Langgam.id - Pada pertengahan abad ke-19, setelah kecamuk Perang Padri beberapa puluh tahun lewat, Ahmad Khatib lahir di dataran tinggi Luhak Agam. Ahmad kelak dikenal sebagai Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkawi, imam besar Mazhab Syafii di Masjidil Haram dan juga menjadi guru banyak ulama besar dari Tanah Air dan semenanjung Malaka.
Mengutip Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dan Sirajuddin Abbas, tulisan Nursal Saeran dalam buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" (1981) menyebut, Ahmad Khatib lahir di Koto Tuo Balai Gurah, Ampek Angkek, Agam, pada 6 Zulhijjah 1276 Hijriah. Tanggal ini bertepatan dengan 26 Juni 1860 Masehi.
Ahmad Khatib adalah anak dari Abdul Latif Khatib Nagari asal Nagari Koto Gadang, Agam dan ibu Limbak Urai asal Koto Tuo Balai Gurah. Dari pihak ayah, ia bersaudara dengan Haji Agus Salim. Dari pihak ibu, ia bersepupu dengan H. Thaher Jalaluddin, ulama ilmu falaq yang meninggal di Malaysia.
Masa kecil dilalui Ahmad di kampung halaman. Ia belajar di sekolah rendah hingga tamat. Di usia 11 tahun, Ahmad ikut dengan ayahnya naik haji ke Mekkah sekaligus mengikuti keinginannya mendalami ilmu agama Islam langsung ke sumbernya.
Di antara guru-gurunya di Mekkah adalah Zaid Ahmad Zain Dahlan, Said Bakri Syatta dan Syeikh Yahya Kabli. Ahmad Khatib mempelajari ilmu fiqih, falak, hisab, aljabar dan berbagai ilmu lain serta mendalami pemikiran mazhab Syafii.
Ahmad Khatib termasuk murid yang rajin dan juga cerdas. "Kerajinan dan kecerdasannya itulah yang menyebabkan beliau dapat menimba ilmu yang banyak dalam waktu yang relatif singkat," tulis Nursal Saeran.
Baca Juga: Pusaka Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Guru Para Ulama Awal Abad Ke-20
Sikap dan kecerdasan Ahmad memikat pemilik toko kitab Saleh Kurdi di dekat Masjidil Haram. Ia kemudian menikahkan Ahmad dengan putrinya. Saat putri pertama meninggal, Ahmad Khatib dinikahkan lagi dengan putrinya yang lain. Dari kedua istri itu, Ahmad Khatib memiliki 4 putra dan 1 putri.
Karena jasa mertuanya juga, Ahmad Khatib bisa membuat halaqah yang memungkinkan ia mengajar di dalam Masjidil Haram. Ia kemudian didatangi banyak murid, terutama dari Indonesia dan semenanjung Malaka. Kemasyuran Ahmad Khatib sebagai guru, membuat ia kemudian diangkat menjadi imam dan khatib dalam Mazhab Syafii di Masjidil Haram. Ia kemudian dikenal sebagai Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Nama Al-Minangkabawi itu ia sandang, meski sejak ke Mekkah kedua kalinya, Ahmad Khatib tak pernah pulang lagi ke Ranah Minang. Namun, menurut buku "Ensiklopedi Minangkabau" (2005) yang disusun Masoed Abidin dkk, hubungannya tak terputus dengan kampung halaman. Hubungan itu terjalin lewat orang Minang yang naik haji maupun murid-murid yang datang belajar kepada Syekh Ahmad Khatib.
Murid-murid Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau umumnya kemudian menjadi ulama besar. Mereka antara lain, Syekh Jamil Jaho, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Abbas Abdullah, Syekh Dr. Abdullah Ahmad, Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah dan Syekh Sulaiman Ar Rasuli (pendiri Tarbiyah).
Bukan saja dari Minangkabau, tapi juga berbagai daerah lain di Indonesia dan semenanjung Malaka. Seperti, Syekh Muhammad Nur (mufti Kerajaan Langkat), Syekh Hasan Maksum (mufti Kerajaan Deli), Syekh Muhammad Saleh (mufti Kerajaan Selangor Malaysia), Syekh Muhammad Zain (mufti Kerajaan Perak, Malaysia), Syekh Mustafa Husain (Purba, Mandailing), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Ashari (pendiri Nahdatul Ulama).
Sebagai ahli di bidang fiqih dan hukum Islam, Ahmad Khatib banyak menulis buku tentang masalah yang sedang dihadapi. Khusus untuk Minangkabau, salah satu yang menjadi perhatiannya adalah soal pembagian harta pusaka dan sistem keturunan matrilineal. Dalam buku "Al Manhaj Al Masyru" yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu pada 1893, Ahmad Khatib menilai sitem waris dalam adat Minangkabau menyalahi hukum faraidh (waris Islam).
Pendapat Ahmad Khatib ini mendapat tentangan dari kampung halaman. Bukan saja dari kaum adat, tetapi juga beberapa ulama. Antara lain, Datuk Sutan Maharajo yang menulis di Pelita Kecil (1894) dan Syekh Muhammad Sa'ad Mungkar dalam buku "Tanbih al-Awam".
Meski ditentang, Ahmad Khatib tak bosan-bosan mengingatkan. Melalui murid dan orang Minang yang berjumpa dengannya saat naik haji, ia selalu mengingatkan soal hukum waris tersebut.
Karena nasehat dari ulama besar sekaligus guru yang sangat dihormati, kemudian muncul kesepakatan para ulama dan tokoh adat dengan membedakan antara harta pusaka dengan harta pencaharian.
Kongres Badan Permusyawartaan Alim Ulama, Ninik Mamak dan Cerdik Pandai Minangkabau pada 4-5 Mei 1952 menyepakati, bahwa untuk harta pusaka tinggi (turun temurun) berlaku hukum adat. Sementara terhadap harta pencaharian berlaku hukum faraidh (waris Islam).
Berdasar pendapat beberapa ulama, harta pusaka dinilai berbeda dengan harta pencarian. Harta pusaka dinilai sama dengan harta wakaf atau harta musabalah yang di Zaman Khalifah Umar bin Khatab, dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
Kesepakatan ini kemudian diperkuat dengan Seminar Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau di Padang yang diprakarsai Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada 21-25 Juli 1968. Seminar terakhir ini, membuat kesepakatan itu bisa diimplementasikan dalam hukum formal di pengadilan.
Baca Juga: Seminar 1968, Jalan Tengah Hukum Waris Islam dan Adat Minangkabau
Buku "Ensiklopedi Minangkabau" mengutip Zainal Abidin Ahmad menyebutkan, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menulis 49 buku yang berkaitan dengan berbagai masalah agama dan kemasyarakatan. Tulisan beliau bukan saja beredar di Timur Tengah, tetapi juga dari berbagai negara tempat muri-muridnya berasal.
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi wafat pada 8 Jumadil Awal 1334 Hijriah atau pada tahun 1916 Masehi. Ia tak pernah pulang lagi ke Ranah Minang, sejak ke Mekkah kedua kalinya. Namun, melekatkan nama Al-Minangkabawi di belakang namanya, kritik dan masukannya pada hukum adat hingga murid-muridnya yang menjadi ulama-ulama besar di awal abad ke-20, menjadi jawaban keterkaitannya dengan tanah kelahiran. (HM)