Halaban, Penyambung Nafas Republik yang Terlupakan

M. FAJAR RILLAH VESKY

M Fajar Rillah Vesky

Langgam.id- Saat nafas Republik Indonesia hampir putus, Nagari Halaban di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat, menjadi penyambungnya. Di sudut nagari tersebut, di kawasan perkebunan Tadah, di dangau milik petani bernama Yaya, pada 22 Desember 1948 pahlawan nasional kita, Mr. Syafrudin Prawiranegara mendeklarasikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Waktu itu, Yogyakarta yang menjadi ibu republk, baru tiga hari dibombardir Belanda. Tidak hanya menyerang Jogya nan istimewa, Belanda yang belum mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,  menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Usai ditangkap, dwitunggal itu dibuang ke Brastagi dan Pulau Bangka. 

Sebelum ditawan Belanda, Soekarno-Hatta seperti ditulis Indonesianis, Audrey Kahin, melalui buku “Perjuangan Sumatera Barat Dalam Revolusi Nasional Indonesia 1945-1950” terjemahan Profesor Dr Mestika Zed dkk, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Syafrudin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera. Tepatnya lagi di Bukittinggi “Kota Perjuangan”.

Dalam mandatnya, Soekarno-Hatta meminta Syafrudin membentuk pemerintahan darurat di Sumatera: pulau yang kini sedang susah karena bencana. Jika mandat itu tak terlaksana, maka kepada Soedarsono, Palar, dan Mr Maramis, diminta membentuk Exile Government di India.

Meski mandat tak pernah sampai ke tangannya, Syafrudin tetap membentuk PDRI. Tiga hari setelah Bukittinggi, turut dibombardir Belanda.

Mantan Ketua PWI Sumbar Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie, yang pernah mewawancarai Bung Hatta meyakini, Syafrudin berani membentuk kabinet PDRI, karena sudah dapat sinyal dari Bung Hatta, terkait kondisi yang akan menimpa bangsa. Ini juga disampaikan  wartawan senior, Hasril Chaniago, saat kami menjadi pembicara talkshow “Limapuluh Kota Dalam Sejarah”, 6 November 2025.

Syafruddin Prawiranegara mendeklarasikan PDRI di Nagari Halaban. Buku-buku sejarah mencatat, PDRI dideklarasikan dalam rumah di perkebunan teh Halaban. Namun yang sebenarnya, menurut saksi sejarah bernama Rasawin, adalah di dangau Yaya, Jorong Lambuak, Halaban. Memang, dangau Yaya dan rumah di perkebunan teh, masih satu hamparan. Tapi letaknya cukup berjauhan. 

Rasawin adalah pejuang PDRI, bekas anggota  BPNK Halaban. Saat kami temui bersama mantan Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan, mantan Wali Nagari Halaban, Masrijal Sahid, dan mantan Ketua AJI Padang, Hendra Makmur, Rasawin sudah 89 tahun. Kini, Rasawin telah tiada. Kesaksiannya, waktu PDRI diumumkan, rakyat sulit membedakan Syafruddin dengan pejuang lain. Karena semua memakai baju putih-putih dan berpeci. Berjalan selalu berombongan.

Halaban pada zaman PDRI adalah kawasan yang luas. Tak hanya meliputi Nagari Halaban. Namun membentang hingga ke Nagari Tanjuanggadang, Nagari Labuahgunuang, Nagari Ampalu, dan sekitarnya. Maka tak heran, bila di nagari-nagari tersebut, ditemukan banyak peninggalan PDRI. Namun kurang perhatian dari pemerintah daerah. Seperti, bekas stasiun pemancar radio di Paraklubang atau Tegalrajo, serta uang zaman PDRI di Ampalu dan Labuahgunuang.

