Kelaziman Baru dengan Barang Lama

Kelaziman Baru dengan Barang Lama

Dr. Abdullah Khusairi, MA, Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol. (Dok AK)

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah layak dihentikan. Selain tidak efektif, juga telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan, ekonomi, sosial, budaya dan agama. Menipisnya uang di rekening telah membuat sebagian yang lain menjadi cemas. Hampir sebulan penuh puasa tidak tarawih di masjid bagi sebagian orang adalah guncangan teologis. Tidak bersilaturrahmi dengan keluarga dan kolega secara langsung bagi sebagian orang mengalami guncangan batin.

PSBB juga menimbulkan beberapa masalah di cek poin, hingga ke meja hukum. Pelayanan publik kita memang sedang dalam masalah akut. Hanya sedikit perbaikan baik dari segi model, pola dan sarana. Pelayanan publik yang buruk tidak hanya di cek poin itu, kerap ditemukan di front office pemerintahan. Hal yang kontras dengan pelayanan di sektor swasta.

New Normal Life

Munculnya tagar #IndonesiaTerserah membuktikan kelelahan luar biasa sejak tiga bulan terakhir. Anjuran #DirumahAja dan #WorkforHome hampir tiada berujung. Selain karena PSBB tidak berjalan efektif, juga pemerintah mulai cemas dengan keadaan ekonomi. Jika PSBB dilanjutkan, bisa lebih parah pukulan terhadap sektor bangsa ini. Ada usulan agar PSBB dicabut dan memulai hidup normal baru (New Normal Life). Kehidupan dibolehkan seperti biasa tetapi dengan prosedur dan protokol kesehatan yang ketat bisa jadi akan segera terbiasa.

Jika itu dimulai, maka kehidupan kita akan lebih baik apalagi dengan optimisme. Kita tak lagi bersalaman, selalu pakai masker, selalu cuci tangan, selalu berjarak dengan lawan bicara. Ini baik dalam memutuskan mata rantai Covid-19. Wabah ini akan tetap ada tetapi tidak akan mengalami ledakan korban jika semua mematuhi kehidupan normal baru ini. Alangkah bahagianya mereka yang sudah lama memakai masker dan memakai cadar.

Saya termasuk yang mendukung PSBB tak perlu ada, dicabut saja. Tak perlu setengah hati, dengan istilah melonggarkan PSBB. Sebaliknya, memperketat PSBB juga tidak akan menyudahi persoalan, justru menambah lumpuhnya ekonomi bangsa ini. Pada titik inilah, kebersetujuan terhadap pencabutan PSBB itu menjadi layak didukung bersama.

Tak perlu cemas dengan Covid-19, jika pengetahuan tentang wabah ini dikuasai secara detail. Sama halnya ketakutan di awal ketika tidak tahu tentang bencana gempa dan tsunami. Bila pengetahuan tentang itu telah baik maka keberanian, optimisme, akan tumbuh. Adapun dari perspektif kesehatan, dengan menjalankan PSBB diakui akan memutuskan mata rantai wabah namun begitu banyak perspektif lain yang mesti mengimbanginya. Termasuk perspektif teologis bila ada wabah tiba di sebuah daerah.

Barang Lama

Kehidupan dengan kelaziman baru sebenarnya barang lama. Hidup bersih, sesuai dengan standar kesehatan, juga bersuci sesuai perintah agama. Selalu berwudhu, itu baik. Hanya karena alasan-alasan tertentu orang bisa berdekatan, selebihnya tak dibenarkan oleh agama, karena bukan muhrim. Begitu juga dengan makan dan minum. Dunia kesehatan menganjurkan agar makan dan minum yang memiliki nilai cukup gizi dan bersih (higienis). Sedangkan agama memerintahkan untuk makan dan minum yang bersih, bergizi dan halal.

Barang lama inilah yang mungkin saja terabaikan. Bila memulai kelaziman hidup baru berjalan baik, sejatinya telah melaksanakan anjuran ilmu kesehatan dan ilmu agama. Kalau sudah begitu, mestinya pemerintah meyakinkan masyarakat bahwa Covid-19 mudah menular dan perlu kehati-hatian. Peringatan itu mesti sampai ke telinga dan mata publik dengan penyampaian yang masif melalui teknologi informasi. Menata kembali cara berkomunikasi yang efektif dan praktis. Tidak mengabarkan dengan ketakutan dan ancaman, yang dengan itu biasanya publik melawan. Pemerintah akan berhadap-hadapan dengan publik bukan dengan Covid-19.

Kerja menghadapi wabah dengan segala kendala hendaknya tetap mengedepankan kepentingan umum, kepentingan agama, bukan semata kepentingan pemerintah. Jika hanya mengedepankan kepentingan pemerintah, orientasinya berubah menjadi project yang tidak hendak menyelesaikan segera tetapi membiarkan terus menerus agar projectnya ada terus. Mental ini ada di sebagian orang-orang yang mendapatkan keuntungan dari kehadiran wabah Covid-19. Ini jelas mental yang buruk bagi masa depan bangsa-negara ini.

Kita bersetuju dan itu harus, dengan pendapat melepaskan PSBB dengan memulai hidup normal baru sesegera mungkin. PSBB pada dasarnya sudah efektif dalam skala tertentu, buktinya ekonomi lumpuh dibuatnya. Walau dari segi penyebaran wabah, PSBB senyatanya gagal sebab tidak disertai dengan disiplin protokol kesehatan menghadapi Covid-19. Kini waktunya tanpa PSBB tetapi menggalakkan setiap lini dengan protokol kesehatan normal baru tersebut. Mari yakinkan diri, semua ini akan berlalu dengan usaha dan doa tiada henti. Wallahua'lambishshawab![]


Dr. Abdullah Khusairi, mengajar di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang 

Tag:

Baca Juga

awasi posko covid-19, varian baru, salat id, satgas zona merah
Satgas Penanganan Covid-19: Pembatasan Skala Mikro Terbukti Tekan Penyebaran Covid-19
BIM Buka Penerbangan Penumpang
PSBB DKI Jakarta Berdampak Penurunan Penumpang di BIM
Ketua KPU Sumbar Lapor Polisi
ASN Pemko Padang yang Sebar Identitas Ketua KPU Sumbar Ditetapkan Jadi Tersangka
Padang Tak PSBB Lagi | Wisatawan China
Wakil Wali Kota Padang Tak Ingin Ada PSBB Lagi
PSBB di Sumbar
Ditanya Soal PSBB, Gubernur Sumbar: Patuhi Saja Protokol Kesehatan
Strategi Atasi Covid-19 Sumbar, Sumbar PSBB Lagi | Epidemiolog Universitas Andalas (Unand) Defriman Djafri. (Foto: Istimewa), rapor merah covid-19
Positif Corona di Sumbar Melonjak, Epidemiolog Unand Sarankan PSBB Lagi