Lembaga Bantuan Hukum Padang menyatakan bahwa Sumatra Barat sedang mengalami darurat kekerasan seksual terhitung sejak Kamis, 18 November 2021. Kabar duka kemanusiaan ini dapat kita lihat dalam postingan Instagram LBH tersebut yang direspon dengan nada sedih, prihatin, dan geram oleh ratusan netizen. Pernyataan ini dilontarkan sepekan sebelum peringatan kampanye internasional 16 Hari Anti Kekerasan Seksual terhadap Perempuan (16HAKStP) yang berlangsung sejak 25 November hingga 10 Desember 2021. Kampanye tahunan ini untuk mengingatkan masyarakat luas tentang bahaya kekerasan seksual, keadilan perlindungan pada korban, dan mengadili pelaku kekerasan seksual.
LBH Padang tentu tidak sembarangan menyatakan Sumbar darurat kekerasan seksual. Pernyataan itu merupakan respons atas maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di beberapa daerah di provinsi yang memegang filosofi adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah[2]. Tersebut nama-nama daerah di mana kejadian tragis itu terjadi seperti Pasaman, Agam, Solok, dan Padang. Pelaku mulai dari kakek, ayah, paman (mamak?), teman paman, kakak, tetangga, dan orang lain. Jabatan pelaku, ada yang mantan lurah, guru ngaji, dan garin musala. Korbannya perempuan muda dan kebanyakan anak-anak.
Pandemi virus corona belum berakhir. Praktik kekerasan seksual terhadap perempuan juga belum berakhir, bahkan semakin menjadi-jadi. Tidak seperti pandemi yang bisa ditangkal dengan vaksin. Kekerasan seksual tidak ada vaksinnya. Jika ada tiga perempuan muda rentang usia 15-24 tahun berjalan beriringan, satu dari mereka dipastikan pernah mengalami kekerasan seksual (WHO, 2021)[3]. Angka ini tidak mengalami tren penurunan hampir satu dekade belakangan. Kekerasan (seksual) terhadap perempuan adalah pandemi yang terjadi pada setiap negara dan budaya di dunia.
Di rumah kita di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 8 kali lipat (79%) sejak 12 tahun belakangan (Catahu Komnas Perempuan, 2020)[4]. Ini adalah fenomena gunung es yang mengartikan bahwa dalam situasi yang sebenarnya kondisi perempuan Indonesia mengalami kehidupan yang jauh dari rasa aman dan berbahaya. Tidak di rumah, tidak di kampus, tidak di tempat kerja, tidak di jalan, tidak di sekolah, tidak dalam berumah tangga, tidak dalam berpacaran, tidak dalam relasi bertetangga, tidak dalam relasi atasan-bawahan, ancaman mengalami kekerasan seksual sama besarnya.
Boom! Penghujung tahun ini kepala kita rasanya dibuat mau meledak menyimak bertubi-tubi kasus perkosaan terhadap perempuan seperti yang dialami mahasiswi di Malang yang berhujung bunuh diri, kasus perkosaan dalam lingkup pesantren di Bandung yang korbannya adalah 12 santriwati hingga hamil dan melahirkan, kasus polisi mengancam keluarga korban pemerkosaan yang menolak damai di Riau, dan sapanjang tali baruak lainnya kasus kekerasan seksual yang tidak kalah membuat marah dan sedih. Kita seperti di Pakistan, Bangladesh, India, Nepal, dan Bhutan di mana isu kekerasan seksual tak pernah redup, banyak mendapat perhatian, tapi tak serius menyelesaikannya. Korbannya mulai dari anak-anak, gadis belia, perempuan dewasa, hingga usia lanjut (South Asia Development Forum, 2021)[5].
Kengerian ini semakin menanjak dalam budaya yang permisif pada kejahatan seksual sehingga malu, takut, dan tidak tahu cara untuk membicarakan apalagi melaporkan kejahatan tersebut. Terdapat 93% korban kekerasan seksual menyatakan enggan melaporkan kasusnya kepada pihak berwenang karena takut disalahkan, tidak mendapat dukungan, dan terintimidasi (Vice Indonesia, 2019)[6]. Angka fantastis ini tidaklah mengejutkan mengingat ketidakbiasaan banyak orang dan hukum berpihak kepada korban kekerasan seksual. Korban seringkali masih distigma dan dilabeli sebagai yang bermoral rendah, penggoda, dan oportunistis. Melaporkan pengalaman kekerasan seksual, jika tak berlebihan, sama dengan menggali kubur sendiri.
