Ramadhan: Pendidikan yang Memerdekakan

Pendidikan yang Memerdekakan

Dr. Muhammad Kosim, Dosen Ilmu Pendidikan Islam UIN Imam Bonjol Padang.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini bertepatan bulan Ramadhan. Tak ada upacara Hardiknas karena wabah korona. Tetapi Hardiknas tetap diperingati dengan tema “Belajar dari Covid-19”. Perkembangan pendidikan tanah air memang dinamis. Apalagi sejak Kemdikbud dipimpin oleh generasi Millenial, Mas Nadiem Anwar Makarim. Satu kebijakannya yang “seksi” dan dinilai sebagai program inovatif adalah “Merdeka Belajar”. Sudahkah pendidikan kita benar-benar telah memerdekakan?

Dalam kajian tasawuf, merdeka disebut dengan hurriyah. Abu Qasim al-Qusyairi membahas hurriyah sebagai salah satu maqam dalam kitab Risalah Qusyairiyah. Ia menulis, “Ketahuilah, bahwa hakikat kemerdekaan terletak dalam kesempurnaan penghambaan. Jika penghambaannya benar untuk Allah, maka kemerdekaannya bersih dari perbudakan sesuatu yang berubah.”

Al-Qusyairi juga menegaskan, tanda kemerdekaan bagi seorang hamba di antaranya adalah ketiadaan hatinya di bawah penghambaan makhluk, kepentingan-kepentingan dunia, dan tujuan-tujuan akhirat. Dirinya adalah dirinya. Tidak satu pun keduniaan yang sifatnya sementara memperbudaknya, tidak juga keinginan, angan-angan, permintaan, tujuan, harapan, dan bagian atau keuntungannya.

Lampiran Gambar

Dengan demikian, kemerdekaan sejati adalah ketika seseorang mampu menjalankan perannya sebagai Abdullah. Penghambaannya total kepada Allah. Bukan diperbudak oleh kepentingan duniawi. Sebaliknya, mereka yang diperbudak duniawi disebabkan hawa nafsunya telah menguasai dirinya. Apa itu hawa nafsu?

Al-Hakim at-Tirmidzi (w. 320 H) dalam Adab al-Nafs menjawab pertanyaan itu. Hawa nafsu merupakan esensi jiwa dan salah satu elemen dari tanah. Nabi Adam a.s. diciptakan dari tanah. Ia sangat pekat seperti tanah pekat. Ia laksana titik orbit yang dikelilingi jiwa. Ketika ruh meninggalkan jasad, jasad kembali kepada bentuknya semula: tanah. Ia telah mengetahui kesenangan dan kenikmatan duniawi dan ia mengenalnya dengan unsur pekat itu. Hawa nafsu pun menggoda jiwa, lalu jiwa mempengaruhi hati, hati meneruskan ke akal. Akhirnya sekujur tubuh kelak dicampakkan ke neraka.

Jika jiwa berhasil memaksa orang untuk menurutinya hawanya, maka ia telah memperbudaknya, melemahkannya, menghinakannya, mengejutkannya, meletihkannya, merampok akalnya, menginjak kehormatannya, mengabaikan harga dirinya, dan memisahkannya dari agamanya. Meskipun ia seorang yang alim, berakal, cerdik, cerdas, fasih, bijak, dan mengerti, tetap saja ia dikotori dan dijatuhkan. Hawa nafsu akan menjadikannya orang yang bodoh, dungu, tolol, dan lembek setelah sebelumnuya ia menguasai berbagai ilmu. Begitu penjelasan Imam al-Harits al-Muhasibi (w. 243 H) dalam karyanya: Adabun Nafus.

Allah SWT tidak membiarkan hamba-Nya tersesat. Dengan sifat Rahman-Nya, Allah menurunkan perintah puasa sebulan penuh untuk mendidik manusia agar mampu mengendalikan hawa nafsunya. Karena itu Ramadhan dikenal juga sebagai syahr al-tarbiyah.

Imam al-Sya’rani (w. 690 H) dalam kitabnya al-Fathul Mubin menegaskan bahwa “puasa adalah merdeka dari penjajahan syahwat.” Menurutnya, Allah mewajibkan hamba-Nya berpuasa untuk menghancurkan syahwat dan memutus sebab terjadinya perbudakan dan penghambaan kepada segala selain Allah. Puasa hadir untuk memutus rantai penghambaan kepada selain Allah dan mewujudkan kemerdekaan dari penjajahan syahwat dan objek syahwat. Ini karena tujuan penciptaan manusia adalah agar ia menjadi pemilik dan pengendali segala sesuatu, bukan dimiliki dan dikendalikan oleh segala sesuatu. Manusia adalah khalifah, wakil Allah pada kerajaan-Nya.

Mengapa belum merdeka meski telah berpuasa? Imam al-Sya’rani menjawab, “Apabila semua kewajiban agama dilaksaakan dengan sempurna, didapatlah kemerdekaan paripurna. Namun kekurangan dalam melaksanakan kewajiban akan menjadikan jiwa terpuruk dan kepala terkutuk, dan sang hamba pun terbelenggu oleh perbudakan kepada selain Allah.”

Karena itu, ibadah puasa tidak sekedar menahan lapar dan haus di siang hari. Namun puasa harus disempurnakan dengan menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dan mengurangi pahala puasa, serta melakukan ibadah-ibadah lain yang mengiringinya. Qiyamul lail, infaq/sedekah, zakat fitrah, tilawah Alquran, istighfar, zikir, hingga berdoa merupakan bagian dari riyadhah dan mujahadah untuk mendidik kalbu tunduk pada nafsu sehingga ia menjadi hamba yang merdeka.

