Achmad Mochtar: Pengorbanan Seorang Dokter, Martir Konspirasi Tentara Jepang

Achmad Mochtar: Pengorbanan Seorang Dokter, Martir Konspirasi Tentara Jepang

Prof. Dr. Achmad Mochtar. (Foto: Repro Buku "Tumbal Vaksin Maut Jepang" (2021) karya Hasril Chaniago dkk.

Langgam.id - Hanya 1,5 bulan sebelum proklamasi kemerdekaan, di ujung kekuasaannya, tentara Jepang mengeksekusi salah seorang dokter sekaligus ilmuwan terbaik Indonesia: Prof. Dr. Achmad Mochtar.

"Baru kemudian diketahui, bahwa Achmad Mochtar telah dieksekusi dengan hukuman pancung di dekat Pantai Ancol (Jakarta) pada 3 Juli 1945," tulis Hasril Chaniago, Aswil Nazir dan Januarisdi dalam "Tumbal Vaksin Maut Jepang" (2021), biografi Achmad Mochtar.

Bertahun-tahun kemudian terungkap, segala tuduhan yang jadi alasan eksekusi adalah fitnah. Mochtar menjadi martir atas konspirasi untuk menutupi kesalahan tentara Jepang.

"Prof. Achmad Mochtar dan kami sebagai bawahannya tidak bersalah. Beliau telah dijadikan korban untuk menutupi kekeliruan (Jepang) sendiri," tulis Prof. Mohammad Ali Hanafiah dalam artikelnya, "Drama Kedokteran Terbesar di Indonesia". Tulisan tersebut termuat dalam Buku "Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia - Jilid 1" (1978).

Menurut Hanafiah, tragedi tersebut bermula dari berjangkitnya penyakit pada para romusha di Klender, Jakarta pada Agustus 1944. Ratusan orang Indonesia yang dipaksa bekerja untuk tentara Jepang itu, menderita penyakit yang disebut meningitis.

Direktur rumah sakit umum pusat (sekarang RS Dr. Tjipto Mangunkusumo) menugaskan Dokter Bahder Djohan untuk mengecek sakit para romusha. Menurut Bahder, dari gejalanya para romusha diduga terkena tetanus, bukan meningitis.

Sebanyak 90 orang dibawa ke RS, namun tak bisa diselamatkan nyawanya. Ratusan lainnya yang tak sempat masuk RS, juga meninggal dunia. "Menurut taksiran Dr. Bahder Djohan mungkin angka ini mencapai 1000, atau lebih," tulis Hanafiah.

Namun, J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki dalam "War Crimes in Japan-Occupied Indonesia" (2015) menyebut jumlah 900 orang. Tentara Jepang kelabakan ketika terjadi kematian massal itu. "Peristiwa ini secapa politik bisa berdampak luas dan berbahaya bagi pemerintahan pendudukan Jepang. Mereka kemudian membuat seolah-olah ada sabotase untuk mengurangi konsekuensi tersebut," tulis Kevin dan Sangkot.

Yang mencemaskan pemerintah pendudukan Jepang bersumber dari peristiwa sepekan sebelum itu. Saat itu, para romusha yang sakit dan kemudian meninggal mendapat suntikan vaksin kolera, tifus dan disentri dari tentara Jepang. Hasil penelitian lembaga penelitian Eijkman yang dipimpin Prof. Dr. Achmad Mochtar kemudian merilis, para romusha itu terpapar toksin tetanus saat diberi vaksin itu.

Achmad Mochtar adalah dokter dan ilmuwan Indonesia terkemuka saat itu. Sejak 1937, ia menjadi pemimpin bagian bakteriologi Eijkman Instituut. Sejak 1939 bahkan merangkap wakil direktur, mendampingi Dr. WK. Martens. "Mochtar adalah satu-satunya ilmuwan pribumi di antara sehitungan jari dua tangan ahli-ahli Belanda yang berada di level tertinggi sebagai peneliti di lembaga tersebut," tulis Hasril dkk.

Saat Jepang menguasai Indonesia, mereka menahan para ilmuwan Belanda di lembaga ini. Dengan sendirinya, Mochtar menjadi pilihan utama menjadi direktur di lembaga penelitian biologi molekuler itu. Jabatan yang menjadi puncak karir Prof. Mochtar, sekaligus awal masalah baginya.

