Oleh: Raudatul Jannah
Taman safari merupakan salah satu tempat hiburan yang populer dan biasa dinikmati masyarakat Indonesia. Walaupun taman safari adalah taman hiburan satwa, namun di dalamnya juga menyediakan fasilitas dan hiburan lainnya, seperti kolam renang, wahana komedi putar, kincir angin, dan berbagai pertunjukan atraksi dan seni yang memukau. Salah satu pertunjukan yang disediakan yaitu sirkus. Sirkus menyuguhkan berbagai atraksi akrobat yang membuat penontonnya terpukau dan tertawa. Namun, di balik tawa para penonton, ternyata ada luka dan rasa sakit yang diderita oleh para pemain sirkus tersebut.
Baru-baru ini, Indonesia di hebohkan oleh pemberitaan dugaan eksploitasi dan kekerasan yang dialami oleh pemain sirkus yang tergabung dalam Oriental Circus Indonesia di salah satu tempat hiburan di Indonesia, yaitu Taman Safari Indonesia. Hal ini terkuak karena para mantan pemain sirkus melaporkan penderitaan yang mereka alami ke Komnas HAM. Mereka mengaku, bahwa mereka sudah dieksploitasi sedari kecil dan sering mendapat kekerasan dan penganiayaan saat masih menjadi anggota dari kelompok sirkus tersebut.
Berbagai bentuk kekerasan dan penderitaan yang mereka adukan berupa dipukul, disetrum, ditendang, dipaksa memakan kotoran hewan, tidak diberi upah, dipisahkan dengan anak, dipaksa bekerja dalam tekanan, dan berbagai tindakan tidak masusiawi lainnya. Para pelapor mengaku tindakan eksploitasi dan kekerasan ini sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Jika aduan ini terbukti benar adanya, hal ini tentu saja melanggar hukum dan hak asasi mereka sebagai manusia.
Dilansir dari DetikNews (22 April 2025), sebenarnya para mantan pemain sirkus ini telah melapor tiga kali kepada Komnas HAM. Laporan yang pertama sudah dibuat berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1997. Laporan kedua pada tahun 2004. Dan laporan ketiga pada akhir tahun 2024 lalu. Pada saat laporan pertama, Komnas HAM mengakui adanya tindak pidana pelanggaran yang dilakukan oleh Oriental Circus Indonesia (OCI). Adapun bentuk pelanggaran yang diakui pada saat itu berupa pelanggaran atas hak anak untuk mengetahui identitas dan keluarga mereka, hak anak untuk tidak dieksploitasi, hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, serta hak untuk mendapatkan hak perlindungan keamanan yang layak (Tempo, 19 April 2025).
Menurut informasi dari Bisnis.com (18 April 2025) pihak Taman Safari menyangkal tuduhan yang dilayangkan dan menyatakan bahwa Taman Safari dengan Oriental Circus Indonesia merupakan dua badan yang berbeda. Mereka juga menyatakan tidak memiliki hubungan dengan para pelapor yang merupakan mantan pemain sirkus OCI. Namun, mereka memang mengakui adanya pemukulan sebagai bentuk pendispilinan para pekerja selama latihan (Kompas, 18 April 2025). Meski demikian, OCI dan taman safari telah menuai kecaman dari publik. Publik bahkan telah menyerukan untuk melakukan aksi boikot terhadap Taman Safari melalui berbagai platform di media sosial.
Mengutip dari Tempo (15 April 2025), para pelapor juga telah melapor pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Kementerian HAM. Wakil Menteri HAM mengaku akan bekerjasama dengan Komnas HAM dan Kementerian PPPA dalam penyelesaian masalah ini. Sementara itu, berdasarkan data dari Metrotvnews.com (17 April 2025) pihak kepolisian mengaku belum menerima aduan dari para mantan pemain sirkus terkait masalah ini, namun mereka menyatakan siap untuk mengusut kasus ini jika menerima laporan. Adapun pada tanggal 21 April 2025, DPR telah memanggil pihak OCI, para mantan pemain sirkus, dan berbagai pihak lainnya untuk dimintai keterangan terkait masalah yang meresahkan publik ini (detikNews, 21 April 2025).
Kasus dugaan eksploitasi dan kekerasan ini dapat ditinjau dari perspektif hukum, yaitu hukum ketenagakerjaan, Hak Asasi Manusia, serta perlindungan perempuan dan anak. Dasar hukumnya yaitu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur tentang hubungan ketenagakerjaan, pelatihan kerja, perlindungan terhadap tenaga kerja, hingga aturan perusahaan. Dalam UU ini dijelaskan masing-masing hak dan kewajiban dari para pengusaha dengan para pekerja. Adapun hak dari para pekerja yang disebut diantaranya yaitu hak untuk mendapatkan upah dan hak untuk mendapatkan jaminan sosial dan kesehatan. Konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh Indonesia juga mengatur terkait hak pekerja. Salah satunya mengenai penghapusan kerja paksa.
Sementara itu, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap individu untuk hidup, hak atas pendidikan, hak atas keadilan, hingga hak atas keamanan. Mengingat para pelapor yang kebanyakan adalah perempuan, ini juga dapat ditinjau dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang mengatur terkait pemberdayaan perempuan dan hak-hak mereka. Adapun Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengatur terkait hak anak, perlindungan anak, dan peran masyarakat dalam melindungi anak. Jika seluruh tuduhan yang dilayangkan oleh pelapor terbukti, maka tindakan tersebut adalah bentuk pelanggaran berat terhadap hukum negara dan konvensi internasional yang telah diterangkan sebelumnya.
Dari kasus dugaan eksploitasi ini, terlihat jelas kurangnya perlindungan bagi para pekerja. Menjadi seorang pemain sirkus yang merupakan pekerjaan di sektor informal memang rawan untuk mendapat ketidakadilan. Pekerjaan mereka yang bertujuan untuk menghibur penonton selama ini ternyata memiliki sisi kelam. Senyum yang mereka tunjukkan selama penampilan ternyata menyimpan banyak luka dan rasa sakit. Untuk mencegah hal seperti ini terjadi, sangat diperlukan pengawasan ketat oleh pemerintah terhadap ketenagakerjaan terutama di sektor informal. Diperlukan kebijakan atau regulasi yang lebih tegas terkait peraturan ketenagakerjaan, perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, serta perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Ketegasan dari aparat penegak hukum juga sangat diperlukan di sini. Aparat penegak hukum yang lemah hanya akan membuat para pengusaha merasa kebal hukum lalu mengabaikan atau menganggap sepele aturan yang sudah ada. Penegak hukum harus lebih tegas dalam melakukan penyelidikan, mengadili sebuah perkara, dan memberikan sanksi jika memang terbukti bersalah agar memberikan efek jera pada pelaku sehingga meminimalisir kejadian yang serupa di kemudian hari.
Tidak hanya pemerintah dan aparat penegak hukum saja, masyarakat juga harus turut andil dalam memberikan pengawasan. Masyarakat harus lebih peduli lagi terhadap nasib para pekerja seperti pemain sirkus. Masyarakat tidak boleh menutup mata atas kasus yang melibatkan HAM dan hak para pekerja. Dengan pengawasan dan kepedulian lebih dari pemerintah dan masyarakat, serta transparansi dari pihak-pihak terkait, diharapkan kasus dugaan yang melibatkan HAM seperti ini dapat memperoleh keadilannya dan kasus yang serupa tidak terulang kembali. (*)
Raudatul Jannah, mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas