Langgam.id - Kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin hari semakin berkembang. Tak hanya di kota besar, kasus serupa juga terjadi di pelosok desa. Bahkan, pelakunya sendiri merupakan keluarga kandung dari korban.
Kali ini, pelaku kekersan seksual terhadap para santriwati di salah satu Pondok Pesantren (Ponpes) di Jawa Barat menjadi sorotan. Pelaku (Hery Wirawan) terancam hukuman mati atau kebiri.
Bahkan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menilai apa yang dilakukan Hery merupakan kejahatan yang sangat serius.
Atas hukuman yang akan ditimpakan ke Hery Wirawan menjadi perbincangan publik. Sebagian menilai, hukuman mati atau kebiri terhadap Hery sudah sepantasnya, karena dinilai akan memberikan efek jera, agar kasus yang sama tak terulang lagi.
Menanggapi hal itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Indira Suryani mengatakan, hukuman mati bukanlah solusi untuk terciptanya ruang aman dari pelaku.
Bahkan, kata Indira, di kovenan hak sipil politik yang sudah dirativikasi Indonesia melarang hukum mati.
"Indonesia memang sudah merativikasi kovenan hak sipil politik. Namun, Indonesia masih menerapkan hukuman mati sebagai hukuman tertinggi. Nah, dalam kasus ini, perlu kita urai kembali, apa penyebab kekersaan seksual itu terjadi," ujar Indira kepada Langgam.id, Rabu (12/1/2022).
Di Indonesia, lanjut Indira, penyelesain kasus kekerasan seksual selalu kasus per kasus. Namun, Indira menilai, kekerasan seksual di Indonesia bukan soal pelaku sebagai faktor tunggal, tapi juga masalah struktural.
Seharunya, ucap Indira, hal seperti itulah yang harus dibongkor oleh pemerintah.
"Kitakan selalu melihat seolah-olah penentu terjadinya kekerasan seksual adalah pelaku, teori yang ada, orang melakukan kekerasan seksual banyak hal yang mendasari, salah satunya situasi sosial yang objektivikasi dan mengekspolitasi tubuh perempuan. Hal itu terjadi di kegiatan sehari-hari, contoh saja di iklan-iklan yang masih memamerkan tubuh perempuan dalam jualannya," ungkap Indira.
Lalu, perilaku merendahkan perempuan juga menjadi salah satu faktor utama terjadinya kasus kekerasan seksual. Tidak hanya itu, Indira menyebutkan, juga ada faktor kultural dan skruktural yang tidak ramah terhadap perempuan.
"Jadi, tidak akan selesai dengan membunuh satu orang pelaku kekerasan seksual, tapi harus merekayasa sistem agar penghormatan dan perlindungan terhadap perempuan benar-benar diipmlemtasikan dalam kehidupan kita," jelasnya.
Saat ini, kata Indira, masih banyak masyarakat berpikir bahwa penyebab terjadinya kekerasan seksual adalah pakaian dan perilaku, padahal tidak hanya itu.
"Apakah ada larangan bagi seseorang untuk tidak boleh melanggar otoritas seseorang , tidak kan? Sepertinya negara tidak sampai ke tahap itu. Bagi saya, ketika satu orang penjahat seksual terbunuh, akan masih banyak pelaku lain yang akan tumbuh di Indonesia ini," ungkapnya.
Jadi, Indira meminta, jangan selalu menyalahkan pelaku kekerasan seksual, karena ada sistem sosial neraga yang secara lalai atau tidak segaja membiarakan orang-orang yang awalnya bukan pelaku, tapi karena lingkungan meng-amini tindakan merendahkan perempuan, maka mereka akan bertransformasi menjadi pelaku kekerasan seksual.
"Bagi saya, ruang aman sosial itu menjadi satu hal untuk memastikan Indonesia bebas dari kekerasan seksual, bukan hanya 'mematikan' satu orang pelaku kekerasan seksual," katanya.
Kekerasan Seksual Itu Tak Hanya Soal Kelamin
Indira menegaskan, secara pribadi, ia tidak suka terhadap hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual.
Karena, kata Indira, dari beberapa fakta temuan LBH Padang, kekerasan seksual tidak hanya dilakukan dengan kelamin, tapi dapat dilakukan dengan banyak alat.
"Ketika yang dikontrol hanya alat kelamin saja tetapi pikiranya tidak, itu percuma. Jadi, kami selalu mendorong negara untuk cepat mengesahkan Undang-undang Pencegahan Kekerasan Seksual yang sekarang menjadi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)," paparnya.
Undang-undang TPKS, lanjut Indira, memiliki dua poin utama. Pertama, merehabiltasi korban, memulihkan korban dan negara melindungginya.
Kedua, RUU TPKS memaksimalkan pencegahan kekerasan seksual dan juga mengherablitasi pelaku agar tidak melakukan kekerasan lagi.
"Bagi saya tidak akan cukup berdampak jika hanya membunuh satu pelaku kekerasan seksual. Kalau Indonesia tidak melakukan pencegahan di ruang-ruang sosial, saya yakin dan percaya, akan banyak hadir pelaku-pelaku baru di masa depan," ucapnya.
Jadi, tegas Indira, hukuman mati tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku. Mungkin, bagi korban dan orang tua korban mendapatkan kepuasan yang luar biasa setelah pelaku dituntut mati.
Baca juga: Pemko Padang Putuskan Adik-Kakak Korban Pemerkosaan Tak Dikembalikan pada Keluarga
"Saya yakin, korban mendapatkan kepuasan yang luar biasa, tapi upaya itu tidak cukup memberikan efek kepada pelaku lainya," katanya. (FH)