaan pemaksaan maupun pelarangan menggunakan hijab sudah kerap terjadi sebelumnya, juga setelahnya. Tak tanggung-tanggung, persoalan “kecil” yang terjadi di SMKN 2 Padang ini direspon dengan sangat gegap gempita oleh pemerintah, hingga dikeluarkannya SKB tiga menteri (Mendikbudristek, Menag dan Mendagri), hanya berselang satu bulan sejak terjadinya peristiwa tersebut.

Baca Juga: Ratna Sari, “Singa Podium” Kongres Perempuan 1935

Banyak masyarakat Sumbar dan (keturunan) etnis Minangkabau di perantauanpun  meradang, tak terkecuali saya. Saat kasus tersebut menghebohkan publik dan menjadi isu nasional, Sumatera Barat dan etnis Minang seakan dicap sebagai provinsi dan etnis paling intoleran dan anti keberagaman di Indonesia. Tangan saya terasa sangat gatal ingin membuat tulisan untuk membela daerah yang memang merupakan asal-usul nenek moyang saya. Namun, saya teringat pesan bijak seorang dosen di Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, sebaiknya kita tidak membuat tulisan yang terlalu melibatkan sentimen pribadi, dimana kemungkinan besar tulisan kita akan menjadi tidak objektif. Maka saat itu saya urungkan niat untuk menanggapi kebijakan pemerintah yang menurut saya sangat berlebihan, tidak bijaksana dan proporsional dalam merespon kasus tersebut.

Pengamatan saya tentu tidak terhenti sampai di situ.  Beruntungnya masyarakat Minangkabau berhasil memperjuangkan keadilan melalui upaya keras LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau). LKAAM Sumatera Barat mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung, hingga salah satu lembaga tinggi negara tersebut membatalkan SKB Tiga Menteri yang memang seakan dibuat tergesa-gesa,  tanpa melewati proses pengkajian hukum yang objektif dan proporsional.

Selang beberapa bulan setelah peristiwa di SMKN 2 Padang,  tepatnya April 2021, terjadi peristiwa yang sangat tragis di Papua. Dua guru tewas ditembak, tiga sekolah dibakar dan satu orang Kepala Sekolah sempat diculik KKB (Kelompok Kekerasan Bersenjata). Sejauh pengamatan saya, pasca peristiwa tersebut alih-alih membuat SKB tiga menteri, Nadiem Makarim hanya menuliskan ucapan belasungkawa di akun medsos pribadinya.

Rasa keadilan saya seakan terkoyak kembali. Menurut saya sangat tidak adil untuk kasus “sesederhana” yang terjadi di ranah pendidikan Kota Padang, menteri terkait langsung sigap bereaksi, bahkan mengajak dua menteri lainnya untuk membuat Surat Keputusan Bersama. Sementara untuk kasus besar yang teramat memilukan di Kabupaten Puncak Provinsi Papua, kementerian pendidikan kita tidak mengeluarkan pernyataan resmi dan tidak berupaya keras menghadirkan produk hukum yang lebih dapat melindungi lembaga pendidikan yang dinaunginya. Dua kasus terkini terkait pelarangan dan pemaksaan hijab yang terjadi di Sumatera Utara dan Yogyakarta pun seakan luput dari perhatian pemerintah pusat, khususnya kemdikbudristek.

Pasca Pilpres 2019, Sumatera Barat memang terlihat sering disudutkan oleh beberapa pihak. Bahkan akibat kalah telaknya pasangan Presiden Jokowi-Ma’ruf, sempat muncul ajakan  yang cukup viral di dunia maya untuk memboikot Rumah Makan (Nasi) Padang. Kalimat Puan Maharani “semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung Pancasila” semakin menguatkan dugaan adanya “sentimen” tertentu terhadap provinsi yang memiliki falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah ini. Lalu apakah kecilnya perolehan suara pemimpin yang sekarang berkuasa, ada hubungannya dengan perbedaan pemerintah dalam menyikapi kasus-kasus tertentu? Pertanyaan ini tentu membutuhkan kajian dan analisis lebih mendalam. Analisis dari beberapa kasus yang saya angkat dalam tulisan ini tentu belum cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, bahwa ada ketidakadilan pemerintah dalam banyak ranah, termasuk ranah pendidikan yang saya coba angkat di tulisan ini, sudah menjadi perbincangan yang kerap mengemuka di masyarakat. Ranah lain yang saya maksudkan misalnya ketidakadilan di ranah hukum, ekonomi, politik, lingkungan, agama, dan ranah lainnya. Inilah yang harus kita renungkan dan introspeksi secara mendalam khususnya pada momen hari kemerdekaan negara tercinta ini.