Keberadaan PDRI di kawasan Halaban, memang tidak lama. Tapi serupa garam dalam masakan,  sangatlah bermakna. Kabinet PDRI yang dideklarasikan di Halaban, mengisyaratkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada. Ini membuat Belanda yang sedang melancarkan Agresi ke-II menjadi tak senang.  Begitu PDRI dideklarasikan di Halaban, Belanda terus mengendus jejak para pejuangnya. 

Belanda yang tiga hari sebelumnya atau 19 Desember 1948, telah membumihanguskan Bukittinggi lewat jalur udara, juga menyerang lewat jalur darurat. Bahkan, beberapa hari kemudian, pasukan Belanda sudah sampai di Kota Payakumbuh. Sempat terjadi baku tembak dengan pejuang Indonesia di kawasan perbukitan Ngalau. Juga di sekitaran Bukit Sitabuah.

Mengetahui Belanda semakin dekat ke Halaban, Mr Syafrudin Prawiranegara dan Kabinet PDRI memutar strategi perjuangan. Mereka memilih berjuang secara mobile. Tapi sebelum perjuangan dengan sistem berjalan itu dimulai, rombongan PDRI dibagi dalam dua kelompok.

Kelompok pertama, dipimpin Mr Sutan Muhammad Rasyid, Gubernur Sumatera Tengah, bergerak menuju Kototinggi, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Terus kemudian menuju kawasan bernama Puadata, beberapa kilometer menjelang tambang emas Mangani. Sampai PDRI berakhir, rombongan pertama ini tetap bermarkas di Kototinggi.

Sedangkan rombongan kedua, langsung dipimpin Mr Syafrudin Prawiranegara. Awalnya, rombongan kedua bertolak ke Bangkinang, Kampar, Propinsi Riau. Karena situasi tidak aman, Syafrudin dan rombongan berbelok ke Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. 

Dari Teluk Kuantan, rombongan  melanjutkan perjalanan menuju Sungaidareh, Kabupaten Dharmasraya, Sumbar. Sampai di negeri yang pernah menjadi sasaran Ekpedisi Pamalayu oleh Raja Kertanegara tersebut, Syafrudin bertolak ke Nagari Abaisangir, Kabupaten Solok Selatan.

Perjalanan ke Nagari Abaisangir, dilalui Syafrudin Prawiranegara dan para pejuang PDRI dengan penuh kegetiran. Mereka terpaksa melawan arus Sungai Dareh yang deras. Mujur saja masyarakat sukarela menolong. Sumbangsih tak ternilai harganya ini, diberikan masyakarat pada hampir seluruh kampung basis perjuangan PDRI.

Sesampainya di Nagari Abaisangir, Syafrudin Prawiranegara yang memiliki darah keturunan Banten dan Minangkabau, menginap di rumah Sa’diyah, istri dari Angku Palo Buncik, Wali Nagari Abaisangir semasa itu. Kemudian, mereka dijemput oleh masyarakat Nagari Bidaralam. Di Bidar Alam, rombongan menetap sangat lama.

Setelah melewati berbagai dinamika perjuangan. Termasuk peristiwa heroik di Titiandalam, Pandamgadang; disusul Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 yang memakan korban jiwa paling banyak sepanjang sejarah PDRI; dan Peristiwa Koto Tuo Lautan Api. Akhirnya, rombongan pertama PDRI di Kototingggi dan rombongan kedua yang bermarkas di Bidaralam, bertemu di Silantai, Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung.

Dari pertemuan itu, disepakati mandat PDRI bakal dikembalikan kepada pemerintah pusat. Pengembalian mandat berlangsung di Kotokociak, Guguak, Limapuluh Kota. Mandat dijemput Mr Mohammad Natsir dan  Leimena. Diserahkan kembali oleh Syafruddin Prawiranegara dkk kepada Presiden Soekarno.

