Izet ditangkap, beberapa intel polisi berdiri gagah, mengelilingi buruannya yang duduk selonjor kalah-menyerah.
Kita bisa saja melampiaskan kemarahan kita akan kejahatan pada Izet. Tapi kita sering lupa bertanya, mengapa dan bagaimana kejahatan lahir?
Ada banyak tokoh serupa dalam sejarah kita. Kepada dia-dia itulah umpatan terpendam kita kadang-kadang kita tumpahkan; untuk melapangkan perasaan tertekan kita akan bahaya kejahatan yang senantiasa mengancam. Kehidupan butuh kambing hitam; setiap dekadensi selalu butuh yang dipersalahkan. Seorang maling yang tertangkap, misalnya, sudah pasti babak-belur dihajar massa, tidak jarang sampai tak bernyawa. Kita, si massa, telah melampiaskan ketakukan kita sendiri pada ancaman kejahatan yang diperbuat oleh penjahat lain entah di mana, bukan semata si malang yang tertangkap itu; tetapi toh pada saat itu seorang maling yang tertangkap telah mewakili sebuah ‘hantu kejahatan’ yang selama ini mengganggu tidur kita.
Ada penjahat lain, misalnya, dalam cerita khayali, dalam kaba (cerita klasik) Minangkabau, Siti Baheram. Syamsudin Dt. Rajo Endah menuliskannya pada tahun 1930an. Setiap kaba—kabar dalam bahasa Indonesia—berasal dari kisah nyata, tetapi tentu si tukang kaba (si penyampai kabar), sebagaimana kredo yang umum dikenal, tidak bertanggungjawab jika yang dikabarnya adalah ‘dusta’.
Tokoh dalam kabar itu bernama: Juki
Juki hadir menghunus pisau panjang berkilat-kilat, pada pinggangnya terselempang kain, dan pada kepalanya ada deta. Dia parewa, jelas. Berjudi, madat, merampok, kadang membunuh. Dia pelaku beberapa ‘rampok-rampeh’ dalam bahasa hukum Minangkabau. Kadang-kadang dia juga dimanfaatkan opas-polisi dalam persaingan politik, kadang-kadang dia lepas tidak bisa dikendalikan tangan kekuasaan mana pun. Dia bukan orang macam Robinhood memang—social bandits dalam kategori Eric Hobsbwams. Dia semata criminal bandits.
Tidak ada sisi heroik pada sosok Juki, segalanya semata menjijikkan dalam perspektif kaum moralis.
Tapi, tampak di situ, tukang kabar mengabaikan narasi lain tentang Juki. Tukang kabar telah mengabaikan bagian ‘kenapa orang serupa itu bisa lahir?’. Kita bisa saja mengatakan: zaman, oh, zamanlah yang telah melahirkan Juki. Zaman di mana setengah datuk-datuk berkomplot me-mark up ‘wang’ pajak, iuran suku dan sebagainya, sementara setengahnya yang lain asyik menggadaikan apa yang menjadi hak kemenakannya, dan para penghulu sibuk mengejar kekuasaan sebagai Penghulu Kepala yang bakal dapat bintang sebesar tinju jika berhasil membuat pemerintah kolonial senang. Korupsi mewabah, kesewanang-wenangan penguasa menjadi-jadi, keguncangan moral dirayakan. Dalam kondisi itu, kelahiran orang-orang seperti Juki adalah konsekuensi logisnya. Tidakkah seseorang adalah anak dari zamannya?
Zaman yang dinarasikan kabar ini memang suatu zaman yang galau-gebalau. Pelabuhan Teluk Bayur dibuka di selatan Padang. Jalur kereta api menjalar bagai ular ke pelosok-pelosok negeri. Jalan-jalan raya diperlebar. Kota-kota bermekaran. Ekonomi uang atau moneterisasi mengalihkan sistem kepemilikan komunal. Elite-elite kekuasaan terdegradasi dalam arus itu—dan semata menjadi perpanjangan tangan penjajah. Dan akibatnya, dalam laporan tahunan pemerintah kolonial, kejahatan tumbuh pesat pada periode ini. Pada 1916, enam orang perampok digantung di Padang. Angka-angka dari dinas reserse Belanda terus menunjukkan peningkatan jumlah kejahatan di tahun-tahun kemudian. Di Betawi lebih banyak lagi, ada 12 orang digantung oleh algojo yang sama. Inilah masa di mana penjahat-kakapan tumbuh mekar: Si Rancak, Si Patai, Si Baruak, dan lain sebagainya. Dan dalam kaba, sebagai sebuah konstruksi imajinasi, penjahat itu bernama Juki.
Juki membunuh Siti Baheram secara tidak sengaja dalam sebuah perampokan yang gagal. Dia ditangkap opas polisi tidak lama kemudian, lalu berakhir dengan: Terjuntai di tiang gantungan.
Penganut historisism akan sepakat bahwa Juki memang tidak sepatutnya dikutuk secara massif. Bangsalah yang melahirkan orang-orang sepertinya—bangsa yang sakit. Seperti seorang penyair Baalbek Lebanon awal abad ke-20 pernah bilang: “Sebagian mengutuk Nero, tetapi aku mengutuk bangsa … Setiap bangsa menciptakan Nero-nya sendiri pula.”
Tapi Juki, dan kini Izet, dan berjibun preman lain, tentu saja bukan Nero. Tapi siapa pula yang berani mengutuk bangsa yang melahirkan mereka--yang dengan kata lain itu sama dengan mengutuk diri sendiri?
Tidakah Izet juga dilahirkan oleh zaman yang sama buruknya? Oleh bangsa yang sama sakitnya?