Langgam.id - Prosesi pemakaman terhadap almarhumah Ibu Ani Yudhoyono yang dilangsungkan pada Minggu (2/6/2019) ini di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta dalam konteks ketatanegaraan mesti dimaknai sebagai hak protokoler seorang Ibu Negara.
Demikian disampaikan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas Feri Amsari, Minggu (2/6/2019).
"Tidak pernah ada mantan Presiden dan mantan Ibu Negara. Sekali seorang warga negara dibebani mandat itu, maka selama-lamanya ia akan menjadi Presiden dan Ibu Negara. Bahkan hingga ke liang lahat," katanya.
Karena itu, menurutnya, protokoler ketatanegaraan dalam prosesi pemakaman tetap melekat pada seorang Presiden atau Ibu Negara, meski sudah tak lagi menjabat.
"Menurut saya, perlu ada tradisi ketatanegaraan ketika seorang Presiden dan Ibu Negara wafat meski tidak lagi menjabat. Upacara pemakamannya perlu khusus. Hal ini wujud penghormatan negara," tutur Feri.
Dosen hukum tata negara Unand, Padang, itu mengatakan, aturan protokoler ketatanegaraan bisa diadopsi aturan tertulis setingkat PP dan Perpres. Tetapi, tidak seluruhnya mesti diadopsi dalam aturan tertulis.
"Salah satu sumber hukum tata negara adalah tradisi ketatanegaraan," katanya kepada Langgam.id.
Ia mencontohkan karpet merah untuk tamu negara dan pemeriksaan pasukan saat kunjungan kenegaraan kepala negara sahabat. Tak perlu diatur dalam aturan tertulis.
Indonesia, menurut Feri, sudah saatnya punya tradisi ketatanegaraan yang baku melepas para tokoh yang pernah menjadi Presiden, Ibu Negara dan Wakil Presiden.
"Upacara pemakamannya bukan karena sebagai pemegang bintang tanda penghargaan negara. Tetapi khusus untuk warga negara yang pernah pada posisi tersebut," katanya. (HM)