Langgam.id - Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI) Sumatra Barat Muhammad Ishaq meraih gelar doktor di Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand). Ujian terbuka gelar tersebut diadakan di Kampus FH Unand, Jalan Pancasila, Padang, pada Jumat (30/12/2022).
Dekan Fakultas Hukum Unand Dr. Ferdi, SH. MH yang menjadi ketua sidang saat mengumumkan kelulusan menyatakan, M. Ishaq adalah doktor ke-77 lulusan FH Unand.
Hadir dalam kesempatan itu para promotor Prof. Dr. Yaswirman, SH. MH, Dr. Mardenis, SH. MH dan Dr. Wetria Fauzi, SH. MH. Sementara, penguji antara lain terdiri dari Prof. Firman Hasan, Prof. Zainul Daulay, Prof. Busyra Azheri dan Prof. Kurniawarman.
Hadir sebagai penguji tamu Hakim Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams. Sementara, di kursi penonton juga hadir hakim konstitusi lainnya yang juga guru besar FH Unand, Prof. Saldi Isra.
Dalam disertasi berjudul "Pluralisme Pewarisan Masyarakat Islam Menuju Unifikasi Hukum Kewarisan di Indonesia", Ishaq menulis, pluralisme hukum waris bagis masyarakat Islam di Indonesia dipengaruhi oleh dua sistem kewarisan yang berlaku di Indonesia. Yaitu, hukum waris adat dan hukum waris KUH Perdata.
"Masing-masing sistem hukum tersebut mempunyai kebutuhan hukum waris yang berbeda pula dan belum ada pengaturannya yang diunifikasi," tulisnya.
Menurut Ishaq, dengan adanya perbedaan budaya, sistem kekerabatan dan pendapat ulama, menimbulkan pluralisme hukum waris di Indonesia.
"Untuk mengantisipasi sengketa maupun perselisihan tersebut, maka perlu diwujudkan langkah-langkah unifikasi Hukum Waris Islam yang beragam, agar tidak terjadi tumpang tindih," tulisnya.
Penerapan unifikasi itu, menurutnya, didasarkan pada empat hal. Pertama, pengaturan sistem kewarisan masyarakat Islam di Indonesia harus didasarkan pada Alquran. Kedua, pembagian harta warisan dilakukan dengan prinsip keadilan, kesepakatan dan perdamaian di antara ahli waris yang diilhami Hukum Islam.
Ketiga, menurut Ishaq, untuk mewujudkan unifikasi Hukum Waris itu dapat dilakukan dengan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum yang berlaku dalam kerangka sistem hukum nasional (legal system) yang mencakup komponen materi hukum (legal substance), komponen struktur hukum beserta kelembagaannya (legal structure) serta komponen budaya hukum (legal culture).
Di depan penguji, Ishaq memaparkan salah satu contoh, tentang praktek penerapan hukum waris di Sumatra Barat. Menurutnya, meski telah disepakati, sesuai pendapat Buya Hamka, bahwa pusaka tinggi atau harta kaum turun temurun dibagi secara adat dan harta pencarian dibagi secara Islam, namun tak demikian pada prakteknya.
Yang terjadi, pembagian harta pencarian orang tua di Minangkabau, cenderung juga dibagi sesuai hukum adat. Semestinya, menurut Ishaq, pembagian harta pencarian atau pusaka rendah orang Minang, dibagi sesuai Hukum Faraidh atau Hukum Waris Islam.
"Kita lahir, menikah, hingga meninggal semuanya secara Islam. Seharusnya, pembagian waris juga mestinya sesuai Hukum Islam," tuturnya.
Pendapat Buya Hamka yang dikutip M. Ishaq, dipaparkan ulama besar itu di ruang yang sama dengan ujian terbuka itu, kira-kira 54 tahun sebelumnya.
Hal tetsebut disampaikan Buya Hamka dalam seminar tentang Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau yang digelar pada 21-25 Juli 1968. Acara itu memang diadakan di aula Fakultas Hukum Unand Jalan Pancasila, tempat ujian itu digelar.
Sosiolog Mochtar Naim yang menjadi pengarah seminar tersebut dalam Buku "Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya HAMKA" (1978) menulis, kegiatan itu diprakarsai Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).
"IKAHI ini seolah-olah hendak mengadukan kepada para ninik-mamak pemangku adat di Minangkabau, beserta alim-ulama, cerdik pandai serta para sarjananya. Kenapa persoalan tanah dan waris di Minangkabau selama ini kok begitu runyam?" tulis Muchtar.
Sejumlah pakar hukum adat dan ulama diundang menjadi pembicara seminar. Antara lain, Prof. Dr. Mr. Hazairin, Prof. Mr. Harun al Rasjid, Hakim Agung Bustanul Arifin SH, dan Buya Prof. Dr. Hamka.
Menurut Muchtar Naim, Hamka-lah yang mengusulkan formula jalan tengah dalam menyelesaikan sengketa waris di Minangkabau. "Bahwa terhadap harta pencarian berlaku Hukum Faraidh. Sedangkan terhadap harta pusaka berlaku Hukum Adat,” tulisnya.
Pendapat Buya ini kemudian dijadikan salah satu kesimpulan seminar dan diminta agar diperhatikan para hakim saat menangani perkara. Lebih setengah abad kemudian, di tempat yang sama, pendapat Buya kembali dikutip dalam ujian terbuka doktor M. Ishaq, dengan gagasan unifikasi hukum waris.
Baca Juga: Seminar 1968, Jalan Tengah Hukum Waris Islam dan Adat Minangkabau
Muhammad Ishaq Caine lahir di Bukittinggi pada 5 September 1973. Ia menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Unand pada 1997. Selanjutnya, pendidikan spesialis notaris dan S2 ia tempuh di Universitas Gadjah Mada.
Semasa kuliah di S1, Ishaq adalah aktivis mahasiswa dan salah satu pendiri sanggar seni Studio Merah FH Unand. Setelah tamat, selain menjalani profesi sebagai notaris hingga menjadi Ketua INI Sumbar, Ishaq juga menjadi dosen, sembari tetap melukis dan berkesenian. (HM)