Syekh Abdullah Ahmad: Pendiri Adabiah dan PGAI, Peraih Gelar Doktor dari Al-Azhar

Syekh Abdullah Ahmad: Pendiri Adabiah dan PGAI, Peraih Gelar Doktor dari Al-Azhar

Syekh Dr. Abdullah Ahmad (Sumber foto: Repro Buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" (1981) Terbitan Islamic Centre Sumatra Barat)

Langgam.id - Syekh Dr. Abdullah Ahmad bukan saja ulama pembaharu. Penerima doktor honoris causa dari Universitas Al Azhar Mesir ini, juga seorang pendidik, intelektual dan penulis andal. Adabiah dan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) adalah di antara peninggalannya yang masih ada hingga kini.

Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada 1878. "Ayahnya adalah H. Ahmad, seorang guru surau dan pedagang kain bugis di zamannya," tulis M. Yusran Ilyas, dalam profil Syekh Abdullah Ahmad di Buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" (1981).

Burhanuddin Daya dalam "Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam" (1990) menulis, Abdullah Ahmad kecil mengaji pada ayahnya sendiri sambil menyelesaikan sekolah dasar.  "Setelah Abdullah Ahmad tamat sekolah dasar dan mengaji dengannya, ia kirim Abdullah Ahmad menunaikan ibadah haji," tulisnya.

Sekolah dasar tempat Abdullah menuntut ilmu adalah lembaga pendidikan kelas dua. Sekolah yang diperuntukkan Pemerintah Hindia Belanda untuk orang pribumi.

Ia berusia 17 tahun saat meninggalkan tanah kelahiran. "Pada tahun 1895, Abdullah berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar ilmu Agama Islam kepada Syekh Ahmad Khatib (Al-Minangkabawi)," tulis Hasril Chaniago, dalam "101 Orang Minang di Pentas Sejarah" (2010).

Selain ayahnya, pamannya Syekh Abdul Halim alias Syekh Gapuak yang mengajar di Masjid Raya Gantiang Padang, juga mendorongnya untuk memperdalam ilmu ke Mekkah.

Ia menetap dan belajar selama empat tahun di Mekkah dan kemudian pulang ke kampung halaman pada 1899. Sekembali dari Mekkah, ia mengajar mengaji dan agama di rumah, kemudian di Surau Jembatan Besi Padang Panjang.

Buku "Ensiklopedia Minangkabau" (2005) menulis, semula ia mengajar dengan sistem halaqah. Tak lama kemudian ia mengganti sistem itu dengan membuat kelas.

Yusran Ilyas menulis, "Untuk lebih mengintensifkan pelaksanaannya ia dirikan madrasah. Di sana ia adakan sistem klasikal. Pakai meja, papan tulis dan perlengkapan bangku..."

Masyarakat yang biasa belajar agama dengan duduk bersila, menilai aneh cara belajar di dalam kelas. Cara mengajar Syekh Abdullah Ahmad pun ditentang.

Saat bersamaan dengan itu, pamannya Syekh Abdul Halim di Padang meninggal dunia. Syekh Abdullah Ahmad memutuskan pindah ke Padang dan kemudian mengajar di Masjid Raya Gantiang lebih kurang 3 tahun.

Di Padang, Syekh Abdullah Ahmad mengadakan tablig-tablig untuk membicarakan masalah agama. Untuk kepentingan itu ia mendirikan perkumpulan Adabiah. Syekh Abdullah berpendapat, sistem pendidikan Islam yang dilaksanakan pada saat itu, perlu diberbaiki, sehingga dapat lebih bermanfaat dan membantu menyelesaikan lebih banyak persoalan masyarakat.

"Abdullah Ahmad mengambil contoh kepada cara yang dilakukan oleh orang Belanda yang telah lama berhasil dalam bidang pendidikan," tulis Buku "Ensiklopedi Minangkabau".

Untuk mewujudkan cita-cita itu, pada 1909 Abdullah Ahmad mendirikan sekolah Adabiah. Sekolah yang setingkat dengan HIS Belanda ini, awalnya hanya memiliki siswa 20 orang. Beda dengan HIS, di Adabiah pelajaran umum ditambah dengan pelajaran Alqur'an dan agama Islam.

