Langgam.id - Pengadilan Tata Usaha (PTUN) Jakarta memutuskan gugatan (keberatan) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) - Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Padang dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak dapat diterima, 18 Februari 2025.
Alasannya, gugatan keberatan tidak memenuhi aspek formal pengajuan yang telah melewati tenggang waktu 14 hari kerja setelah putusan KIP diterima pada 19 Oktober 2024.
Sistem e-court pada PTUN Jakarta mencatat bahwa gugatan masuk pada 8 November 2024, padahal, pengajuan gugatan telah dilakukan LBH Padang sejak 7 November 2024. LBH Padang menduga ada kesalahan pada sistem e-court.
Kuasa Hukum LBH, Alfi Syukri mengatakan, gugatan keberatan Nomor : 437/G/KI/2024/PTUN.JKT diajukan oleh LBH Padang atas putusan Komisi Informasi Publik Pusat (KIP) Nomor 102/VIII/KIP-PSI-A/2023 yang memutuskan bahwa informasi tentang kemajuan pelaksanaan sanksi administratif Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin, khususnya pemulihan kontaminasi abu batubara, bersifat tertutup untuk publik (7/11/2024).
"LBH Padang melakukan gugatan karena urgensi keterbukaan informasi publik mengenai pelaksanaan sanksi administratif, khususnya pemulihan kontaminasi abu batu bara dan emisi udara, yang dikenakan pada PLTU Ombilin pada 28 Agustus 2018," ujar Alfi dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (20/2/2025).
Ia menyebutkan bahwa informasi dan data pelaksanaan sanksi diharapkan dapat menyingkap fakta mengenai keadaan lingkungan, kontaminasi abu batu bara dan kemajuan pemulihannya.
Enam tahun pasca diberikan sanksi pada tahun 2018, organisasi masyarakat lokal seperti LBH Padang terus melakukan pemantauan pelaksanaan sanksi dan menemukan bahwa masyarakat sekitar masih merasakan dampak buruk PLTU Ombilin.
"Dari catatan pemantauan LBH Padang diduga telah terjadi pelanggaran yang berulang, namun hasil pemantauan tersebut mendapat penolakan oleh KLHK dengan alasan data pemantauan tersebut tidak sesuai dengan standar KLHK," bebernya.
Hal ini, kata Alfi, menjadi alasan pengajuan gugatan KIP oleh LBH Padang. Yaitu untuk memperoleh data langsung dari KLHK. Jika tidak, fungsi pemantauan dan keikutsertaan publik dan dorongan penegakkan hukum oleh LBH Padang menjadi hilang.
Selain itu, dalam proses di KIP terdapat perbedaan pendapat Majelis (dissenting opinion) yang menyatakan bahwa dalil pengecualian informasi KLHK tidak dapat dibuktikan.
"Gugatan yang didaftarkan pada PTUN Jakarta 7 November 2024 semestinya dapat mengungkap beberapa dugaan ketidaktaatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin yang tidak ditindak oleh KLHK dan menjelaskan situasi lingkungan yang berdampak pada masyarakat agar dapat diantisipasi risikonya. Namun akhirnya gugatan ditolak dengan alasan lewat jangka waktu pengajuan," tuturnya.
Menurut Alfi, majelis hakim telah keliru mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan yang sebenarnya. Ia menyayangkan penolakan yang masih seputar aspek formal.
“Gugatan keberatan yang kami ajukan sudah sesuai dengan aturan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Tahun 2011 yaitu tanggal 7 November 2024 atau hari ke-14 hari kerja sejak putusan diterima 19 Oktober 2024," ujarnya.
"Pada hari tersebut semua berkas telah kami upload dan telah membayar biaya perkara pada pukul 13.47 WIB melalui sistem pendaftaran elektronik. Namun dalam sistem pencatatan Panitera PTUN Jakarta teregister keesok harinya (8 November 2024). Tentunya pertimbangan ini keliru karena hakim tidak mengetahui gugatan telah didaftarkan sesuai dengan waktunya,” sambung Alfi.
Ia mengatakan bahwa tangkapan layar e-court pendaftaran gugatan menunjukkan tanggal pendaftaran pada 7 November. Selama sidang berlangsung jangka waktu mengajukan gugatan tidak pernah disoroti oleh Majelis hakim maupun KLHK (tergugat), padahal ini syarat formil untuk sampai pada substansi persidangan.
"Bagaimana mungkin kesalahan sistem e-court yang ada di PTUN Jakarta tapi kami pula yang menanggungnya? Akibatnya kepentingan publik untuk tahu terkait kontaminasi yang dilakukan PLTU Ombilin semakin gelap,“ ucap Alfi.
Ahli keterbukaan informasi yang hadir dalam sidang, Charles Simabura mengatakan, bahwa dasarnya prinsip informasi dan data bersifat terbuka dan pengecualiannya membutuhkan uji kepentingan publik dengan alasan yang kuat.
Ia juga menegaskan bahwa sifat informasi seharusnya terbuka ketika badan publik mengelola uang negara dan tidak terjadi monopoli.
“Usaha yang mau dikecualikan bisa menjadi monopoli. Prinsip terbuka suatu keputusan harus jelas. bagi saya persaingan sehat dilakukan secara terbuka. Kecuali ini ada suatu nilai akan mengancam kesehatan, tapi tentu ini ada kajiannya misalnya limbah ini beresiko tinggi sehingga tidak bisa dikelola masyarakat," sebutnya.
"Tapi informasi mengolah limbah dan tempatnya tentu diketahui publik. Misal di sini tempat pengelolaan limbah. Jadi masyarakat bisa tahu bahwa limbah-limbah ini beresiko mencemari lingkungan,” tambah Charles.
Lakukan Upaya Hukum Lebih Lanjut
Putusan majelis hakim yang tidak menerima gugatan akan ditindaklanjuti oleh kuasa hukum LBH Padang dengan melakukan upaya hukum lebih lanjut yaitu kasasi ke Mahkamah Agung sesuai dengan Perma Nomor 2 tahun 2011.
“Syarat formil sudah terpenuhi, kami akan melampirkan bukti pendaftaran gugatan pada tanggal 7 November 2024. Secara keseluruhan, formil maupun materil, kami yakin sudah terpenuhi karena tidak ada alasan informasi tertutup karena ahli sudah menjelaskan dan kita sudah membuktikan bahwa pembukaan informasi tidak akan mengganggu penegakkan HAM," ujarnya.
"Malahan sebaliknya penegakkan hukum akan terbantu ketika informasinya terbuka dan masyarakat bisa mengambil sikap atas situasi yang terjadi sebenarnya,” sambung Alfi.
Juru kampanye energi fosil Trend Asia, Novita Indri menyayangkan putusan tersebut. Menurutnya, ini bukan kali pertama PTUN Jakarta mencari-cari alasan formal untuk menolak gugatan yang bersangkutan informasi publik.
Sebelumnya, legal standing dijadikan untuk tidak menerima melakukan pembekuan atau pencabutan izin lingkungan PLTU Ombilin. Padahal, informasi seperti ini krusial untuk dibuka kepada publik karena dampak kesehatan dan lingkungannya menyangkut hajat hidup masyarakat luas.
"Dampak lingkungan dan pencemaran sudah terbukti, sanksi pun sudah dijatuhkan, tapi masyarakat masih belum mendapatkan informasi yang mencukupi mengenai proses pelaksanaan sanksi tersebut. Bahkan lebih jauh lagi, idealnya ada pelibatan bermakna bagi masyarakat terdampak dalam insiden-insiden semacam ini, ” kata Novita. (*/yki)