“Semakin dekat jarak antara pengawas dengan hal yang diawasi, maka semakin efektif suatu pengawasan,”
Kekayaan alam Indonesia merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Secara tegas mengenai kekayaan alam diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar - besarnya kemakmuran rakyat,”
Seluruh kekayaan alam di Indonesia dikuasai negara, sehingga negara memiliki hak untuk mengelola dan memanfaatkannya. Dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam, negara memiliki satu tujuan yaitu untuk kesejahteraan rakyat. Tujuan negara tersebut dinyatakan pada alinea ke-4 pembukaan UUD 1945.
Kegiatan pertambangan di Indonesia, apabila dikelola secara baik maka memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan perekonomian bangsa. Sektor pertambangan dan energi merupakan penghasil utama devisa, menyediakan sumber daya energi terbesar dan merupakan penyerap tenaga kerja.
Perubahan penyelenggaraan kewenangan pemerintah mengenai pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) terjadi sejak lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya termasuk bidang pertambangan mineral dan batu bara.
Dalam pasal 14 ayat (1) UU No 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa: Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah (provinsi). Hingga kewenangan yang berada pada kabupaten atau kota otomatis tidak berlaku lagi karena semua urusan tersebut sudah pindah ke provinsi.
Untuk lebih jelasnya, pembagian urusan pemerintahan di bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) antara pemerintah pusat dan provinsi terdapat di lampiran Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk pemerintah pusat dalam urusan mineral dan batu bara, antara lain:
- Penetapan wilayah pertambangan sebagai bagian dari rencana tata ruang wilayah nasional, yang terdiri atas wilayah usaha pertambangan, wilayah pertambangan rakyat dan wilayah pencadangan negara serta wilayah usaha pertambangan khusus.
- Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral logam dan batu bara serta wilayah izin usaha pertambangan khusus.
- Penetapan wilayah izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan lintas provinsi dan wilayah laut lebih dari 12 mil.
- Penertiban izin usaha pertambangan mineral logam, batu bara, mineral bukan logam dan batuan pada; 1) Wilayah izin usaha pertambangan yang berada pada wilayah lintas Daerah provinsi; 2) Wilayah izin usaha pertambangan yang berbatasan langsung dengan negara lain;dan 3) Wilayah laut lebih dari 12 mil;
- Penertiban izin usaha pertambangan dalam rangka penanaman modal asing.
- Pemberian izin usaha pertambangan khusus mineral dan batu bara.
- Pemberian regulasi izin usaha pertambangan dan penetapan jumlah produksi setiap Daerah provinsi untuk komoditas mineral logam dan batu bara.
- Penertiban izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk pengelolaan dan pemurnian yang komoditas tambangnya yang berasal dari Daerah provinsi lain di luar lokasi fasilitas pengelolaan dan pemurnian, atau impor serta dalam rangka penanaman modal asing.
- Penertiban izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar dalam rangka penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing yang kegiatan usahanya diseluruh wilayah Indonesia.
- Penetapan harga patokan mineral logam dan batu bara.
- Pengelolaan inspektur tambang dan pejabat pengawas pertambangan.
Pertambangan (terutama mineral dan batu bara), seringkali meninggalkan kerusakan fisik lingkungan. Pertambangan seringkali dilakukan di kawasan hutan, sungai, bahkan jauh ke dalam perut bumi dan menimbulkan kerusakan yang cukup parah.
Untuk memperbaiki itu, perlu dilakukan reklamasi dan pascatambang. Pasal 1 Angka 26 Undang-undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, menyebutkan:
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan dan memperbaiki kualitas lingkungan agar dapat berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya, sedangkan pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Terdapat beberapa peraturan pelaksana tentang reklamasi dan pascatambang dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan Batubara yang terdiri dari Peraturan Pemerintah dan Peraturan menteri. Peraturan pelaksana itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Yang harus diingat, pelaksanaan reklamasi dan pascatambang bukan mutlak kewajiban perusahaan pemegang izin usaha pertambangan. Ketentuan itu menyatakan jika reklamasi dan pascatambang tidak dilaksanakan oleh pemegang IUP atau IUPK, maka pemerintah pusat atau pemerintah daerah (menteri, gubernur dan bupati atau wali kota) dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan menggunakan dana jaminan sesuai dengan rencana reklamasi dan pascatambang.
Jadi, perusahaan pertambangan hanya memiliki dua kewajiban yang harus dipenuhi, ketika perusahaan tidak melakukan reklamasi dan pascatambang tidak melanggar aturan hukum pertambangan. Perusahaan dapat dikatakan melanggar hukum jika perusahaan tidak memenuhi dua kewajiban yang memang menjadi kewajibannya, yaitu kewajiban untuk menyerahkan dokumen rencana reklamasi dan rencana pascatambang, dan kewajiban memberikan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang, serta apabila dana jaminan kurang maka perusahaan berkewajiban memenuhinya.
Berdasarkan Pasal 151 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan bahwa, menteri, gubernur dan bupati dapat memberikan sanksi administrasi terhadap pemegang IUP, IUPK dan IPR yang melanggar aturan termasuk pasal 99 dan pasal 100.
Bentuk sanksi administrasi yang dapat diberikan, adalah:
- Peringatan tertulis
- Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi
- Pencabutan IUP, IPR, atau IUPK
Penjelasan lebih lanjut mengenai pemberian sanksi administrasi oleh pemerintah atau pemerintah daerah diatur dalam Pasal 67 sampai pasal 71 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Lalu, Pasal 69 menyatakan, bahwa sanksi administratif berupa peringatan tertulis diberikan paling banyak 3 kali dengan jangka waktu peringatan masing-masing 30 hari kalender. Pasal 70 (1) dalam hal pemegang IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Eksplorasi, atau IUPK Operasi Produksi yang mendapat sanksi peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan belum melaksanakan kewajibannya, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan dan sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan dikenakan dalam jangka waktu paling lama 90 hari kalender.
Kemudian, pasal 71, sanksi administratif berupa pencabutan IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Eksplorasi, atau IUPK Operasi Produksi, dikenakan kepada pemegang IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IUPK Eksplorasi, atau IUPK Operasi Produksi yang tidak melaksanakan kewajiban sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan.
Poin penting yang perlu disoroti dari berbagai kewajiban adalah pengawasan. Aturan yang sempurna tentang reklamasi dan pascatambang tidak akan berarti jika tidak diiringi dengan pengawasan yang baik.
Lazimnya, pihak pemberi izin lah yang juga harus dibebani kewajiban untuk melakukan pengawasan. Lahirnya Undang-undang No. 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang memberikan penyelenggaraan penguasaan mineral dan batu bara kepada pemerintah pusat, menciptakan jarak yang jauh dalam pengawasan.
Walaupun kewenangan ini bisa saja didelegasikan kepada gubernur selaku perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, namun hal ini tentu saja akan menimbulkan semangat yang berbeda. Akhirnya, perlu dipikirkan kembali sistem pengawasan reklamasi dan pascatambang yang efektif agar memberikan dampak yang baik bagi lingkungan dan masyarakat. Atau sebaiknya, serahkan kembali perizinan mineral dan batubara ke pemerintah kabupaten dan kota.
___
Lerri Pattra, Dosen Fakultas Hukum Unand