Oleh: Hidayatus Syukriah
Belum lama ini, sejumlah pemberitaan menunjukkan banyak terjadi kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus. Hal ini tentu saja menjadi momok yang menakutkan bagi banyak warga kampus. Dalam sejumlah kasus, kekerasan seksual tak hanya dilakukan oleh mahasiswa, bahkan tenaga pendidik pun ikut serta melakukan tindakan tidak terpuji itu.
Beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual di lingkungan kampus di antaranya, relasi kuasa yang timpang, kurangnya dukungan kepada korban dan payung hukum di kampus yang masih belum komprehensif. Lingkungan kampus harusnya menjadi tempat belajar yang memberi keamanan dan kenyamanan. Bukan menjadi tempat yang menakutkan. Di lingkungan kampus yang dipenuhi kaum intelektual dengan gelar indah, ternyata masih ada yang merusaknya dengan kelakuan tak pantas.
Laman voaindonesia.com merilis, kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan, terdiri dari kekerasan seksual 87,91 persen, psikis dan diskriminasi 8,8 persen, kemudian kekerasan fisik 1,1 persen. Perguruan tinggi menjadi tempat tertinggi untuk kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan 35 kasus dari tahun 2015-2021. Fakta tersebut menunjukkan, kekerasan seksual masih menjadi persoalan terbesar di lingkungan pendidikan dibanding kekerasan lainnya.
Banyaknya kasus yang terjadi belakangan ini, tentu saja menjadi tanda tanya bagi banyak orang. Apakah kampus tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk menimba ilmu?
Tidak adanya keberanian para korban untuk melapor, menyebabkan tindakan ini semakin sering terjadi. Berdasar studi 2020 yang dilakukan oleh Indonesia Judical Research Society, alasan terbesar yang membuat korban tidak mau melaporkan tindakan kekerasan seksual adalah rasa takut (33,5 persen), rasa malu (29 persen), tidak tahu tempat melapor (23,5 persen) dan merasa bersalah (18,5 persen).
Korban umumnya takut untuk melaporkan karena adanya kekuasaan dari pelaku, yang mungkin akan lebih merusak lagi. Korban juga merasa malu ketika orang-orang di sekitarnya mengetahui bahwa dirinya adalah korban pelecehan seksual. Masih ada kekhawatiran, bila korban melapor, ia merasa akan “dibully” bahkan dikucilkan. Ada juga kasus, korban tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk mengadu atau melaporkan. Korban merasa bersalah kepada diri sendiri karena tidak bisa mencegah hal itu terjadi, dan merasa bersalah kepada keluarganya karena tidak bisa menjaga diri dengan baik.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan khusus, yang bisa menyelesaikan kasus seperti ini. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengatur, perlunya dibentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di setiap kampus melalui Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Dilansir dari laman kemdikbud.go.id, tujuan dari peraturan ini adalah memastikan terjaganya hak warga negara atas Pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Dengan adanya peraturan ini, maka secara yuridis pihak kampus dapat melakukan langkah-langah legal untuk menindak kekerasan seksual ini.
Tim Satgas PPKS merupakan tim yang bertugas untuk menerima dan menindaklanjuti laporan kekerasan seksual di kampus, dan menjaga kerahasiaan identitas para pihak yang terlibat. Selain itu, Tim Satgas PPKS juga memberikan pendampingan kepada korban dalam bentuk konseling hingga bantuan humum.
Universitas Andalas (Unand) adalah salah satu kampus yang telah membentuk Satgas PPKS. Dikutip dari unand.ac.id, satgas ini telah menggelar sosialisasi pada Februari 2023 lalu, untuk mencegah kekarasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.
Dalam kegiatan tersebut ketua Satgas PPKS Dr. Rika Susanti, mengajak tenaga pendidik agar memberikan pemahaman kepada mahasiswa untuk bertindak ketika melihat atau mengalami kekerasan seksual. Perlu ada kerja sama antarwarga kampus untuk mencegah tindakan kekerasan seksual terjadi.
Pada dasarnya kita tidak bisa mengetahui kapan, siapa, dimana, dan bagaimana kekerasan seksual itu terjadi. Perlu diingat, kekerasan seksual tidak hanya dilakukan secara fisik, namun kekerasan seksual juga bisa dilakukan secara verbal. Banyaknya interaksi di lingkungan kampus, menyebabkan terjadinya komunikasi verbal. Seringkali tanpa sengaja terjadi pelecehan secara verbal yang dimaklumi sebagai candaan.
Jika sudah merasa tidak nyaman, risih, dan kesal dengan hal itu, cobalah untuk menyampaikan kepada pelaku agar menghentikannya. Namun, jika hal ini terus berlanjut dan tidak ada penyesalan dari pelaku, tindakan selanjutnya adalah melaporkan kepada Satgas PPKS yang ada di kampus.
Satgas PPKS akan memberikan solusi terkait hal ini. Tidak perlu merasa takut dan malu untuk menceritakan kejadiannya kepada Satgas PPKS, karena sudah dijamin akan menjaga kerahasiaan korban, serta memberikan perlindungan penuh. Oleh karena itu dibutuhkan juga keberanian dan kepedulian warga kampus untuk menyelesaikan permasalan ini. Selain itu pemahaman terkait kekerasan seksual juga diperlukan untuk menciptakan keadaan lingkungan kampus yang aman dan nyaman. (*)
Hidayatus Syukriah/ Mahasiswa FISIP Universitas Andalas