Persoalan itu muncul ketika polisi militer Jepang alias Kempetai malah menuduh, Lembaga Eijkman yang mencemari vaksin dengan virus tetanus. Kempetai kemudian menangkap Prof. Achmad Mochtar, para dokter dan staf lembaga ini pada 7 Oktober 1944.

Hanafiah mencatat, Selain Mochtar yang ditangkap adalah para dokter stafnya, yakni Djoehana Wiradikarta, Soetarman dan termasuk Prof. Hanafiah sendiri. Lalu, empat orang analis, masing-masing adalah Jatman, Soebekti, Nn. Ko Kiap Nio dan Nanny Kusumasudjana.

Tak cukup itu, tentara Jepang juga menangkap dan menahan dua dokter rumah sakit umum pusat, yakni Prof. Asikin Widjaja Kusuma dan Soelaiman Siregar. Juga, tiga dokter dari jawatan kesehatan kota, yakni Marzuki (kepalanya), Soeleiman dan Marah Achmad Arif. Termasuk Sdr Warsa , analis dari Laboratorium Mikrobiologi Pegangsaan Timur.

Menurut Hanafiah, 15 orang tersebut dibawa dari tempat pekerjaannya masing-masing ke Markas besar Kempetai di Jalan Merdeka Barat 13-14, yang sekarang merupakan Kantor Kementerian Pertahanan.

"Alasan penangkapan atau keterangan lain tidak diberikan, juga keluarga mereka dibiarkan dalam kegelapan dan ketakutan. Di sana mereka dijebloskan ke dalam sel-sel dan diperlakukan di luar batas perikemanusiaan. Makanan yang diberikan cukup untuk tidak mati kelaparan, dengan nilai gizi dan jumlah kalori jauh di bawah yang diperlukan tubuh manusia," tulisnya.

Hanafiah menceritakan, pemeriksaan yang dilakukan Kempetai bukan untuk mencari fakta dan bukti tuduhan. Namun, mereka menunggu jawaban yang sesuai dengan tuduhan. "Yang tidak sesuai dengan itu dianggap bohong dengan segala akibatnya."

Tanya-jawab seperti itu, menurutnya, terjadi berulangkali selama berbulan-bulan. "Pernah diberitahukan bahwa meskipun tidak bersalah, saya akan terus ditahan sampai ada yang mengaku," tulisnya.

Seorang pemeriksa bernama Morimoto mengatakan kepada Jatman, bahwa Prof. Mochtar ditangkap karena merencanakan pemberontakan pada pemerintah militer Jepang. Tentara Jepang menuduh, Prof Mochtar merencanakan perang kuman.

"Kempetai tidak mau melihat adanya kemungkinan bahwa kekeliruan dapat terjadi di tempat asal vaksin itu, yaitu Institut Pasteur di Bandung. Seorang pemeriksa Jepang menegaskan kepada saya, bahwa di Institut Pasteur bekerja orang-orang Jepang dan mereka tidak mungkin membuat kesalahan. (Kata pemeriksa itu), mesti ada orang Indonesia jahat yang hendak menjatuhkan nama balatentara Nippon," tulis Hanafiah.

Padahal, menurutnya, Institut Pasteur di Bandung pada saat itu adalah satu-satunya lembaga yang membuat vaksin, toksin dan anatoksin. "Vaksin yang dipakai di Klender pun berasal dari sana. Meskipun sebagian disimpan dalam kamar dingin Laboratorium Eijkman supaya jangan lekas rusak," tuturnya.

Kecurigaan Hanafiah bukan tanpa alasan. Di kemudian hari, pada 21 Maret 1951 ia membaca berita Daily Telegraph, Sidney berjudul "Laboratory of Death, Tetanus tests by Japanese".

Berita itu memuat kesaksian seorang terdakwa warga Jepang dalam sidang pengadilan milter penjahat perang. Terdakwa itu menceritakan, seorang kapten dokter Jepang bernama Hirosato Nakamura sempat membuat eksperimen anatoksin tetanus.

