Syekh Muhammad Saleh, Tokoh Pendidikan Surau Abad Ke-19 dari Silungkang

Syekh Muhammad Saleh, Tokoh Pendidikan Surau Abad Ke-19 dari Silungkang

Suasana Silungkang pada masa lalu. (Foto: Dok. Kemendibud/ http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id)

Langgam.id - Syekh Muhammad Saleh di Silungkang, Sawahlunto merupakan salah satu ulama besar Minangkabau pada abad ke-19. Namanya bukan saja harum di tanah kelahirannya, namun juga dicatat penulis Belanda sebagai ulama yang berpengaruh.

Makam Syekh Silungkang dimasukkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai salah satu situs cagar budaya di Kota Sawahlunto. Makam yang disebut sebagai makam Syekh Barau itu, terletak di samping Masjid Silungkang yang ia bangun pertama kali.

Situs resmi cagar budaya Kemendikbud menyebutkan, Syekh Barau bernama asli Syekh Muhammad Saleh Bin Abdullah. Tak ada catatan persis kelahiran ulama besar ini. Namun, beliau diperkirakan lahir pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Sementara, tahun wafat, sejumlah buku mencatat pada 1872.

Dosen IAIN Bukittinggi Apria Putra Tuanku Mudo Khalis dalam artikelnya di situs tarbiyahislamiyah.id menulis, Syekh Muhammad Saleh merupakan salah satu murid Syekh Ismail Al Khalidi Al Minangkabawi yang hidup antara tahun 1713-1844 Masehi.
.
Baca Juga: Syekh Ismail Al-Minangkabawi, Ulama Ahli Tasawuf dari Tanah Datar

Murid lain dari Syekh Ismail yang mengembangkan tarekat Naqsyabandiyah untuk pertama kali di Sumatra Barat itu adalah Syekh Abdurrahman Batuhampar (kakek Bung Hatta) yang tercatat lahir pada akhir abad ke-18. Karena sama-sama belajar pada Syekh Ismail, tahun kelahiran Syekh Silungkang dapat diperkirakan takkan terpaut terlalu jauh dengan Syekh Abdurrahman.
.
Baca Juga: Syekh Abdurrahman: Kakek Bung Hatta, Ulama Besar dari Batuhampar

Penulis Belanda Arnold Willem Pieter (AWP) Verkerk Pistorius dalam Bukunya "Studien over de Inlandsche huishouding in de Padangsche Bovenlanden" (1871) menulis cukup dalam tentang Syekh Silungkang, yang ia tulis dengan nama Syekh Mohammed. Hal itu karena ia sempat berinteraksi dan mewawancarai Syekh Muhammad Saleh.

Menurutnya, Syekh Muhammad Saleh sangat dihormati oleh penduduk karena kesalehan dan pengetahuannya tentang kitab suci. Sejak pulang dari Mekkah, beliau mendirikan surau sebagai tempat pendidikan di Silungkang. Murid-muridnya disebutkan datang dari berbagai penjuru.

Verkerk Pistorius menulis, Syekh Muhammad Saleh lahir di Silungkang dari orang tua yang terbilang berada. Beliau menghabiskan masa kecil di Silungkang sembari mulai belajar di surau.

Sebagaimana anak laki-laki pada masa itu, pada usia 11 atau 12 tahun, Syekh Muhammad Saleh kecil kemudian meninggalkan Silungkang untuk belajar ke sejumlah guru, dari surau ke surau.

Pendidikan dari surau ke surau itu, selain untuk pengetahuan agama juga berpengaruh pada pembentukan karakternya untuk jadi seorang ulama.

Setelah mengaji dari surau ke surau tersebut, Syekh Muhammad Saleh ingin melanjutkan pendidikan ke Mekkah. Ia kemudian berangkat ke Pariaman dengan sekitar 20 orang rekannya. Dari Pariaman, ia kemudian naik kapal ke Pulau Pinang, Semenanjung Malaka (kini Malaysia).

Selanjutnya, dari Pulau Pinang, ia naik kapal menuju Arab Saudi. Menurut Pistorius, kapal tersebut penuh sesak dengan ratusan orang. Butuh waktu berbulan-bulan untuk sampai di Jeddah, dengan segala penderitaan di atas kapal.

Sesampai di Jeddah, ia diantar menuju Mekkah oleh salah seorang ulama asal Lintau Buo, Tanah Datar yang bernama Syekh Achmad. Syekh yang telah tinggal di Arab sejak masa kanak-kanak ini pula yang mencarikan rumah kos yang memang diperuntukkan bagi orang-orang Melayu di sana.

Untuk mencukupi kebutuhan selama di Mekkah, menurut Pistorius, Syekh Muhammad Saleh bekerja membuat kerajinan tangan. "Di malam hari beliau mengunjungi masjid, di mana pelajaran agama diberikan kepada orang-orang Melayu," tulisnya.

Syekh Muhammad Saleh disebut menetap dan belajar di Mekkah selama 10 tahun. Ia kembali ke Tanah Air melalui Malaka. Sempat menetap tak berapa lama di Malaka, Syekh Saleh diminta mengajar putra raja dan kemudian kembali ke Silungkang melalui pantai barat Sumatra.

