Menara dan Belanda dalam Catatan Sejarah Masjid Tuo Pincuran Gadang

Catatan Sejarah Masjid Tuo Pincuran Gadang

Masjid Tuo Pincuran Gadang (Foto: Dok. Kemdikbud tahun 2017)

Langgam.id - Goresan tangan Belanda begitu kentara ketika melihat sebuah menara yang berada di halaman Masjid Tuo Pincuran Gadang. Sebelum dipugar, menara itu terlihat kusam, seakan seperti tempat persembunyian pasukan dalam masa peperangan.

Menara yang terdapat di Masjid Tuo Pincuran Gadang itu juga hampir mirip dengan menara yang ada di Masjid Agung Banten. Namun, tinggi dan ukuran dari kedua menara itu berbeda.

Menara dengan arsitektur Belanda di Masjid Tuo Pincuran Gadang itu setinggi 3,5 meter dan keliling lingkaran (diameter) seluas 4 meter. Sementara, menara di Masjid Agung Banten memiliki ketinggian 24 meter dan diameter bagian bawah sekira 10 meter.

Bangunan dengan bentuk persegi delapan (awalnya tanpa atap) yang berada di pintu masuk kompleks kolam tempat berwudhu itu menjadi ciri khas dari masjid tua yang berada di Nagari Pincuran Gadang, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, Sumatra Barat (Sumbar).

Pada bagian pintu masuk menara yang berbentuk persegi delapan itu terdapat tulisan Arab setengah lingkaran dan pada bagian atasnya terdapat tulisan dengan kata latin ANNO 1931.

Baca Juga: 230 Tahun Masjid Raya Gantiang dalam Ragam Akulturasi dan Saksi Sejarah di Padang

Berdasarkan beberapa catatan, kata ANNO dalam bahasa Belanda berarti tahun. Apakah yang dimaksud ANNO 1931 itu pendirian menara tersebut atau ada makna lain terkait tahun itu. Hingga saat ini, kita belum mendapat catatan pasti terkait maksud kata ANNO 1931 tersebut.

Sementara, catatan Pemerintah Kabupaten Agam, masjid yang memiliki menara unik dengan tulisan ANNO 1931 atau yang dikenal dengan Masjid Tuo Pincuran Gadang itu didirikan 1885.

Selain itu, menara berbentuk persegi delapan tersebut saat ini sudah beratap, juga tidak ada catatan pasti kapan atap itu dipasang. Bahkan, menara itu telah dicat ulang dengan warna putih pada bagian bawah dan ditambah dengan bangunan berbahan dasar kayu berbentuk persegi delapan sebagai penyangga atapnya (lihat: foto dokumen kemdikbud, 11 Maret 2017).

Pendirian masjid diprakarsai seorang ulama yang berasal dari daerah Matur, Tuanku Alam Putiah. Ia merupakan ulama yang memasyarakatkan agama Islam di daerah tersebut.

Baca Juga: Masjid Rao Rao dan Akulturasi Arsitektur 5 Budaya

Saat ini, Balai Pelestarian Peninggalan Pur­bakala Batusangkar, yang membawahi Sumbar, Riau, dan Kepulauan Riau telah menetapkan Masjid Pincuran Gadang sebagai Situs Cagar Budaya.

Bangunan masjid Tuo Pincuran Gadang saat ini kondisinya relatif baik, meskipun terkesan kurang terpelihara.

Dindingnya terbuat dari pasangan batu kali dan batu bata dari pasir. Atapnya berupa seng dengan bentuk atap bertingkat khas atau berbentuk tumpeng yaitu atap bersusun tiga dengan bentuk semakin ke atas semakin kecil.

Hal serupa juga kita temui di beberapa masjid kuno di Sumbar, seperti Masjid Mingkudu, Masjid Rao Rao, Masjid Tuo Kayu Jao dan lainnya.

Bahkan, atas seperti itu juga ditemui di masjid-mesjid tua di Pulau Jawa yang terpengaruh dengan bentuk bangunan budha atau hindu yang lebih dahulu masuk ke Indonesia.

Awalnya, atap Masjid Tuo Pincuran Gdang juga atapnya terbuat dari ijuk dan saat ini telah berganti dengan seng.

Lalu, tiang-tiang masjid terbuat dari kayu yang berasal dari hutan sekitar. Bangunan utama ditopang oleh 9 tiang dari bahan kayu yang posisinya secara persegi konsentris dengan sebuah tiang di tengah.

Bagian depan yang berfungsi sebagai mihrab atau tempat imam dilengkapi dengan bangunan berukuran sekitar 7 x 4 meter.

Baca Juga: Jalan Panjang Pengganti Masjid Usang, Awal Mula Masjid Rao Rao Didirikan

Bentuk bangunan yaitu segi delapan. Bentuk atap berupa kubah ciri khas mesjid timur tengah. Sebelum atap kubah dikelilingi oleh jendela-jendela kaca sehingga cahaya dan udara bebas masuk ke dalam masjid.

Tidak hanya itu, di sekitar masjid juga terdapat sumber mata air yang sangat jernih, dari sumber air yang langsung menuju ke kolam serta dialirkan pada pincuran tempat penduduk mandi.

Karena sumber airnya besar maka pincurannya juga besar maka karena itu dinamakan pincuran gadang. Pincuran yang ada juga berjumlah tujuh buah. Dari kolam tersebut kemudian dialirkan ke sungai dan irigasi untuk persawahan.

Dahulunya di samping kolam tersebut terdapat kincir yang digerakkan dari air yang berasal dari mata air. Kincir tersebut berfungsi untuk mengupas padi menjadi beras. Namun sekarang ini sudah tidak berfungsi lagi, tapi bekas kincir tersebut masih ada terlihat hingga saat ini. (*/ZE)

Baca Juga

Zakat fitrah merupakan zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadan, sebelum
Kapan Waktu Terbaik Melaksanakan Zakat Fitrah?
Bulan Ramadan 1445 Hijriah akan memasuki 10 malam yang terakhir. Oleh karena itu dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dengan berdzikir,
4 Amalan Agar Dapat Meraih Kemuliaan Lailatul Qadar
Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah selama bulan Ramadan. Salah satu ibadah sunnah yang biasa dilakukan yaitu salat tarawih.
Begini Sejarah Awal Mula Penamaan Salat Tarawih
Sebanyak delapan warung makan ditertibkan oleh personel Satpol PP karena memfasilitasi makan siang di tempat. Penertiban itu dilakukan
Buka Siang Hari Ramadan, 8 Warung Makan di Padang Ditertibkan
Sahur merupakan kegiatan yang sangat dianjurkan bagi mereka yang ingin melaksanakan ibadah puasa. Saat sahur menjadi salah satu momen yang
Apakah Masih Boleh Makan Sahur di Waktu Imsak? Begini Penjelasannya
Bulan puasa identik dengan pasar Ramadan atau orang Minangkabau menyebutnya pasar pabukoan. Pasar pabukoan menjual berbagai macam takjil
Dekat dengan Kampus Unand, Pasar Pabukoan Kapalo Koto Tawarkan Ragam Menu Berbuka