Publik dihebohkan atas tragedi kematian Afif Maulana yang diduga dibunuh oleh oknum-oknum polisi. Sampai saat ini, LBH Padang melakukan investigasi penyebab kematian Afif yang mana jazad ditemukan di Sungai Batang Kuranji, Padang.
Korban diduga mengalami penyiksaan dengan dicambuk, disetrum, dan mendapatkan sundutan rokok. Bahkan keterangan lain yang didapatkan, adanya tindak kekerasan seksual berupa memaksa ciuman sejenis. Setelahnya mereka dipaksa membuat perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan yang dituduhkan.
Periode Juni 2023 - Mei 2024, KontraS mencatat 60 peristiwa penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang terjadi di Indonesia.
Polisi menjadi aktor dominan dalam berbagai peristiwa penyiksaan sebanyak 40 peristiwa. Kemudian TNI sebanyak 14 peristiwa, dan Sipir atau Petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan 6 peristiwa.
Dari 60 peristiwa terjadi setidaknya 92 korban tindak penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia sepanjang periode ini.
Masifnya tindak penyiksaan yang justru dilakukan di ruang-ruang publik menunjukkan adanya kegagalan sistematis dalam upaya penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia. Hal itu tercermin dari lemahnya pengawasan terhadap aparat negara serta kultur kekerasan yang telah mendarah daging dalam aparat keamanan.
Anak yang menjadi korban meninggal dunia atas tindak kekerasan kepolisian jika berkaca pada undang undang terbukti sebagai pelaku tindak pidana.
Penyiksaan terhadap anak tidak dibenarkan karena secara eksplisit UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk anak yang menjadi tersangka tindak pidana berhak untuk bebas dari tindak penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.
Hukum penyiksaan anak
Penegakan hukum pidana terhadap penyiksaan anak menunjukkan watak penegakan hukum masih mengedepankan kekerasan dan abai terhadap HAM, dalam konteks ini anak-anaklah yang menjadi korbannya.
Harusnya negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM, termasuk dengan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku penyiksaan.
UUD 1945 yang merupakan landasan, Pasal 28I, menegaskan bahwa hak untuk tidak disiksa adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).
Di sisi lain jika terjadi pelanggaran, para pelaku tidak diusut secara serius oleh badan peradilan yang imparsial dan independen, sehingga penegakan hukum tidak maksimal.
Hal ini menyebabkan rantai penyiksaan tidak terputus dan terus berulang, menandakan belum adanya komitmen serius untuk dapat memastikan pemulihan secara efektif kepada korban.
Kasus-kasus penyiksaan yang terjadi kerap melewati tantangan berat ketika dihadapkan pada proses pengungkapan kebenaran. Salah satu tantangan tersebut yaitu penyelesaian berlarut yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Polri semestinya mampu bertindak cepat dan tepat ketika melakukan pengungkapan kasus penyiksaan demi terciptanya keadilan bagi korban. Hal ini dapat dilihat dalam mandat UU 2/2002 sebagaimana disebutkan dalam penjelasan.
Pasal 2 sejatinya fungsi kepolisian wajib dijalankan dengan turut memperhatikan penegakan HAM, Hukum dan Keadilan. Sejalan dengan itu, Pasal 13 UN CAT menyebut bahwa instansi berwenang terhadap kasus penyiksaan maka harus sesegera mungkin diperiksa.
Sebelumnya terdapat aturan teknis di lingkungan internal Polri yang mengatur mengenai batasan waktu penyelesaian perkara tindak pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 Peraturan Kepala Polri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan KAPOLRI.
Kasus-kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia kerap melewati tantangan berat ketika dihadapkan pada proses pengungkapan kebenaran. Salah satu tantangan tersebut yaitu penyelesaian berlarut (undue delay) yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Berbicara pada tindakan undue delay merupakan persoalan serius dalam pengentasan kasus penyiksaan. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip hak atas keadilan bagi korban. Jika kemudian polisi berlarut larut menggantung proses hukum pelaku penyiksaan, artinya polisi telah menunda keadilan bagi korban.
Kepolisian sebagai institusi aparat penegak hukum memiliki wewenang dalam mengungkap suatu tindak kejahatan. Institusi ini juga menjadi garda terdepan menjalankan fungsi penegakan hukum yang terintegrasi dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system).
Dalam UUD ditegaskan bahwa Kepolisian bertanggung jawab untuk menegakan hukum, melindungi serta mengayomi masyarakat. Pengaturan selanjutnya, dalam UndangUndang Nomor 2 tahun 2002 tentang KAPOLRI (UU 2/2002) pengejawantahan perintah konstitusional tentang ‘penegakan hukum’ disebut dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g jo.
Pasal 15 ayat (1) huruf a yang intinya Kepolisian bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan yang didahului melalui wewenang menerima laporan dan/atau pengaduan. Guna memperlancar penyelenggaraan penegakan hukum.
Apabila penyiksaan dilakukan oleh Institusi Kepolisian. Seakan-akan pihaknya berusaha menutupi tindak penyiksaan dengan bertindak pasif. Padahal pada instrumen hukum nasional, polisi diberi mandat oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan untuk menegakan hukum tak terkecuali kasus-kasus penyiksaan.
Hal ini juga menunjukan bagaimana kegagalan polisi melaksanakan kewajiban Pasal 12 dan 13 UN CAT yang menjadi pijakan negara dalam menjamin proses hukum terhadap pelaku penyiksaan hingga tuntas.
Impunitas muncul karena kegagalan aparat penegak hukum untuk serius dalam memenuhi kewajibannya pada upaya penyelidikan terhadap pelanggaran HAM, pengambilan langkah hukum bagi para pelaku, pemulihan yang efektif untuk para korban, dan pencegahan agar kasus serupa tidak terulang.
Aparat Negara acapkali mempersiapkan motif untuk mendapatkan pengakuan. Hal-hal yang meringankan seharusnya tidak diperhitungkan ketika hakim menjatuhkan vonis. Apabila hal yang meringankan diperhitungkan, seakan-akan tindak penyiksaan yang dilakukan tidaklah serius.
Padahal penyiksaan merupakan pelanggaran berat terhadap HAM yang menyebabkan penderitaan fisik, psikologis, bahkan nyawa bagi korban. Konsep penegakan hukum adalah indikator yang menjamin suatu aturan yang objektif, sehingga keadilan dapat diterima secara Pure Procedural Justice.
Artinya, keadilan harus berproses sekaligus terefleksi melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula guna memanusiakan manusia sebagaimana teori keadilan.
Kepentingan politik seringkali menjadi hambatan dalam upaya pengungkapan pelanggaran hingga merintangi proses pengadilan terhadap pelaku yang bertanggung jawab.
Seperti adanya semangat untuk menjaga nama baik, bersikap manipulatif, mengubah fakta peristiwa yang terjadi kemudian seolah-olah terlihat sulit untuk menjawab suatu tantangan dalam hal penyelesaian.
*Penulis: Fiqri Hidayat (Presiden BEM NM Fakultas Hukum Universitas Andalas 2023/2024, GMNI Universitas Andalas)