Seminar 1968, Jalan Tengah Hukum Waris Islam dan Adat Minangkabau

Seminar 1968, Jalan Tengah Hukum Waris Islam dan Adat Minangkabau

Ilustrasi - Sebuah masjid kuno di Sumbar, tahun 1910. (Foto: Nieuwenhuis, C./KITLV)

Langgam.id - Sebuah seminar penting dilangsungkan selama empat hari di Padang pada 21-25 Juli 1968. Seminar ini jadi bermakna, karena hasilnya kemudian menjadi rujukan. Baik bagi peneliti, akademisi dan penegak hukum, dalam mendudukkan persoalan hukum waris dan tanah di Minangkabau.

Seminar yang dilaksanakan di Aula Fakultas Hukum Univesitas Andalas, Jalan Pancasila, Padang tersebut memberi solusi tegas saat ditutup pada 25 Juli 1968, atau tepat 51 tahun yang lalu dari hari ini, Kamis (25/7/2019).

Sosiolog Mochtar Naim yang menjadi pengarah dalam seminar tersebut membagi catatannya dalam Buku 'Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya HAMKA' (1978).

Seminar Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau di Padang itu, tulisnya, diprakarsai Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).

"IKAHI ini seolah-olah hendak mengadukan kepada para ninik-mamak pemangku adat di Minangkabau, beserta alim-ulama, cerdik pandai serta para sarjananya. Kenapa persoalan tanah dan waris di Minangkabau selama ini kok begitu runyam?" tulisnya.

Persoalan itu, menurut Mochtar, telah menyita sebagian besar perkara perdata yang masuk ke pengadilan di Sumatra Barat dan memusingkan kepala para hakim.

Maka, sejumlah pakar hukum adat dan ulama pun diundang menjadi pembicara. Antara lain, Prof. Dr. Mr. Hazairin, Prof. Mr. Harun al Rasjid, Hakim Agung Bustanul Arifin SH, dan Buya Prof. Dr. Hamka.

Profesor Hazairin, menurut Muchtar, mencuri perhatian seminar karena caranya yang khas yang suka berbicara blak-blakan.

"Saya masih bisa membayangkan, bagaimana beliau duduk bersila di atas kursi berkain sarung di hadapan seminar dan menguliahi para ninik mamak dan alim ulama yang hadir agar menukar hukum waris adat yang matrilineal dan hukum faraidh Islam yang patriarchat ke hukum baru yang parental, di mana laki-laki dan perempuan mendapat yang sama," tulisnya.

Wartawan Senior Kamardi Rais Dt P.Simulie yang hadir dalam seminar itu, punya kesan serupa. Menurutnya, Hazairin tampil dua jam, tanpa bisa dihentikan moderator. Ketika diprotes tak punya makalah dan terkesan menguliahi, dia balik menyerang penanggap.

“Saya tegaskan bahwa kata seminar artinya kuliah. Saya seorang Profesor menguliahi semua yang hadir ini, termasuk Hamka (Hamka mengangung-angguk) juga dan berikut Profesor yang telah gaek," kata Hazairin, sebagaimana ditulis Kamardi dalam 'Mengenang Kembali Tiga Seminar Minangkabau' yang dimuat di situs mantagibaru.com.

Namun, Kamardi mengakui, baik Prof Hazairin dan Prof Hamka sebagai bintang seminar, karena kedua tokoh tersebut sangat menguasai materi.

Menurut Mochtar Naim, Hamka tampil berbeda dengan tulisan di bukunya 'Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi' (1946) yang menghajar praktek adat Minangkabau. Ia menyebut, Hamka tampil jauh dari kesan garang dalam seminar itu. Tak seperti yang dikhawatirkan beberapa tokoh adat saat itu.

"Yang keluar dari mulutnya adalah rasa damai. Rasa hendak mencari persesuaian, mencari titik-titik temu antara adat dan agama. Sehingga, kedua unsur budaya pokok dalam kehidupan orang Minangkabau ini dapat pula disumbangkan secara positif bagi pembangunan Indonesia sekarang ini," tulis Mochtar.

