Mengenal Surau Batu Hampar yang Didirikan Kakenda Bung Hatta

Surau Batu Hampar Syekh Abdurrahman Kakenda Bung Hatta

Komplek Pesantrean Batu Hampar yang didirikan Syekh Abdurrahman. (Foto: Dok. Balai Litbang Agama Jakarta/kemenag.go.id)

Langgam.id - Surau Batu Hampar tak lepas dari sejarah perkembangan pendidikan pesantren di Minangkabau. Surau itu merupakan prototipe dalam artian surau sebagai lembaga pendidikan islam yang profesional.

Surau Batu Hampar dibangun Syekh Abdurrahman yang merupakan kakenda Bung Hatta, beliau merupakan salah satu ulama terkemuka di Ranah Minang.

Surau itu didirikan sekitar tahun 1840 Masehi, karena dalam berbagai literatur menuliskan, bahwa Syekh Abdurrahman lahir 1777 Masehi dan ia mendirikan surau itu setelah berumur 63 tahun.

Mansur Malik dalam tulisannya di Buku “Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat” (1981) yang diterbitkan Islamic Center Sumatera Barat menyebutkan, Abdurrahman sudah berkemauan keras, cerdas dan cakap sejak berusia kecil.

Di usia 15 tahun, sekitar tahun 1792, ia minta izin kepada orang tua untuk belajar agama pada Syekh Galogandang di Batusangkar. Bertahun-tahun di sana, ia kemudian berangkat berjalan kaki ke Tapak Tuan, Aceh.

Di Aceh, Abdurrahman belajar pada Syekh Abdur Rauf sekitar 8 tahun, sebelum kemudian memutuskan berangkat ke Mekkah untuk naik haji. Di Mekkah, Abdurrahman tinggal selama 7 tahun untuk memperdalam pengetahuan agama.

Setelah merantau 48 tahun, Syekh Abdurrahman pulang ke Batuhampar dalam usia 63 tahun. Sesampai di kampung halaman, ia melihat masyarakat yang telah beragama Islam belum menjalankan tuntunan agama sebagaimana mestinya. Judi dan sabung ayam marak, masjid sepi tak berjemaah.

Syekh Abdurrahman melakukan pendekatan bertahap. Sikap ramah dan pemurahnya adalah modal meraih simpati masyarakat. Sejak anak-anak, penyabung ayam, hingga petinggi adat ia rangkul, untuk meramaikan masjid.

Ia kemudian mendirikan surau. Mulai mengajar ilmu tilawatil Qur’an, tuntunan salat dan ilmu tauhid. Namanya makin besar. Murid datang dari berbagai penjuru, sampai dari Jambi, Palembang dan Bengkulu. Rumah penduduk ramai karena diinapkan murid-murid Syekh.

Karena sudah tak muat di rumah penduduk, di areal sekitar 3 hektare Syekh Abdurrahman membangun komplek pemukiman untuk murid-muridnya yang dinamakan kampung dagang. Bangunan utama di bagian tengah, dikelilingi puluhan surau tempat menginap murid-muridnya.

Baca Juga: Syekh Abdurrahman Batuhampar: Kakenda Bung Hatta, Penggagas Sistem Pesantren Surau

Terkait bentuk bangunan masjid yang didirikan Syekh Abdurrahman, tak ada lagi dokumentasi lengkap. Catatan Fajar Rillah Vesky dalam blog gonjonglimo5 berdasarkan wawancara dengan dengan Buya Sya'rani salah seroang ulama yang masih hidup di daerah itu menyebutkan, dokumentasi rumah ibadah yang diberi nama Majsid Dagang sejak awal didirikan hanya tinggal foto bentuk di dalam masjid.

Terlihat tonggaknya besar-besar yang dipenuhi kaligrafi.

Sementara itu, dalam catatat yang dituliskan Apria Putra yang merupakan Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dalam situs tarbiyahislamiyah.id menyebutkan, Masjid Dagang dibangun dengan gaya arsitektur Minangkabau, terbuat dari kayu yang berukir-ukir, gonjongnya bertingkat-tingkat.

Bersebelahan dengan masjid, terdapat sebuah bangunan yang cukup besar, bertingkat dua, itulah bangunan tempat melaksanakan suluk, bahkan peserta suluk pernah mencapai 400 orang dalam setahun.

Persis di sebelah timur masjid, dibangun sebuah bangunan permanen dengan sebuah menara yang cukup menarik, dengan gaya menara khas timur tengah. Menara ini dibangun di masa Syekh Arsyad, anak Syekh Abdurrahman, yang dipergunakan untuk mengumandangkan azan.

Di sebelah timur menara, terdapat bangunan permanen lain, di sinilah Syekh Abdurrahman dan anak cucunya di makamkan.

Sebuah bangunan lagi yang menjadi daya tarik dan simbol kejayaan Batu Hampar kala itu ialah sebuah rumah gadang yang cukup besar, didirikan di atas kolam. Rumah gadang ini menjadi tempat penginapan para penziarah, pejalan kaki yang kemalaman atau masyarakat yang hendak beribadah selama berbulan-bulan di Batu Hampar.

Kemudian, Lebih kurang 200 meter ke arah timur, di seberang jalan raya yang membatasi perkampungan, terdapat satu bangunan induk lainnya yaitu Surau Baru.

Di sekitar bangunan induk itulah berdiri lebih kurang 30 surau yang rata-rata berukuran 7×8 meter, umumnya bertingkat dua.

Di surau-surau itulah para orang-orang siak yang ramai itu bertempat tinggal dan mengulangi pelajarannya dengan guru-guru tuo (guru-guru bantu Syekh Abdurrahman). Surau-surau itu diberi nama sesuai dengan asal daerah orang siak yang menghuninya. (ZE)

Baca Juga

Zakat fitrah merupakan zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadan, sebelum
Kapan Waktu Terbaik Melaksanakan Zakat Fitrah?
Bulan Ramadan 1445 Hijriah akan memasuki 10 malam yang terakhir. Oleh karena itu dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dengan berdzikir,
4 Amalan Agar Dapat Meraih Kemuliaan Lailatul Qadar
Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah selama bulan Ramadan. Salah satu ibadah sunnah yang biasa dilakukan yaitu salat tarawih.
Begini Sejarah Awal Mula Penamaan Salat Tarawih
Sebanyak delapan warung makan ditertibkan oleh personel Satpol PP karena memfasilitasi makan siang di tempat. Penertiban itu dilakukan
Buka Siang Hari Ramadan, 8 Warung Makan di Padang Ditertibkan
Sahur merupakan kegiatan yang sangat dianjurkan bagi mereka yang ingin melaksanakan ibadah puasa. Saat sahur menjadi salah satu momen yang
Apakah Masih Boleh Makan Sahur di Waktu Imsak? Begini Penjelasannya
Bulan puasa identik dengan pasar Ramadan atau orang Minangkabau menyebutnya pasar pabukoan. Pasar pabukoan menjual berbagai macam takjil
Dekat dengan Kampus Unand, Pasar Pabukoan Kapalo Koto Tawarkan Ragam Menu Berbuka