"Perguruan Adabiah didirikan atas bantuan para pedagang di Kota Padang. ini adalah perguruan Islam yang pertama menggunakan sistem kelas, memakai bangku, meja dan papan tulis," tulis Hasril Chaniago, mengutip Mahmud Junus.

Pada 1915, Perguruan Adabiah resmi menjadi HIS Adabiah. Abdullah Ahmad juga bisa mendapatkan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda. Ia kemudian menunjuk beberapa orang Belanda kepala sekolah dan guru pelajaran umum, selain guru agama berkualitas.

Di lapangan dakwah, Syekh Abdullah Ahmad termasuk ulama kaum muda yang saat itu sering berpolemik dengan ulama kaum tua. Salah satunya terkait persoalan tarekat. Ia antara lain sependapat dengan Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek dan Syekh Thaib Umar Sungayang. Dengan ulama-ulama ini pula, antara 1911-1916, Abdullah Ahmad menerbitkan, mengelola dan menulis untuk majalah Islam Al-Munir.

Pada 1918, dengan para ulama-ulama kaum muda tersebut, Abdullah Ahmad mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI). "Ia dipilih sampai hayat beliau memimpin PGAI ini," tulis M. Yusran Ilyas.

PGAI kemudian berkembang, mendirikan sekolah tingkat dasar, menengah dan juga panti asukan. Bahkan pada 1930, PGAI mendirikan Normal Islam di Jati, lengkap dengan asrama. Perguruan ini merupakan sekolah untuk calon guru agama Islam.

Pada 1926, Syekh Abdullah Ahmad bersama Syekh Karim Amrullah diundang ke Mesir untuk menghadiri konferensi ulama se-dunia. Selama di Mesir, keduanya menarik perhatian ulama-ulama Al-Azhar, sehingga diundang untuk berceramah di Al-Azhar. Keduanya juga diberi gelar doktor honoris causa, sebagai pengakuan atas keahlian tentang Islam.

Maka, sejak itu gelar doktor lekat pada Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah. Syekh Abdul Karim Amrullah, ayahanda Buya HAMKA yang sebelumnya akrab dipanggil Inyiak Rasul itu, bahkan kemudian juga terkenal dengan sebutan "Inyiak De Er" karena gelar doktor itu.

Syekh Dr. Abdullah Ahmad wafat pada November 1933 dalam usia 55 tahun. Sepanjang usia beliau yang tak panjang, ia telah mewariskan karya, ilmu dan pemikiran yang masih bisa dilihat dan dirasakan manfaatnya hingga kini. (HM)

Baca Juga

Jejak Intelektual Syekh Mudo Abdul Qadim: Ulama Besar Penyebar Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Sammaniyah
Jejak Intelektual Syekh Mudo Abdul Qadim: Ulama Besar Penyebar Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Sammaniyah
Zakat fitrah merupakan zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadan, sebelum
Kapan Waktu Terbaik Melaksanakan Zakat Fitrah?
Bulan Ramadan 1445 Hijriah akan memasuki 10 malam yang terakhir. Oleh karena itu dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dengan berdzikir,
4 Amalan Agar Dapat Meraih Kemuliaan Lailatul Qadar
Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah selama bulan Ramadan. Salah satu ibadah sunnah yang biasa dilakukan yaitu salat tarawih.
Begini Sejarah Awal Mula Penamaan Salat Tarawih
Sebanyak delapan warung makan ditertibkan oleh personel Satpol PP karena memfasilitasi makan siang di tempat. Penertiban itu dilakukan
Buka Siang Hari Ramadan, 8 Warung Makan di Padang Ditertibkan
Sahur merupakan kegiatan yang sangat dianjurkan bagi mereka yang ingin melaksanakan ibadah puasa. Saat sahur menjadi salah satu momen yang
Apakah Masih Boleh Makan Sahur di Waktu Imsak? Begini Penjelasannya