Ibn ‘Athaillah (w. 709 H) dalam Bahjat al-Nufus menulis: “Kalbu yang mengikuti nafsu tak ubahnya seperti manusia yang menggantungkan diri pada orang yang tenggelamn di lautan. Akhirnya keduanya sama-sama tenggelam. Sedangkan menyerahkan nafsu kepada kalbu seperti manusia yang menyerahkan dirinya pada perenang mahir. Ia pun bisa berenang bersamanya hingga selamat sampai daratan.”

Belajar dari Ramadhan yang dihadirkan Allah untuk mendidik hamba-Nya menjadi manusia merdeka, seharusnya diimplementasikan dalam praktik pendidikan kita. Apalagi Sistem Pendidikan di Indonesia menginginkan terbentuknya pribadi yang beriman dan bertakwa. Dalam UUD 1945, pasal 31 ayat (3) disebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Maka dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas secara eksplisit ditulis: “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”

Peningkatan iman dan takwa dan penyelenggaraan pendidikan yang berakar pada nilai-nilai agama sejatinya diimplementasikan dalam berbagai kebijakan pendidikan di negeri ini. Pendidikan agama harus mendapat perhatian. Dan pendidikan agama tidak boleh hanya diserahkan pada guru agama. Tetapi pendidikan agama harus menjadi ruh dan inti kurikulum yang mengikat semua materi dan kegiatan di sekolah. Seperti halnya sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menjiwai sila-sila lainnya. Hamka menyebut sila pertama sebagai “urat tunggang dalam Pancasila”.

Pendidikan tidak boleh berhenti pada hal-hal yang bersifat metodologis, materialis dan pragmatis, seperti pembelajaran mesti menyenangkan, berpikir kiritis, berorientasi pada lapangan pekerjaan. Jika ini yang menjadi orientasi, maka lulusan pendidikan nasional tidak menjadi insan merdeka, melainkan diperbudak oleh duniawi. Maka pendidikan harus didesain untuk memerdekakan manusia agar menjadi hamba Allah semata dengan kualitas iman dan takwa yang kuat sehingga melahirkan akhlak mulia.

Sudah banyak orang pintar di negeri ini dengan sederatan gelar akademik yang disandangnya. Namun kerap kali tidak berbanding lurus dengan perilakunya. Rebutan dan barter kekuasaan, korupsi, menipulasi hukum, sogok menyogok, dan bentuk kejahatan lainnya justru dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Solusi apa yang bisa ditawarkan untuk mengobati penyakit ini selain pendekatan agama?

Tentu pendidikan agama bukan sekedar ilmu, tetapi untuk diamalkan dengan istiqamah sehingga jiwanya merdeka dari penguasaan syahwatnya. Imam Khomeini dalam al-Jihad al-Akbar menulis “memperjual belikan agama dan belajar sekedar mencari ilmu tanpa mau mengamalkannya adalah bau menjijikkan yang akan menyengat penciuman penghuni neraka”. Karena itu Imam Khomeini menegaskan, “Sudah saatnya para ulama, para guru lebih banyak memperhatikan aspek-aspek spiritualitas, sebaliknya para pelajar juga agar giat untuk menempa diri supaya bisa menciptakan karakter (makalah) yang kuat bagi dirinya, menjadi orang yang selalu rajin menyucikan diri dan ini adalah tugas yang sangat penting bagi mereka”.

Sayang, kebijakan merdeka belajar yang digagas Kemdikbud belum menekankan aspek spiritualitas dan penguatan pendidikan agama. Namun kebijakan itu belum tuntas, boleh jadi ada kebijakan merdeka belajar jilid berikutnya yang relevan dengan pesan Ramadhan. Paling tidak, kebijakan merdeka belajar memberikan otonomi kepada sekolah/madrasah dan perguruan tinggi untuk mendesain pembelajaran dan kegiatan pendidikan lainnya secara kreatif dan inovatif. Hal ini memberi peluang kepada lembaga pendidikan untuk kembali pada khittahnya dalam memerdekakan manusia.

Selamat memperingati hari pendidikan nasional dengan merenungkan: sudahkah pendidikan kita benar-benar telah memerdekakan? Wallahu a’lam. (***)


Dr. Muhammad Kosim, Dosen Ilmu Pendidikan Islam UIN Imam Bonjol Padang.

Baca Juga

Berita Sawahlunto - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Tambang Ombilin bakal dijadikan perjalanan wisata minat khusus.
Masuk Kurikulum Muatan Lokal, Modul P5 WTBOS Diuji Coba di SMAN 1 Sumbar
Kota Padang Bersatu untuk Pendidikan Maju
Kota Padang Bersatu untuk Pendidikan Maju
BSI Dukung Peningkatan Pendidikan di Sumatra Barat Lewat Beasiswa
BSI Dukung Peningkatan Pendidikan di Sumatra Barat Lewat Beasiswa
Pj Wako Padang Paparkan Pentingnya Pendidikan Berkelanjutan untuk Optimalkan Bonus Demografi
Pj Wako Padang Paparkan Pentingnya Pendidikan Berkelanjutan untuk Optimalkan Bonus Demografi
Asysyfa Maisarah, Anak Buruh Tani Asal Limapuluh Kota Merajut Mimpi di UGM
Asysyfa Maisarah, Anak Buruh Tani Asal Limapuluh Kota Merajut Mimpi di UGM
ITP Sahkan MoU dengan INTI International University Malaysia
ITP Sahkan MoU dengan INTI International University Malaysia