Sebagaimana ulama yang pulang belajar dari Mekkah pada zaman itu, sepulang dari Tanah Suci, Syekh Haji Muhammad Saleh memutuskan mendirikan lembaga pendidikan surau. Surau tersebut dibangun secara atas bantuan masyarakat.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra dalam "Surau: Pendidikan Islam Tradisi dalam Transisi dan Modernisasi" (2017) menulis, surau tersebut dibangun tidak hanya dengan bantuan masyarakat setempat, tetapi juga penduduk daerah lainnya. "Ia dianggap sebagai surau terindah dengan hiasan paling baik di Dataran Tinggi Minangkabau," tulisnya.

Bangunan utama surau terdiri dari 7 rumah kayu, 2 di antaranya untuk murid-murid perempuan dan sisanya untuk murid laki-laki, yang sebagian besar berasal dari nagari lain. "Setiap surau kecil menampung 20 sampai 30 murid di bawah seorang guru tuo (guru senior)."

Azyumardi menulis, selama siang hari, para murid membantu guru mereka di sawah dan kebun, membuat surau hampir kosong. Semua jenis pengajaran, termasuk amalan tarekat, dilakukan pada sore dan malam hari di bawah bimbingan guru-guru dan Syekh Muhammad Saleh.

Surau Silungkang, menurutnya, adalah satu dari surau terbesar di Minangkabau pada saat itu. Surau lainnya adalah Surau Batuhampar, diasuh Syekh Abdurrahman (kakek Bung Hatta), saudara seperguruan Syekh Muhammad Saleh.

"Seperti surau besar lainnya, Surau Silungkang membentuk suatu komunitas di mana masalah pengajaran agama tidak terpisah dari pengajaran kemampuan keterampilan yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari," tulisnya.

Verkerk Pistorius sebagaimana dikutip Michael Laffan dalam "Sejarah Islam di Nusantara" menulis, kurikulum Surau Silungkang fleksibel dengan penekanan pada pendidikan moral dan pembentukan ikatan personal murid-muridnya. Pistorius bahkan menyarankan pakar pendidikan Belanda yang berusaha membuat perubahan dalam masyarakat di nusantara sebaiknya mengikuti teladan Syekh Muhammad Saleh.

Masih mengutip Pistorius, Jeffrey Hadler dalam Buku "Sengketa Tiada Putus" menyatakan, murid Tuanku Syekh Silungkang lebih dari 1.000 orang. Munir Taher dalam artikel di blognya menulis, di bawah asuhan Syekh Muhammad Saleh (Syekh Barau) pendidikan Islam di Silungkang sangat pesat. Syekh Barau menurutnya, dibantu 9 syekh muridnya.

Lima orang merupakan putra Silungkang, yakni Syekh Mohd. Thaib Ongku Surau Lurah (Tanah Sirah), Syekh Akmad Ongku Surau Tanjung (Dalimo Tapanggang), Syekh Abdurrahman Ongku Surau Bulek (Dalimo Jao), Syekh Abdullah Ongku Surau Godang (Tanah Sirah) dan Syekh Abubakar Ongku Surau Palo (P. Rumah Nan Panjang).

Sedangkan dari luar Silungkang adalah Syekh Abdul Rahman Ongku Talowi, Syekh Abdullah Ongku Lunto, Syekh Abdullah Ongku Surau Ambacang Koto Anau dan Syekh Muhammad Ongku Kotobaru Palangki.

Situs resmi Kemendikbud mencatat, Syekh Muhammad Saleh wafat pada 29 Zulhijjah 1288 H, atau bila dikonversikan ke tahun masehi bertepatan dengan 9 Maret 1872. Menurut Azyumardi, sepeninggal Syekh Muhammad Saleh, pendidikan di Surau Silungkang tak lagi semaju pada saat beliau hidup. (HM)

Baca Juga

Langgam.id - Ketua DPD Partai Gerindra Sumbar, Andre Rosiade mengaku salut dengan komitmen Wali Kota Bukittinggi, Erman Safar.
Andre Rosiade Salut Komitmen Erman Safar yang Kucurkan APBD Rp15,3 Miliar untuk Umat dan Ulama
Langgam.id - Syekh Haji Adam BB merupakan seorang ulama terkemuka asal Padang Panjang yang tercatat hingga pertengahan abad ke-20.
Mengenal Sosok Syekh Adam BB, Ulama yang Juga Pandeka dari Padang Panjang
Permasalahan baru yang menimpa umat Islam yakni terkait daftar nama-nama ustadz kondang yang terdaftar dalam jaringan radikalisme.
Ulama dan Zona Radikalisme
Berita Bukittinggi - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Ketua MUI Bukittinggi mengaku tidak tahu soal penolakan IKN itu.
Soal Video Penolakan IKN, Ketua MUI Bukittinggi: Kita Tidak Tahu dan Tak Diundang
Berita Bukittinggi - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Dalam video itu, disampaikan lima alasan menolak Ibu Kota Negara (IKN).
Penolakan IKN Bergema dari Gedung MUI Kota Bukittinggi
Khairul Jasmi Kenang Almarhum Tengku Zulkarnain: Ulama Bergaya Sumatra, Kajiannya Kritis
Khairul Jasmi Kenang Almarhum Tengku Zulkarnain: Ulama Bergaya Sumatra, Kajiannya Kritis