Langgam.id - Koki selebritas National Geographic Gordon Ramsay terpana tatkala legenda boga Indonesia, William Wongso, menyorongkan daging sapi bergelimang kuah (curry) kecoklatan tua dan bergelintin, dalam jamuan makan bajamba di Istano Basa Pagaruyuang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Batar.
Syahdan, berjawab kata pun terjadi. William mengisyaratkan daging sapi yang disebut randang (rendang) itu adalah makanan termasyhur dari masakan Padang. Bahkan dalam hamparan menu lauk-pauk dan penganan bajamba, randang adalah panglimanya. Jenderal masakan Padang, begitu kira-kira.
Singkat cerita, William yang bertindak sebagai mentor Gordon dalam program Gordon Ramsay: Uncharted Season 2 episode Sumatra's Stunning Highlands, menantang Gordon untuk masak randang di akhir pekan dalam nuansa syuting bulan Januari 2020 tersebut.
Sebagaimana diketahui, randang bukanlah makanan kemarin sore; dalam artian sohor setelah dikincah Gordon untuk tayang di National Geographic. Randang jauh sebelum itu, telah mendunia dengan pengakuan CNN Go's sebagai makanan terenak pada dua kali survey yakni September 2011 dan Juli 2017.
Baca Juga: Video Cara Gordon Ramsay Memasak Randang
Randang secara kultur juga menjadi bekal utama orang Minang dalam merantau. Sejauh-jauh orang Minang merantau, randang dari tanah Minang tetaplah yang di nanti. Ada kepercayaan, membuat randang di rantau tidak akan bisa seenak jika dibuat di kampung. Banyak hal yang ditenggarai penyebabnya seperti bumbu, cara olahan, proses pembakaran.
Lalu bagaimana awal mulanya randang?
Seorang pegawai Est India Company (EIC) yang berkedudukan di Bengkulu, William Marsden pada paruh abad ke-18, menceritakan, di pedalaman Minangkabau, selain tumbuh-tumbuhan, juga disuguhkan daging kerbau, kambing, unggas, dalam jamuan pesta.
Dia menceritakan, lauk pauk berbahan berbaku hewan tersebut di masak dengan cara kari seperti budaya India. Orang-orang Minang menyebutnya gulai. Yang paling sering adalah daging dan ayam.
Akan tetapi hal yang membedakan, ungkap Marsden, jika kari dari India lebih banyak menggunakan bumbu tanpa santan, maka orang Minang masak daging atau pun ayam menggunakan santan pekat, ditambah dengan dengan bumbu curry powder yang terdiri dari cabe, kunyit, serai, kardamungu, dan bawang putih. Bumbu ini sangat melekat dengan randang.
Mengkonsumsi daging di pedalaman Minangkabau suatu kewajaran, mengingat kerbau atau pun sapi adalah hewan ternak bagi mereka. Marsden mengisahkan, setelah hewan disembelih, mereka langsung memasak dalam keadaan hangat. Sehingga daging lebih empuk.
Bila seorang pribumi memotong seekor kerbau, tidak dipotong sendi-sendinya seperti sapi, melainkan dikerat-kerat yang disebut membantai.
Catatan Marsden tentunya menguatkan dugaan, bahwa randang asli masakan Minang. Terlebih, kelengkapannya tumbuh subur di Minangkabau. Selain kelapa, tentu saja bumbu-bumbunya yang menjadi alasan bangsa barat dan juga India datang ke Nusantara.
Melacak sejarah kuliner bisa dilihat dari budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Hal demikian bisa ditemui di pusat Minangkabau (merujuk tiga luhak atau negeri asal yakni Tanah Datar, 50 Kota, dan Agam), hampir dipastikan tiap orang tua bisa memasak rendang. Tiap nagari memiliki khas randang tersendiri.
Raudah mengatakan, memang tidak terlalu banyak manuskrip tentang randang, namun secara visual jelas menggambarkan randang asli Minang.
Pada iven adat, antara pakaian, rumah, hidangan adalah suatu kesatuan. “Melihat kebudayaan tidak bisa sepotong-potong,” ujarnya.
Sejarawan dari Universitas Andalas Gusti Asnan semakin menguatkan randang adalah kuliner Minang. Berdasarkan penelisikannya, randang sudah menjadi teman setia saudagar Minang di abad-abad lampau. Bahkan, randang adalah komponen diaspora orang Minang.
Menurutnya, randang sebagai masakan Minang jauh lebih tua dari hikayat Amir Hamzah. Sejumlah literatur, sebutnya, menunjukan randang sudah dibawa oleh saudagar dalam niaga kurun waktu abad 16.
Seorang Portugis Ruy de Brito dalam buku tentang jalur perantauan Malaya yang ditulis 1514 sudah menyinggung randang yang dibawa oleh saudagar Minang.
“Spesifik dia tidak mengatakan randang. Tapi daging yang dihanguskan,” ujar Gusti beberapa waktu silam.
Randang dikenal sebagai makanan yang cukup awet. Misal saja rendang Guguak Asli, pernah diteliti tahan selama 60 hari. Maka tidak mengherankan jika orang-orang di kampung, selalu bercerita tentang nenek moyangnya pergi naik haji pasti membawa randang.
Begitu pun dengan saudagar di masa lampau. Pelayaran yang memakan waktu melewati jalur sungai seperti sungai Rokan menuju ke Malaka, tentu membutuhkan makanan. Nah, rendang adalah jawabannya. Makanan yang tidak cepat basi dan rasa yang tidak berubah.
Seiring waktu, randang juga mengalami diaspora. Paling gampang ditemui di Malaysia terutama Negeri Sembilan. Tidak mengherankan, pasalnya negeri ini diteroka oleh orang Minang.
Tentu saja, kuliner adalah budaya yang tidak terpisahkan dari diri seseorang.
Kolonel Stuers pernah menulis, di tahun 1827, di Negeri Sembilan dia menemukan masakan khas Minang yang terbuat dari daging, susu kelapa, cabai.
Gusti menilai, catatan Stuers tersebut mengarah pada randang. Dan orang Minang sendiri memasaknya.
Budayawan Minangkabau Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto menambahkan, randang tersebut menjadi bagian dari kehidupan orang Minang. Ada anekdot orang tua-tua di Minang, menaruh randang dari hari raya haji ke hari raya haji.
Dia sendiri selalu membawa randang jika ke luar negeri. Pernah suatu ketika Musra ke Malaysia dalam waktu yang cukup lama, membawa 4 kg randang. Menurutnya, randang tersebut bisa bertahan 8 bulan tanpa dihangatkan.
Baca juga: Cara Bikin Terong Balado Ikan Bilih Ala Gordon Ramsay
“Kunci randang awet dan tahan lama itu, tidak pakai bawang merah dan kelapanya yang sudah tua, rekah seperti kopra,” pungkasnya.