Beberapa waktu belakangan ada wacana Capres-Cawapres berdasarkan identitas dan aliran politik. Ini dikaitkan dengan keberagamaan. Hal itu sudah ada yang bergumam ketika Joko Widodo dan Ma’ruf menjadi Capres dan Cawapres 2019. Mereka dikatakan sebagai nasionalis-relijius dan relijius-nasionalis.
Kini diteruskan lagi. Untuk Capres-Cawapres 2024 kini ha ngat wacana. Prabowo-Cak Imin dianggap nasionalis-relijius. Begitu pula Anies Baswedan-AHY dianggap relijius-nasionalis. Puan Maharani atau Ganjar Pranowo dengan Cak Imin atau Anies.
Gerindra, kapal politiknya Prabowo dianggap nasionalis. PKB, kapal politiknya Cak Imin dianggap relijius. Begitu pula, kalau benar Anies Baswedan menggunakan kapal PKS, maka ini dianggap relijius. Dan AHY, nakhoda Partai Demokrat dianggap nasionalis. Dan Puan atau Ganjar, PDIP adalah nasionalis.
Istilah nasionalis-relijius dan relijius-nasionalis ini mengingatkan kita kepada kerangka teori lain. Pada 77 tahun lalu, wacana aliran dan identitas sub-idelogi Indonesia disebut Nasionalisme-Sekuler dan Nasionalisme-Islami .
Endang Syaifuddin Anshari-ESA (1938-1996) dalam Tesis Masternya di MacGill University tahun 1976 yang berjudul : ”Piagam Jakarta 22 Juni 1945 : Sejarah konsensus Nasional antara Nasionalis Islamis dan Nasionalis ‘Sekuler’ tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1949”, mengikhtisarkan penandatangan Piagam Jakarta sebagai terdiri atas dua steriotip tadi.
Mereka adalah Haji Soekarno, Haji Achmad Soebardjo, Haji Abdul Kahar Muzakir, Alex Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Haji Mohammad Hatta, Haji Abdul Wahid Hasyim, Haji Agoes Salim dan Haji Mohamamad Yamin.
Ke-9 mereka sudah sepakat dan menanda tangani piagam Jakarta, 22 Juni 1945 tadi. Akan tetapi seperti yang sudah menjadi sejarah, beberapa puluh jam menjelang pengesahan UUD 18 Agustus Tahun 1945, terjadi perubahan 7 suku kata setelah Ketuhanan, dicoret, menjadi, Ketuhanan Yang Maha Esa dan seterusnya.
Oleh ESA perubahan menghilangkan 7 kata tadi disebut sebagai sejarah konsensus Nasional antara Nasionalis Islmis dan Nasionalis “Sekuler”. Terma atau istilah itu di dalam kajian Islam dan hubungannya dengan negara dan politik Indonesia, menjadi melekat dalam khazanah pemikiran sampai beberapa lama.
Framing itu melekat terus bukan hanya kepada orang atau tokoh tetapi juga kepada partai politik. Menghadapi Pemilu Pertama 1955, partai-partai Islam dianggap beraliran dan beridentias nasionalis Islamis, sedangkan yang lain dibayangkan sebagai nasionalis”sekuler”.
Mengadapi Pemilu 1977, kata sekuler menjadi menjadi viral di kalangan umat Islam ketika keluar testimoni Nurcholish Madjid (1939-2005),” Islam Yes, Partai Islam, No.” Cak Nur-panggilan akrab beliau waktu itu dituduh berfikir sekuler.
Kata "sekuler" kemudian muncul istilah "sekularisme", diperkenalkan pertama kali oleh filsuf George Jacob Holyoake (1817 – 1906) pada tahun 1851.
Menurutnya, sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah, terlepas dari agama wahyu atau supernaturalisme.
Di dunia Islam, istilah "sekuler" pertama kali dipopulerkan oleh Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog terkemuka dan politikus nasionalis Turki.
Konseptualisasi sekuler dimaksudkannya dalam rangka pemisahan antara kekuasaan spiritual khalifah dan kekuasaan duniawi sultan di Turki Usmani (Kerajaan Ottoman) pada masa itu.
Ia mengemukakan perlunya pemisahan antara diyanet (masalah ibadah serta keyakinan) dan muamalah (hubungan sosial manusia).
Kembali ke Cak Nur, ia mengatakan bahwa sekuler --di sini ditekan sebagai sekularisasi, secara sosiologis berbeda dengan sekularime secara filofis.
Perbedaan keduanya sebangun seperti istilah rasionalisasi dan rasionalisme.
Setiap muslim, kata Cak Nur, mestinya berfikir dan bersikap rasional. Tetapi tidak harus menjadi rasionalis. Sebab rasionalis berarti mendukung rasionalisme yang katanya itu bertentangan dengan Islam. Karena rasionalisme mengingkari wahyu sebagai media untuk mengetahui kebenaran.
Begitulah sekuler atau sekularisasi yaitu proses menjadi pentingnya masalah dunia tetapi tidak sekularisme. Menurutnya, sekularisme secara filosofis memisahkan urusan duniawi dan ukhrawi serta memisahkan total soal agama dan keagamaan dengan urusan kenegaraan.
Pada wacana lain, ia mengatakan bahwa yang porofan, atau urusan dunia itu penting. Akan tetapi tidak selalu harus dikaitkan dengan yang suci. Partai Politik adalah urusan dunia yang tidak sacral (suci). Oleh karena itu dia mengatakan, “Islam ya, Partai Islam, tidak” seperti di atas.
Pada masa Orba wacana Cak Nur tadi enak didengar oleh satu kalangan tetapi alerjik bagi kalangan lain. Dan pada ujung masa usianya, Cak Nur tidak mengatakan bahwa Partai Islam itu tidak penting.
Ternyata pada ketika Habibi turun dan kemudian apa yang menamakan dirinya Poros Tengah, Cak Nur mendukung. Poros tengah para pemimpin parpol Islam dan nasionalis yang lebih dekat dengan kalangan Islam mendukung Abdurrahman Wahid (1940-2009) pendiri PKB menjadi Presiden RI sebagai Presiden RI ( 1999-2001).
Sejak itu, sebetulnya istilah nasionalis-sekuler dan nasionalis-islami selesai. Akan tetpi kini muncul istilah pada judul tulisan ini nasionalis-relijius dan relijius nasionalis.
Istilah ini kelihatannya seakan-akan reingkarnasi. Istilah lama yang dimodifikasi. Kata Islami hilang diganti dengan relijius.
Memang kalau disigi secara semantik leksikal berbeda, tetapi semantik konseptual rasanya sama.
Kata nasionalis tetap tetapi kata Islamis diganti menjadi relijius. Wa Allah a’lam bi al-Shawab.
(Shofwan Karim adalah Ketua PWM dan Dosen PPs UM Sumbar serta Ketua Umum YPKM).