Tiga tahun kemudian, lewat Keppres 123/1951, Syafruddin Prawiranegara diangkat sebagai Presiden De Javasche Bank: Bank Sentral Hindia Belanda, cikal bakal Bank Indonesia. Pada 1958 sampaI 1960, Syafruddin kembali ke Sumatera. Terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tapi pada 1961, melalui Keppres 449/1961, Syafrudin dan tokoh PRRI lainnya, dapat abolisi dan amnesti dari Presiden.

Lima puluh tahun setelah amnesti diberikan, tepatnya tahun 2011, Syafrudin Prawiranegara dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, berdasarkan Keppres 113/2011. Lima tahun sebelumnya pula, atau pada 18 Desember 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menerbitkan Keppres Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Hari Bela Negara.

Dalam Keppres ditegaskan, 19 Desember 1948, merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia karena tanggal tersebut terbentuk PDRI, dalam rangka mengisi kekosongan kepemimpinan pemerintahan NKRI. Sayang, tidak dijelaskan dalam Keppres 28/2006, kenapa pemerintah memilih 19 Desember 1948 sebagai tanggal terbentuknya PDRI. Bukan 22 Desember 1948, saat PDRI dideklarasikan di Halaban.

Sebagian sejarawan dan tokoh berpendapat, pemerintah memilih 19 Desember 1948 sebagai tangggal terbentuk PDRI, karena embrio PDRI sudah ada di Bukittinggi sejak 19 Desember 1948. Sedangkan pengumuman kabinetnya, baru dilakukan 22 Desember 1948 di Halaban. Terlepas dari itu, masyarakat di kawasan Halaban, tak pernah sekalipun mempersoalkan.

Tampaknya, bagi masyarakat Sumbar secara umum, dan khususnya bagi masyarakat di Kabupaten Limapuluh Kota. Pengakuan pemerintah terhadap perjuangan PDRI, dengan menetapkan 19 Desember sebagai dasar Hari Bela Negara, sudah merupakan anugerah luar biasa. Walaupun Hari Bela Negara, belumlah masuk tanggal merah atau hari libur nasional. 

Kini, anugerah luar biasa itu akan lebih bermakna, bila pemerintah memberi perhatian khusus terhadap seluruh kampung yang dulu menjadi basis utama perjuangan PDRI. Perhatian khusus itu bisa dimulai dari kawasan Halaban yang sampai kini masih terlupakan. Buktinya, jalan utama di Halaban, masih rusak parah. Menanti sambungan perbaikan yang entah kapan. (***)

Penulis M. Fajar Rillah Vesky adalah anggota DPRD Kabupaten Limapuluh Kota, dari daerah pemilihan Luhak, Lareh Sago Halaban, dan Situjuah Limo Nagari.

Baca Juga

Profil Boubakary Diarra, Gelandang Baru Semen Padang FC Asal Prancis
Profil Boubakary Diarra, Gelandang Baru Semen Padang FC Asal Prancis
Presiden Prabowo Subianto meninjau perbaikan jalan nasional di Lembah Anai
Prabowo Tinjau Pengerjaan Jalan Nasional Lembah Anai
Prabowo saat mengunjungi posko darurat di Nagari Salareh Aia, Palembayan, Kabupaten Agam pada Rabu pagi (18/12/2025)
Kunjungi Salareh Aia, Prabowo Janji Huntara Rampung dalam Satu Bulan
Warga Silareh Aia Timur Abdul Gani tak kuasa melepas tangisnya saat bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto
Tangis Abdul Gani Penyintas Galodo Pecah saat Bertemu Prabowo
Presiden Prabowo mencicipi nasi goreng dapur umum di Silareh Aia, Rabu (19/12/2025).
Momen Prabowo Cicipi Nasi Goreng Dapur Umum saat Kunjungi Sumbar
TKD 2026 Daerah Bencana Tak Dipotong, Gubernur Sumbar: Terima Kasih Presiden Prabowo
TKD 2026 Daerah Bencana Tak Dipotong, Gubernur Sumbar: Terima Kasih Presiden Prabowo