Memaafkan Tamparan Pak Kepsek

Plak! Sebuah tamparan mampir di pipi kiri saya. Telinga saya berdenging.  Tidak sakit, tapi jantung seperti berhenti bedenyut.  Sejenak saya menyesap kebas dan panas. “Kamu! Jangan lagi bilang begitu!,” hardik Kepala Sekolah, wajahnya tegang dan terlihat sangat marah.

Saya ingat, wajah itu menatap saya tajam sekitar tahun ‘87 atau mendekati ’88 ketika saya masih belajar di sebuah SD di Sungai Penuh, Kerinci, Jambi. Kepala Sekolah di masa itu, sebut saja namanya Pak Kepsek, tiba-tiba memanggil saya ke ruangannya.  

Ruangan Kepsek berada tepat bersisian dengan ruang guru, hanya dibatasi dinding yang menyisakan celah untuk orang berjalan.  Semua guru agaknya ada di ruang itu, karena waktu itu jam istirahat sedang berlangsung. Di sanalah Kepsek menampar saya.  Alasannya; saya menolak menyetor sejumlah uang yang akan dipakai oleh guru-guru untuk rapat.

Bagi saya, uang di masa itu adalah sesuatu yang teramat sulit. Saya tidak tahu situasi ekonomi-politik nasional, kecuali dari apa yang disampaikan Menteri Penerangan kala itu, Harmoko.  Benak kanak-kanak saya terlalu sibuk memikirkan perang antariksa dan pertukaran almanak yang terasa sangat lama. Jadi sikap saya sesungguhnya bukan karena anti korupsi, istilah yang baru belakangan saya pahami.

Waktu merambat pelan, saya sudah berada di tengah-tengah kerumunan masa menuntut Presiden Soeharto mundur. 1998, entah apa yang saya pikirkan waktu itu. Bayangan Pak Kepsek muncul kembali saat orang-orang menyerukan anti KKN; korupsi, kolusi dan nepotisme. Orang-orang juga bicara tentang mencabut fungsi tentara (ABRI di masa itu). Sebagian bahkan ada yang menuntut pembubaran Partai Golongan Karya.

Perilaku culas koruptor mulanya saya pahami dari buku Anak Penjamun di Sarang Perawan, terbit sekitar tahun 1966, ditulis Effendi Sahib.  Buku ini berkisah tentang skandal korupsi yang dilakukan Jusuf Muda Dalam (JMD), Menteri Urusan Bank Sentral di periode ’63-’66, berikut pula mengulas sisi jelek Orde Lama yang dianggap penuh penyelewengan.

Saya menemukan buku itu berdebu di atas loteng rumah kami di Sungai Penuh, dalam sebuah kotak usang bekas sepatu.  Agaknya seseorang sengaja menyembunyikannya.  Penulis buku sengaja menulis dengan gaya popular, agar pembaca merasa terlibat di dalam tulisannya.  

Saban hari saya naik ke atas loteng yang pengap dan panas, hanya untuk membaca kisah-kisah seks antara JMD dengan banyak perempuan muda. Seingat saya, waktu itu saya masih kelas 3 SMP. Bagi saya yang sedang puber, kisah seks itu lebih seru ketimbang hiruk -pikuk politik. Apa lagi saya tahu, tentulah ada alasan mengapa buku itu sampai terbang ke loteng rumah.

Kasus JMD yang ditulis itu, belakang baru saya sadari, menjadi bahan propaganda rezim yang saat itu berkuasa.  Orde Baru menitik beratkan bahwa kekacauan yang terjadi di masa itu merupakan konsekuensi dari apa yang terjadi di orde sebelumnya.

Bodohnya, saya justru lupa tamparan Pak Kepsek saat asik membaca.  Tamparan itu baru saya ingat lagi ketika saya kembali ke rumah di era 2000an, sayangnya saya tak lagi menemukan buku tersebut.  Mungkin sudah dibakar seiring renovasi rumah.

Saat Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) didirikan, 27 Desember 2002, saya sangat gembira.  Di benak saya, mungkin saya akan membaca lagi buku-buku seru skandal korupsi.  Tapi di masa itu, bukan hanya buku lagi yang saya harapkan, namun juga perubahan mendasar atas sistem pemberantasan korupsi.  Undang Undang nomor 30 tahun 2002 akhirnya lahir sebagai buah kejengahan publik atas perilaku koruptor.

