Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Wakil Komnas HAM RI minta presiden serius menyikapi kasus pelangaran HAM berat di masa lalu.
Langgam.id - Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Amiruddin meminta langkah penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu dilakukan lewat jalur non yudisial atau di luar pengadilan. Sebab, penyelidikan Komnas HAM terhadap sederet pelanggaran HAM berat masa lalu, mangkrak di Kejaksaan Agung tanpa ada tindaklanjut penyidikan.
Lagipula, kata Amiruddin, pada peringatan hari HAM 10 Desember tahun lalu, Presiden Jokowi kembali berjanji akan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Namun, sampai hari ini, belum ada upaya serius yang diambil pemerintah.
"Karena ini bulan Mei, penting untuk kita omongin terus supaya orang tidak lupa. Karena kalau sudah lupa, nanti yang akan menindaklanjuti (kasus pelanggaran HAM-red) lebih lupa lagi," ujar Amiruddin saat berdiskusi dengan awak media di Kantor Komnas HAM Perwakilan Sumbar, Kamis (19/5/2022).
Menurut Amiruddin, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu sangat mendesak untuk dituntaskan. Sebab, ini adalah salah satu agenda pokok reformasi yang selalu dibiarkan pemerintah.
"Berdasarkan pertemuan terakhir, presiden berjanji akan mengeluarkan kebijakan baru. Tapi, sampai saat ini sudah lima bulan, nyatanya belum ada. Janji itu dilontarkan dalam pidato di istana dan dimuat di media," ungkapnya.
Berdasarkan amanah UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas hanya diberi wewenang melakukan penyelidikan. Menurut Amiruddin, selama ini Komnas HAM sudah melakukan kerja sesuai amanah UU dan telah menyerahkan sederet berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat masa lalu ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
Bahkan, Komnas HAM juga telah menyerahkan 12 berkas kasus pelanggaran HAM berat ke Kejagung, mulai dari peristiwa 1965-1966, penghilangan paksa 1997-1998, penembakan misterius 1982-1986, pembantaian Talangsari, tragedi Rmoh Geudong Aceh 1989-1998, dan penembakan mahasiswa Tri Sakti 1998.
Kemudian, tragedi Semanggi I dan II 1998-1999, tragedi Simpang Kraft Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001, kasus Wamena 2003, tragedi Jambu Keupok di Aceh Selatan tahun 2003, dan kasus Paniai 2014.
Dari puluhan kasus itu, lanjut Amiruddin, hanya kasus terakhir yang sampai ke tahapan pengadilan. "Untuk peristiwa yang lain, pengadilannya tidak jalan, artinya Jaksa Agung tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas ke tahapan penyidikan dan penuntutan. Berhenti di situ saja," paparnya.
Amiruddin mengaku tak tahu apa sebab Jaksa Agung tidak meneruskan hasil penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan. Ia berkelakar, kalau dirinya yang jadi Jaksa Agung, "Sekarang juga saya tangkap tu orang," ucapnya.
Melihat sulitnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu itu, Amiruddin menekankan pentingnya upaya pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Katanya, di beberapa negara seperti Afrika Selatan, Jerman dan Korea Selatan, langkah ini berhasil memulihkan beban masa lalu negara tersebut.
"Kita sempat punya mekanisme itu dalam UU 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tapi UU ini digugat ke MK dan dibatalkan pada tahun 2006," katanya.
"Sehingga langkah kita di luar pengadilan tidak ada dasar hukumnya hari ini," imbuhnya.
Amiruddin menambahkan, pemerintah harus segera membuat regulasi soal penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Untuk itu, Presiden Jokowi, sebagaimana janjinya pada peringatan hari HAM tahun lalu, harus punya sikap yang tegas.
"Apakah aturannya lewat Keputusan Presiden, apakah melalui UU. Ini yang saya sampaikan ke banyak pihak, sudah saatnya Presiden mengambil langkah sesuai dengan Keputusan MK tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Presiden bisa mengambil langkah politik. Presiden bisa membuat keputusan," jelasnya.
Baca juga: Soal Tembak Mati DPO di Solok Selatan, PBHI Sumbar: Pelanggaran HAM Serius
Amiruddin menegaskan, apabila ada mekanisme penyelesaian di luar pengadilan, akan ada dua jalan penyelesaian selain lewat pengadilan.
"Karena pelanggaran HAM berat ini korbannya banyak. Korban ini mau kita apakan? Mereka nyata keberadaannya dan kesulitan. Untuk menangani korban inilah diperlukan kebijakan selain di pengadilan," katanya.
—