Langgam.id - Seorang anak perempuan berusia 16 tahun di Tanah Datar, Sumatra Barat, menjadi korban dugaan percobaan pemerkosaan dengan kekerasan pada Selasa (25/6/2024).
Korban, sebut saja Mawar (nama samaran), berhasil melarikan diri dari pelaku setelah mendapatkan perlawanan, tetapi insiden tersebut meninggalkan luka fisik dan trauma mendalam.
Hal itu diceritakan ibu Mawar, Wahyuni, secara daring lewat zoom saat jumpa pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Jumat (29/11/2024).
Wahyuni bercerita, kejadian bermula ketika Mawar, yang sedang demam, ditinggalnya membeli kebutuhan di pasar. Pelaku masuk melalui dapur dan menyerang Mawar yang sedang mengisi daya ponselnya.
Korban diseret ke kamar dan dipukul berulang kali dengan setrika saat mencoba melawan. Upaya kerasnya untuk melawan membuat pelaku melarikan diri melalui pintu dapur. Tetangga yang mendengar teriakan menemukan Mawar dalam kondisi menangis dan gemetar.
Kasus ini dilaporkan ke Polres Tanah Datar pada hari yang sama. Namun, saat perjalanan ke kantor polisi, ibu korban diminta melapor ke Polsek Sungai Tarab oleh seorang Bhabinkamtibmas. Setelah melapor, keluarga korban tidak menerima Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP), dokumen wajib yang menjadi dasar tindak lanjut kasus.
Ketidakpastian ini mendorong keluarga Mawar mencari bantuan ke LBH Padang dan WCC Nurani Perempuan pada Agustus 2024. Melalui advokasi dua lembaga tersebut, kasus baru mendapat perhatian serius dari polisi.
STTLP baru diterbitkan pada 17 Oktober 2024 oleh Kanit PPA Polres Tanah Datar, hampir empat bulan setelah insiden terjadi. Kasus ini diselidiki sebagai tindak pidana perlindungan anak berdasarkan Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014.
LBH menilai proses hukum yang lamban memperparah kondisi Mawar. Korban dilaporkan trauma berat, takut keluar rumah, dan kesulitan mengikuti kegiatan sekolah. Pelaku yang masih berkeliaran di sekitar tempat tinggal korban menambah rasa tidak aman.
Rahmi Meri Yanti dari WCC Nurani Perempuan menegaskan pentingnya penanganan cepat untuk korban kekerasan seksual. “Dampak kekerasan seksual sangat serius. Jika proses hukum lambat, pemulihan korban akan semakin sulit,” ujarnya.
LBH Padang mengecam lambannya respons kepolisian. Menurut Decthree Ranti Putri, advokat publik LBH Padang, keterlambatan penerbitan STTLP merupakan pelanggaran prosedur sebagaimana diatur Pasal 9 Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009.
“STTLP adalah dokumen wajib yang mengikat polisi untuk menyelidiki laporan. Jika ini saja diabaikan, jelas ada pelanggaran tanggung jawab kepolisian,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menilai praktik konfrontasi antara korban dan pelaku yang dilakukan polisi di Polsek Sungai Tarab mencederai hak asasi korban. “Tindakan ini tidak mencerminkan perspektif korban dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia,” tambahnya.
Kasus Mawar menjadi salah satu contoh dari banyak kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani dengan baik. Rahmi Meri Yanti menyoroti kecenderungan aparat hukum menggunakan pendekatan restorative justice pada kasus kekerasan seksual, yang bertentangan dengan perspektif hak asasi manusia.
“Pasal 21 ayat (1) UU 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual jelas mengatur penanganan perkara harus berpihak pada korban dan berbasis HAM,” katanya.
Hingga kini, keluarga korban dan lembaga pendamping terus mendesak polisi agar pelaku segera ditangkap dan diproses hukum. (*/yki)