Korban kekerasan seksual dalam terminologi Griffin et.al (2015)[7] masuk dalam kelompok orang dengan kuasa lemah yang harus mengubah bahasa mereka ketika berkomunikasi dengan orang lain –dalam hal ini yaitu diam dan membisu. Membisu dapat dilihat sebagai ketidakmampuan menceritakan luka traumatisasi. Membisu juga dapat dicermati sebagai pilihan akhir di tengah situasi yang tidak menyediakan kanal untuk meluapkan emosi dan kebengisan atas pengalaman pahit. Korban kekerasan seksual ketika berhadapan dengan publik dan dirinya seperti menghadap tembok tinggi besar, susah untuk menembus. Di mata publik ia distigma sebagai orang yang kotor, bermoral rendah, dan tipikal penggoda. Di mata sendiri, stigma tersebut cenderung dengan mudah terafirmasi oleh konsep diri yang semakin melemah pasca tragedi. Persepsi publik, bagi korban kekerasan seksual, adalah monster besar yang menakutkan yang membayangi kian kemari. Itulah kenapa banyak korban kekerasan seksual mengalami trauma, enggan bergaul, tak punya teman, dan tragisnya ada yang mengakhiri hidupnya.
Kembali ke Sumbar. Kekerasan dan pelecehan seksual bukanlah hal baru di Padang. Awal kuliah di Padang, 2007, saya dan mahasiswi lain yang melewati Jalan Simpang Labor menuju kampus Universitas Negeri Padang, mendapati seorang laki-laki muda yang memamerkan alat kelaminnya kepada mahasiswi yang lewat di sana. Ini kejadian pertama, celakanya, bukan yang terakhir. Tidak hanya saya, teman satu kost, teman di kampus juga pernah mengalami pengalaman yang sama, sekurangnya tahu soal itu. Kita syok, kita jijik, kita marah, kita geram, kita merasa diteror. Kita bertukar cerita, kita saling menguatkan, menyemangati jika kelak mendapati lagi sedapat mungkin tetap tenang sembari berpikir strategis menyelamatkan diri dari "teror kelamin" itu.
Ini adalah rahasia umum. Penduduk sekitar tahu, mahasiswi kebanyakan tahu, warga yang punya kost-kostan juga tahu, tapi nyaris tidak pernah dibicarakan dan diproblematisasikan, alih-alih dicarikan solusinya. Masyarakat diam. Ia dibiarkan begitu saja seiring dengan perginya si tukang teror kelamin ketika ketahuan, ketika diteriaki oleh mahasiswi beramai-ramai. Tapi trauma, teror pengalaman pahit soal itu tidak pernah hilang dalam ingatan kami sebagai korban. Terbawa hingga tulang memutih.
Jamak kita simak dalam diskusi-diskusi bahwa pelaku teror kelamin ini "diselamatkan" atas nama sakit mental. Dia adalah orang yang akalnya kurang, orang sakit, tak bisa berpikir baik, dengan demikian biarkan saja, biarlah dia memamerkan kelaminnya, nanti juga pergi. Alasan ini banyak dipakai untuk memaklumkan, membiarkan, dan "melegalkan" teror kelamin di masyarakat. Maka tak heran tidak ada tindakan apa-apa dari Ketua RT setempat ketika mendapat laporan teror kelamin. Bapak dan ibu kost juga pura-pura bersimpati mendengarkan curhatan korban, detik berikutnya melengos pergi seolah itu biasa, seolah tidak terjadi apa-apa.
Pembaca yang baik, ini terjadi di dekat kawasan kampus, katakanlah hanya lima langkah dari luar pagar pembatas Fakultas Bahasa dan Seni, UNP. Kita bisa bayangkan betapa tidak amannya ruang publik kita untuk perempuan. Ruang publik yang bahkan bersebelahan dengan perguruan tinggi, tempat orang menempa akal dan budi. Yang ada ruang publik seperti jalur neraka. Kita tidak pernah tahu di sudut mana tiba-tiba seorang lelaki memamerkan kelaminnya, tiba-tiba seorang lelaki mengerem motornya pura-pura bertanya tetapi sedang memperlihatkan kelaminnya. Ruang publik yang mencekam, meneror, dan melahirkan trauma.