Bertahun sebelum itu, tepatnya tahun 1996, kasus Eddy Tansil menyeruak.  Dia dihukum penjara 20 tahun lantaran menggelapkan uang negara.  Namun, Eddy berhasil kabur dari tahanan dan sialnya banyak orang terlibat membantu melepaskan Eddy sampai ke luar negeri. Kasus ini seperti sekali lagi menampar saya.

Berkali-kali akhirnya tamparan demi tamparan membuat saya bebal. Mungkin itu pula yang dirasakan banyak orang di luar sana. Mereka ditampar oleh perilaku yang buruk dan culas. Bahkan mungkin pula sebagian sudah kebal, sekebal para koruptor.

Pak Kepsek adalah kisah nyata. Namun, perilaku korupsi lebih nyata lagi. Saya tak dapat membayangkan bagaimana VOC – Kongsi dagang Belanda di abad 17 sampai 18 – membungkam anak negeri dan membiarkan para pejabat lokal menghisap rakyatnya sendiri?  Para pejabat selevel regent, wedana, patih dan ambtenaar dibiarkan menumpuk kekayaan pribadi? Mereka hidup senang berkelimpahan, sementara rakyatnya dibiarkan hidup menderita.

Setelah hampir dua abad berlalu, kisah-kisah itu masih saja terasa membebani.  Kendatipun saya pernah mendengar tahun 2012, seorang pejabat partai politik menyerukan agar koruptor digantung di Monas.  Tapi hingga saat ini, kasus demi kasus korupsi terus-terusan menciderai nurani saya.

Dewasa ini, saya jarang sekali mendengar atau membaca cerita tentang pejabat negara yang mati-matian menjaga marwahnya sebagai pejabat, menjauhkan keluarganya dari fasilitas umum.  Kisah Umar Bin Khattab 14 abad yang lalu, mendengung di telinga saya, telinga yang dulu pernah terkena tamparan Pak Kepsek.

Dikisahkan, Umar Bin Khattab mendapati rambut anaknya tampak indah karena diolesi minyak.  Selidik punya selidik, ternyata minyak itu diambil anaknya dari Baitul Mal (tempat pengumpulan zakat), dari sisa-sisa yang masih menempel di bejana.  Umar Bin Khattab marah, kendatipun minyak itu adalah sisa yang tidak digunakan.  Anaknya diperingatkan untuk tidak menggunakan jabatan ayahnya untuk berlaku sekehendak hati.

Tak sadar tangan saya menjamah telinga kiri ini.  Telinga yang dulu pernah berasa kebas dan panas.  Saya masih merasa beruntung telinga itu tidak tuli, masih bisa mendengar ucapan selamat dari Pak Kepsek ketika saya lulus dari SD.  Saya sudah memaafkan beliau, apapun yang terjadi.

Medan, 13 Agustus 2025.

Baca Juga

SMAN 7 Padang Raih Penghargaan Adiwiyata Nasional
SMAN 7 Padang Raih Penghargaan Adiwiyata Nasional
Pemkab Solsel Targetkan Beri Seragam Gratis untuk Semua Tingkatan Sekolah
Pemkab Solsel Targetkan Beri Seragam Gratis untuk Semua Tingkatan Sekolah
Pemerintah membuka pendaftaran sekolah kedinasan tahun 2024 di delapan kementerian/lembaga. Ada total 3.445 formasi yang dibuka
8 Instansi Buka Seleksi Sekolah Kedinasan 2024, Tersedia 3.445 Formasi
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Padang masih membuka Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk SMP negeri.
Ini 4 Jalur Masuk PPDB SD dan SMP Negeri di Padang 2024
Daulat Insitute Sukses Laksanakan Program Kampanye Sekolah Sehat di Kabupaten Kepulauan Mentawai
Daulat Insitute Sukses Laksanakan Program Kampanye Sekolah Sehat di Kabupaten Kepulauan Mentawai
TK Barunawati Teluk Bayur Padang Ajak Murid Mencintai Batik
TK Barunawati Teluk Bayur Padang Ajak Murid Mencintai Batik