Puasa Sebagai Proses Recalling

Puasa Sebagai Proses Recalling

Andri Rosadi, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang 

Kota pada awalnya direncanakan sebagai tempat dimana orang-orang bermoral dan beradab tinggal. Namun, dalam perkembangannya, justru telah menjelma menjadi apa yang disebut oleh Akbar Ahmed, antropolog Muslim yang mengajar di London, sebagai “tempat pemeliharaan setan”. Banyak manusia yang tinggal di dalamnya neurotic, tergesa-gesa, tingkat kriminalitas tinggi, narkoba banyak tersebar, pelacuran, kehidupan yang individualistic dan nir empati antara satu sama lain. Sisi negatif kehidupan kota inilah yang kemudian disebut sebagai penyakit masyarakat (pekat).

Seorang Muslim yang baik, tentu ia tidak akan pernah menjerumuskan dirinya pada penyakit masyarakat di atas, sebab ia memiliki mekanisme kontrol diri yang kokoh, yaitu ibadah. Ada shalat, sedekah, puasa, haji bagi yang mampu dan berbagai zikir yang jika dikerjakan dengan benar dan tulus akan membawa dampak positif pada diri setiap yang mengamalkannya: secara internal akan meningkatkan kualitas positif yang ada pada dirinya; secara eksternal akan menjaganya dari terjerumus pada penyakit masyarakat tersebut. Untuk menyebut beberapa contoh dalil normatif tentang ini, al-Quran secara eksplisit mengatakan bahwa shalat akan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (al-Ankabut:45); seseorang yang telah dewasa namun belum mampu menikah, dianjurkan untuk memperbanyak puasa.

Problem masyarakat modern adalah, fungsi social agama mengalami penurunan seiring perubahan yang terjadi terus-menerus akibat berbagai hal, terutama mobilitas yang tinggi dalam dunia komersial dan kerja. Orientasi kehidupan mengalami banyak perubahan disebabkan ekonomi industrial modern yang terlalu menghamba pada materi dan miskin spiritualitas.

Lampiran Gambar

Akibat langsung yang terjadi pada kehidupan keagamaan adalah:  memory dan koneksi kita pada aspek ketuhanan jadi tumpul, dangkal, sehingga tidak mampu menyelami kedalaman spiritualitas yang seharusnya efek logis dari ritual rutin yang dijalankan setiap hari. Sebagai contoh, shalat dan ibadah yang dijalankan jadi tidak berefek pada perilaku sehari-hari. Sehingga, dalam banyak hal, kita gagal menampilkan diri kita dalam perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Inilah yang disebut sebagai amnesia sejati. Orang yang lupa tidak terhubung dengan apapun dan siapapun, disconnected dan alien.

Bagaimana caranya untuk kembali terhubung dengan memori keagamaan? Agama setidaknya memiliki dua aspek penting: keyakinan dan praktik (ritual). Keyakinan memberikan dasar-dasar normative, sementarar ritual memberikan moment “merasakan dan mengalami” pada pelakunya. Khusyu’ dalam shalat adalah moment untuk merasakan, bukan memikirkan; menahan lapar, dahaga dan nafsu selama puasa adalah momen untuk merasakan dan kemudian menumbuhkan empati pada nilai-nilai social dan kemanusiaan; memakai ihram adalah moment untuk merasakan keagungan Tuhan, bahwa dimata-Nya, kekayaan, status dan jabatan, suku dan golongan sama sekali tidak berharga. Oleh sebab itu, semua tampil dengan pakaian, cara ibadah dan tempat yang sama.

Maka, bisa dikatakan bahwa ibadah merupakan kondensasi memori keberagamaan. Tanpa itu, beragama jadi sebatas teori. Ibaratnya, seseorang yang belajar renang, sehebat apapun teori yang ia kuasai, jika tidak pernah praktik, maka ia tidak akan pernah mampu menjadi perenang ulung. Teori, praktik plus kontinuitas.  Untuk menjadi Muslim yang baik, kita juga butuh dua hal itu: teori dan praktik yang kontinyu.

Cara mudah untuk terhubung dengan memori keagamaan dalam Islam adalah dengan kembali pada apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Dengan ini, kita mendapatkan dua hal sekaligus: teori dan praktik (ibadah) yang otoritatif, dan oleh sebab itu, akan bisa “merasakan dan mengalami” feeling keagamaan yang dialami oleh Nabi, walau dengan kedalaman yang sangat minimal.

Ibadah, dengan demikian adalah wasilah atau cara untuk merasakan dan mengalami, bukan tujuan. Setiap ibadah dalam Islam menawarkan “pengalaman” yang berbeda. Shalat, puasa dan haji, sebagai contoh, memberikan pengalaman yang berbeda pada pelakunya. Khusus puasa Ramadhan, dalam banyak hal menawarkan berbagai pengalaman pada kita. Setidaknya, puasa yang merujuk pada cara puasa Nabi akan memperbaiki pola dan apa yang kita konsumsi.

Jika Nabi berbuka dengan tiga butir korma dan segelas air putih, kita berbuka dengan semangkok kolak atau es campur ditambah sepiring penuh nasi, kemudian karena kekenyangan, shalat maghrib terpaksa diundur, maka yakinlah bahwa pengalaman berpuasa kita akan sangat jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Nabi.  Jika Nabi banyak berzikir dan tadarus selama Ramadhan, sementara kita memperbanyak tidur dan kerja duniawi, maka yakinlah bahwa pengalaman dan tujuan berpuasa yang dijanjikan Nabi bagi orang yang berpuasa tidak akan pernah kita rasakan dan raih.

Selanjutnya, dengan cara puasa seperti ini, bagaimana kita bisa merasakan kedukaan Nabi karena berlalunya Ramadhan, sehingga beliau selalu berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya? Akhirnya, taqwa sebagai tujuan akhir puasa hanya ada dalam angan. Disinilah kita sebenarnya harus benar-benar berduka. Sebagai penutup, semua ibadah, termasuk puasa, adalah sarana recalling pengalaman yang pernah dirasakan Nabi, dan dengan sebab itu, kita akan terhubung dengan alam transenden. Wallahu a’lam.


Andri Rosadi, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang

Baca Juga

Zakat fitrah merupakan zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadan, sebelum
Kapan Waktu Terbaik Melaksanakan Zakat Fitrah?
Bulan Ramadan 1445 Hijriah akan memasuki 10 malam yang terakhir. Oleh karena itu dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dengan berdzikir,
4 Amalan Agar Dapat Meraih Kemuliaan Lailatul Qadar
Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah selama bulan Ramadan. Salah satu ibadah sunnah yang biasa dilakukan yaitu salat tarawih.
Begini Sejarah Awal Mula Penamaan Salat Tarawih
Sebanyak delapan warung makan ditertibkan oleh personel Satpol PP karena memfasilitasi makan siang di tempat. Penertiban itu dilakukan
Buka Siang Hari Ramadan, 8 Warung Makan di Padang Ditertibkan
Sahur merupakan kegiatan yang sangat dianjurkan bagi mereka yang ingin melaksanakan ibadah puasa. Saat sahur menjadi salah satu momen yang
Apakah Masih Boleh Makan Sahur di Waktu Imsak? Begini Penjelasannya
Bulan puasa identik dengan pasar Ramadan atau orang Minangkabau menyebutnya pasar pabukoan. Pasar pabukoan menjual berbagai macam takjil
Dekat dengan Kampus Unand, Pasar Pabukoan Kapalo Koto Tawarkan Ragam Menu Berbuka