Dalam seminar itu, menurut Mochtar, orang melihat Hamka bukan hanya sebagai ulama, tapi juga sebagai penghulu adat. Hamka yang memang bergelar Datuk Indomo, menurutnya, punya kedalaman ilmu tentang seluk-beluk adat Minangkabau. Hal itu terlihat dari makalahnya untuk forum tersebut yang berjudul, 'Adat Minangkabau dan Harta Pusakanya'.

Ia menyebut, Hamka-lah yang mengusulkan formula jalan tengah dalam menyelesaikan sengketa waris di Minangkabau. "Bahwa terhadap harta pencarian berlaku Hukum Faraidh. Sedangkan terhadap harta pusaka berlaku Hukum Adat.”

Soalnya, tulis Mochtar, harta pusaka memang bukan milik pemberi waris. Karena itu, tidak mungkin dibagi-bagi kepada anak dan kemenakan. Harta pusaka adalah wakaf kaum yang boleh dipakai tapi tak boleh dimiliki.

"Formula ini kebetulan cocok pula dengan hasil kesimpulan mufakat dari para ninik-mamak, alim-ulama, dan cerdik pandai Minangkabau bulan Mei 1952 di Bukittinggi, yang antara lain juga dihadiri oleh orang tua kita, H. Agus Salim."

Soal waris di Minangkabau sudah jadi masalah sejak akhir abad ke-19. Salah satu yang menyebut hukum waris Minangkabau bertentangan dengan Islam adalah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Amir Syarifuddin dalam Buku 'Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam dalam Adat Minangkabau' menyebut, Syekh Ahmad Khatib memaparkan hal tersebut dalam bukunya 'Al-Dai al-Masmu Fii Al-Raddi ala Al-Tawarisi al-Ikhwati wa Awadi Al-Akhawati ma'a Wujud al-Ushuli wa al-Furu'i (Dakwah yang Didengar tentang Penolakan Atas Pewarisan Saudara dan Anak Saudara disamping Ada Orang Tua dan Anak).

Namun, Syekh Ahmad Khatib berbeda pendapat dengan beberapa muridnya. Salah satunya adalah Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul) yang merupakan ayahanda Buya Hamka.

Menurut Inyiak Rasul, harta pusaka berbeda dengan harta pencarian. Harta pusaka dinilai sama dengan harta wakaf atau harta musabalah yang di Zaman Khalifah Umar bin Khatab, dimanfaatkan untuk kepentingan umum.

Kondisi itu mirip dengan pusaka tuo di Minangkabau, yang memang keberadaannya tidak mudah dijual begitu saja. Syarat untuk menggadaikan saja berat. Pendapat Inyiak Rasul serupa dengan pendapat Syekh Sulaiman Arrasuli yang juga merupakan murid Syekh Ahmad Khatib.

Adanya pendapat-pendapat tersebut, menjadi dasar masukan bagi seminar untuk menetapkan kesimpulan. Sebenarnya, menurut Amir MS dalam Buku 'Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian Minangkabau' (2011), kesimpulan terhadap ini sudah dicapai dalam seminar sebelumnya pada 1952. Seminar yang digelar pada 1968 lebih menegaskan sehingga bisa diaplikasikan.

Dalam Kongres Badan Permusyawartaan Alim Ulama, Ninik Mamak dan Cerdik Pandai Minangkabau pada 4-5 Mei 1952 disepakati, bahwa untuk tanah pusaka tinggi (turun temurun) berlaku hukum adat. Sementara terhadap harta pencaharian berlaku hukum faraidh (waris Islam).

Seminar Hukum Adat Minangkabau yang digelar pada 1968 mempertegas rumusan kesimpulannya menjadi dua poin.

Pertama, terhadap harta pencaharian berlaku Hukum Faraidh, sedangkan terhadap harta pusaka berlaku Hukum Adat. Kedua, berhubung IKAHI Sumbar ikut serta mengambil keputusan dalam seminar ini, maka seminar menyerukan kepada seluruh hakim-hakim di Sumbar dan Riau supaya memperhatikan ketetapan seminar ini.

Kelak, dalam prakteknya, formula inilah yang jadi pedoman penerapan hukum, dalam kasus waris dan tanah di Minangkabau. (HM)

Baca Juga

29 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
29 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
27 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
27 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
26 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
26 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
25 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
25 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
23 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
23 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
21 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat
21 November dalam Catatan Sejarah Sumatra Barat