Kala mereka menyuntik orang Indonesia yang mendapat hukuman mati dengan anatoksin itu, kebanyakan meninggal. Hanafiah mempertanyakan kemungkinan pemakaiannya untuk pada para romusha. Sayangnya, berita tersebut tak ada lagi kelanjutannya.

Hanafiah menegaskan, tak ada bukti atau saksi yang memperkuat bahwa Prof. Achmad Mochtar dan bawahannya memasukkan toksin tetanus atau basil ke dalam vaksin yang disuntikkan kepada para romusha di Klender.

"Sebaliknya, apa yang dicoba di Institut Pasteur sebelum perang dan eksperimen yang dilakukan Jepang di Pulau Jawa dengan percobaan membuat sendiri anatoksin tetanus, menimbulkan dugaan bahwa pihak Jepang sendiri yang menimbulkan malapetaka yang terjadi," tulisnya.

Pemeriksaan Tanpa Pengadilan

Namun, pemeriksaan dan penyiksaan jalan terus. Setelah pemeriksaan berbulan-bulan tanpa pengadilan, pada akhir 1944 pertahanan fisik dan mental Prof. Mochtar mulai runtuh.

"Secara sembunyi-sembunyi kepada Sdr. Jatman, Dr. Djoehana dan saya, beliau pernah memberitahukan bahwa pemeriksaan perkara telah selesai dan kami akan segera dibebaskan. Waktu ditanya bagaimana beliau sendiri, ia hanya menjawab dengan membuat gerakan tangan seolah-olah memotong lehernya," tulis Hanafiah.

Wartawan Senior cum Peneliti Sejarah Hasril Chaniago mengatakan, ketika menyampaikan hal tersebut pada Hanafiah, Mochtar telah membuat pernyataan pada Kempetai. Ia mengakui telah melakukan sabotase yang tak pernah ia lakukan. "Hal tersebut dilakukan Prof Mochtar karena ia ingin menyelamatkan para dokter dan staf lain yang ditahan," katanya, saat berbincang dengan langgam.id, Senin (16/8/2021).

Sebelum pengakuan tersebut, dua dokter telah jadi korban selama masa penahanan. Karena penyiksaan berat, Soelaiman Siregar dan Marah Ahmad Arief meninggal dunia. Keduanya dikembalikan pada keluarga dalam kondisi yang mengenaskan. "Penyiksaan pada dua dokter itu dan tahanan lain untuk menekan Achmad Mochtar. Agar dia mengaku saja," kata Hasril.

Ketika pengakuan itu datang, Kempetai puas. Satu persatu mereka yang ditahan kemudian dibebaskan, kecuali Mochtar. Upaya meminta bantuan Bung Hatta untuk membebaskan Mochtar tak berhasil. Kepada Bung Hatta, komandan tentara Jepang mengatakan tak membawahi kempetai.

Tak ada yang tahu awalnya nasib Mochtar. Gegap gempita proklamasi sejenak juga membuat nasibnya terlupa. Namun, usai merdeka, keluarga mendapat kepastian ia telah meninggal saat mengecek ke kantor kempetai.

Mereka mengaku Mochtar meninggal karena sakit. Namun, ada darah pada baju yang diserahkan pada keluarga. Tak ada pengadilan kejahatan perang pada pelakunya. Sekutu yang kemudian mengadili sejumlah petinggi tentara Jepang, hanya konsen pada kejahatan pada orang Belanda.

Bertahun kemudian, satu persatu, kawan-kawan Mochtar kemudian mengungkap apa yang terjadi sebenarnya. Pada 1972, Ahmad Mochtar mendapat anugerah Bintang Jasa Nararya dari Presiden RI. Pada 1981, rumah sakit umum pusat di Bukittinggi dinamai dengan namanya.

Achmad Mochtar lahir di Nagari Ganggo Hilia, Bonjol, Pasaman pada 17 November 1891. Ibunya bernama Roekajah (suku Piliang) dan ayahnya Omar Soetan Nagari (suku Malayu). Mochtar lahir dari keluarga terpandang. Kakak tertua ibunya, A. Hamid Bandaro Sati adalah kepala laras di Bonjol. Sementara ayahnya yang merupakan guru kepala mempunyai tanah ulayat yang luas.