John Mellencamp, seorang musisi terkenal dari Amerika Serikat pernah menulis syair yang berjudul “Justice and Independence ‘85”. Lagu ini menceritakan hubungan antara kemerdekaan, keadilan, dan sebuah negara bangsa (yang kita kenal dengan Amerika Serikat) yang dianalogikan seperti hubungan seorang ayah, ibu dan anak. Potongan syairnya berbunyi “He was born on the fourth day of July. So his parents called him Independence Day. He married a girl named Justice. Who gave birth to a son called the Nation”. Meski analogi Mellencamp agak berbeda dengan pendapat  para tokoh yang merumuskan Pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaanlah yang melahirkan sebuah negara bangsa (nation state), lalu negara  tersebutlah yang harus berusaha melahirkan keadilan sosial, namun yang pasti ada hubungan yang sejatinya tidak dapat dipisahkan antara kemerdekaan, negara dan keadilan.

Dalam buku Hukum Administrasi Negara terbitan Graha Ilmu Yogyakarta (2012) halaman 35, Dr.  Jum Anggriani S.H., M.Hum., menafsirkan kalimat seorang filsuf ternama. “Socrates memberikan gambaran tentang makna negara, yaitu susunan yang obyektif berdasarkan kepada sifat hakikat manusia. Oleh karena itu, negara bertugas untuk melaksanakan dan menerapkan hukum-hukum yang obyektif yang memuat keadilan bagi umum dan tidak hanya melayani kebutuhan para penguasa negara yang berganti-ganti”.

Hampir delapan dekade sudah negara kita lahir. Sedikitnya tujuh presiden sudah menjabat (sebagian pendapat mengatakan sembilan). Entah berapa puluh kali sudah kabinet silih berganti. Dari perjalanan panjang tersebut, sepatutnya keadilan dapat tegak dengan kokoh di republik ini, bukan tegak seperti “pucuk aru” dalam perumpamaan orang Minangkabau. (*)

Selly Afrida Oltar, ibu rumah tangga, pemerhati sosial, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Ibu Negeri

--

Ikuti berita Sumatra Barat hari ini, terbaru dan terkini dari Langgam.id.  Anda bisa bergabung di Grup Telegram Langgam.id News Update di tautan https://t.me/langgamid atau mengikuti Langgam.id di Google News pada tautan ini.

 

 

 

 

 

 

 

Tag:

Baca Juga

Hijrah dan Arus Balik Selebritas
Hijrah dan Arus Balik Selebritas
Ilustrasi Hijab. (Foto: Pixabay), cooling down
SKB 3 Menteri Soal Seragam Dicabut, Begini Aturan Berpakaian di SMK 2 Padang
PKS masih unggul dalam perolehan suara sementara untuk pemilihan legislatif DPRD Sumbar 2024. PKS unggul dari Partai Gerindra di posisi kedua
Rapat dengan DPRD, Ormas Keagamaan dan Adat di Sumbar Minta SKB 3 Menteri Dicabut
Tolak SKB 3 Menteri, Genius Umar: Seakan Memisahkan Pendidikan Umum dengan Agama
Tolak SKB 3 Menteri, Genius Umar: Seakan Memisahkan Pendidikan Umum dengan Agama
Gubernur Sumbar KPU | Irwan Prayitno
Komentar Gubernur Sumbar Soal SKB 3 Menteri yang Atur Atribut Keagamaan di Sekolah
Ilustrasi Hijab. (Foto: Pixabay), cooling down
Beda Pandangan Waketum MUI dan Wamenag Soal SKB Atribut Keagamaan di Sekolah