Saat ini kita dikagetkan dengan deklarasi LBH Padang bahwa Sumbar darurat kekerasan seksual. Kejahatan ini terjadi tidak hanya di ruang publik, melainkan juga di ruang privat. Rumah, tempat berkumpulnya orang-orang terdekat, orang-orang tercinta, orang-orang yang melindungi kita, orang-orang yang berpengharapan tinggi kepada kita. Tragisnya, ternyata sebaliknya. Rumah menjadi asal muasal segala pesakitan bagi korban kekerasan seksual, rumah tak lagi menjadi pelindung melainkan mimpi buruk. Anak gadis kita dijamah, anak gadis kita direnggut masa depannya.
Belum berhenti di situ, ruang sekolah tak kalah mencekam. Kita titipkan, kita percayakan anak-anak kita kepada guru, kepada orang yang pintar ilmu agama. Malangnya, realitas bercerita lain. Ruang sekolah, dengan sungguh mengiba hati, tak luput menjadi arena beraksi para predator anak. Manusia-manusia kecil yang lugu, yang memandang dunia penuh warna indah harus menjadi korban kebrutalan monster lelaki dewasa. Anak kita dilecehkan, anak kita disodomi.
Di mana pemimpin? Di mana penegak hukum? Di mana para cerdik pandai? Di mana para alim ulama? Mereka ada di ruang-ruang virtual, di grup-grup WhatsAp, di kedai-kedai, di surau-surau, di seminar-seminar, di kunjungan-kunjungan kerja. Apa yang mereka kerjakan?
Yang kemudian lebih banyak muncul dalam wacana para elit adalah bersitegang urat leher membahas politik, mengagung-agungkan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, memamah jargon mambangkik batang tarandam atau “memanggil arwah” Hatta, Syahrir, Hamka untuk disetir dalam obrolan berbuih-buih tanpa berkesudahan. Sementara, di saat yang sama anak kemenakan hampir mati bersabung nyawa dimangsa pedofil. Di ruang lain yang mencekam, sang ibu sendiri mengobati anaknya yang menjadi korban kekerasan seksual yang seumur hidup tidak akan pernah sembuh seperti semula. Seumur hidup berkundang stigma negatif.
Kita tidak tahu kapan LBH Padang mencabut status Sumbar darurat kekerasan seksual. Tapi mata kita semakin terbuka bahwa ruang-ruang di Sumbar, baik publik maupun privat, tidak menjamin selalu aman bagi perempuan dan anak-anak. Pelecehan dan kekerasan seksual bukanlah perkara sederhana. Kampanye internasional 16HAKStP sudah berlangsung selama 17 tahun. Perjuangan panjang gerakan perlindungan kepada perempuan mustahil berhasil tanpa adanya perlindungan hukum yang memadai dan komprehensif. Bersyukur Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah disetujui di tingkat Badan Legislasi DPR-RI, meski fraksi Partai Keadilan Sejahtera menjadi satu-satunya fraksi yang menolak RUU ini, RUU TPKS akan diteruskan dalam proses paripurna dan semoga segera disahkan menjadi UU. Tentu saja dan tak kalah pentingnya, penghapusan kekerasan seksual bisa dimulai (dan tak ada kata terlambat) dengan masing-masing kita menyadari bahwa isu ini penting, krusial, menyangkut marwah manusia, dan mendesak untuk diselesaikan. (***)
-----------------
[1] Staf Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie, Jakarta. Aktif pada Jilatang Institute
[2] https://www.liputan6.com/regional/read/4716744/lbh-padang-sumbar-darurat-kekerasan-seksual
[3] World Health Organization. (2021). Devastatingly Pervasive: 1 in 3 Women Globally Experience Violence. URL: https://www.who.int/news/item/09-03-2021-devastatingly-pervasive-1-in-3-women-globally-experience-violence
[4] Komnas Perempuan. (2019). Annual Report. National Commission on Violence Against Women. URL: https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-catatan-tahunan-catahu-komnas-perempuan-2019
[5] South Asia Development Forum. (2021). Violence Against Women and Girls : Lessons from South Asia. World Bank Group, Washington, DC. URL: https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/20153?show=full&locale-attribute=es
[6] Vice Indonesia. 2019. Have Indonesian Universities Failed to Protect Victims of Sexual Violence. URL: https://www.youtube.com/watch?v=o1JrhUFbTYM&t=4s
[7] Griffin, Em. et. al. (2015). A First Look at Communication Theory (10th Edition). New York: McGraw Hill-Publication.