Menurut Hasril Chaniago, kedudukan dan kemapanan ekonomi keluarga Mochtar, membuatnya mendapat kesempatan memperoleh pendidikan setaraf dengan orang Belanda pada zaman itu.

Mochtar awalnya bersekolah di Bonjol dan kemudian menyelesaikan pendidikan di ELS Bukittinggi pada 1906. Selepas dari situ, Mochtar lulus tes masuk sekolah kedokteran STOVIA di Batavia. Masuk sekolah itu pada 1907, Mochtar tamat pada 1916.

Ia kemudian bertugas sebagai dokter di Medan, Padang Sidempuan, Sibolga, Tapanuli, Tanjungbalai. Selama di sini, Mochtar salah satunya sibuk memerangi penyakit malaria. Di bawah mentornya Dr. Schuffner, Mochtar mulai jadi peneliti dan menghasilkan sejumlah karya ilmiah, terutama tentang malaria.

Prestasinya mengurangi dampak malaria, membuat Mochtar dapat beasiswa. Ia melanjutkan kuliah doktoral di Belanda pada 1923, masih di bawah mentornya Dr. Schuffner sambil menjadi asisten di laboratorium yang meneliti berbagai penyakit. Selama di Belanda juga, Achmad Mochtar aktif di organisasi Perhimpunan Indonesia yang kemudian memelopori perjuangan kemerdekaan dari luar negeri.

Pada 1927, ia menjadi doktor dengan konsentrasi disertasi pada penyakit leptospirosis. Disertasinya meruntuhkan teori dokter ahli Jepang Noguchi Hideyo yang menyebut leptospira sebagai penyebab demam kuning.

Kembali ke tanah air, ia kemudian bertugas sebagai kepala rumah sakit di Bengkulu dan kemudian menjadi kepala labor di Semarang. Saat di Semarang ini, giliran penyakit lepra yang menjadi tantangan Achmad Mochtar. Sebagai dokter, Mochtar membantu masyarakat memerangi penyakit dan sebagai peneliti ia terus menghasilkan karya ilmiah. Selama hidup, setidaknya Mochtar menghasilkan 54 karya ilmiah yang ditulis dari hasil penelitian dan sebagiannya muat di jurnal internasional.

Hasril Chaniago mengatakan, karya-karya tersebut menempatkan Achmad Mochtar ilmuwan kelas dunia. Profesionalisme, intregritas, pengabdian dan pengorbanan Mochtar, menurutnya layak jadi keteladanan sepanjang masa. "Beliau sangat layak jadi pahlawan nasional," katanya. (HM)

Baca Juga

Pameran Foto dan Seni Rupa Di Bawah Kuasa Naga, Sebuah Kritikan pada Kebijakan Pariwisata
Pameran Foto dan Seni Rupa Di Bawah Kuasa Naga, Sebuah Kritikan pada Kebijakan Pariwisata
Kandaskan Korea Selatan Lewat Adu Tos-tosan, Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U-23
Kandaskan Korea Selatan Lewat Adu Tos-tosan, Indonesia Melaju ke Semifinal Piala Asia U-23
Seorang operator excavator yang melakukan pengerukan material lahar dingin di Kelok Hantu Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat (Sumbar),
Seorang Pekerja Normalisasi Sungai di Kelok Hantu Meninggal akibat Terseret Arus Sungai Berhulu Gunung Marapi
Tiga dari empat orang warga Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat berhasil kabur dari apartemen di Malaysia setelah menjadi korban TPPO.
4 Warga Sumbar Dijadikan PSK di Malaysia: Dipaksa Kirim Foto Pakai Bra, Berhasil Kabur dari Apartemen
Kantor Wali Nagari Singguliang di Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar) disegel warga, Selasa (23/4/2024)
Wali Nagari Diduga Pelaku Asusila Sesama Jenis di Padang Pariaman Akhirnya Mengundurkan Diri
Kantor Wali Nagari Singguliang di Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar) disegel warga, Selasa (23/4/2024)
Kantor Wali Nagari di Padang Pariaman Disegel Warga, Buntut Dugaan Asusila Sesama Jenis