Langgam.id - Hari ini, 11 tahun lalu, guncangan vertikal perut bumi, meluluhlantakkan sebagian wilayah Sumatra Barat. Data Satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan Bencana (Satkorlak PB) Sumatra Barat, sebanyak 1.195 orang tewas, korban luka berat mencapai 619 orang, luka ringan 1.179 orang.
Selanjutnya, 119.005 rumah rusak berat, 73.733 rumah rusak sedang, dan 78.802 rumah rusak ringan, serta merusak ratusan bangunan publik lainnya.
Berdasarkan United States Geological Survey (USGS), gempa 30 September 2009 itu terjadi di Barat Laut Sumatra dengan kekuatan 7,6 SR.
Seturut data BMKG, kejadian gempa berlangsung pukul 17:16:09 WIB. Dengan magnitudo sedikit berbeda dengan laporan USGS yakni 7.9 SR. Ada pun episentrum pada 0.84 LS – 99.65 BT, di kedalaman 71 km.
Energi seismik yang dikeluarkannya sungguh kuat. Saking kuatnya, guncangannya terasa sampai ke Singapura, Malaysia, Thailand dan juga di Jakarta dengan intensitas III Modified Mercalli Intensity (MMI).
MMI merupakan skala ukuran kerusakan akibat gempabumi berdasarkan pengamatan efek gempabumi terhadap manusia, struktur bangunan, lingkungan pada suatu tempat tertentu.
Gempa tahun 2009, jika ditarik kroniknya saat itu, bukanlah perkara bencana baru di Sumatra Barat. Beberapa tahun sebelum gempa 30 September 2009, Sumatra Barat telah beberapa kali didera gempa.
Sejak tahun 2005 hingga gempa 2009, BMKG mencatat Sumatera Barat telah 14 kali diguncang gempa kategori besar. Nun jauh lagi ke belakang, gempa 1926 di masa kolonial Belanda, cukup diingat banyak orang. Lalu juga gempa 1943 dengan guncangan cukup hebat.
Disapa gempa beberapa kali, idealnya memperkaya pengetahuan warga untuk menyelamatkan diri, memutuskan tindakan-tindakan evakuasi.
Secara umum, ketika gempa 2009 menggoyang, warga menggunakan pola-pola penyelamatan secara konvensional, yaitu menyelamatkan diri dengan berlari secepat mungkin ke tempat yang aman dan bebas dalam menghindari risiko gempa.
Baca Juga: Masa Pandemi, Gempa 11 Tahun Lalu Terus Dikenang
Setelah itu berdiam diri di luar rumah atau di luar bangunan yang didiami sebelumnya, sampai getaran gempa dipastikan tak ada lagi.
Namun melihat korban yang berjatuhan, ada persoalan di sini, yakni miskin pengetahuan tentang tindakan ketika berada di bangunan bertingkat atau pola pengulangan gempa.
Mungkin kisah salah seorang korban, Amranus, bisa menjadi irisan betapa miskinnya pengetahuan merespons gempa besar.
Amranus terhimpit bangunan Hotel Mariani pada gempa kedua. Kala gempa pertama pukul 17.16 WIB, dia bersama koleganya warga negara Singapura, John Lee, sebetulnya sudah aman karena berhasil lari ke luar.
Selanjutnya, dia dan John Lee, memutuskan kembali ke hotel untuk mengambil laptop yang tertinggal. Naas, belum sampai ke kamar, guncangan kedua datang, seketika konstruksi hotel remuk, dan menghimpit dirinya dan John Lee. Dia tercatat menjadi salah seorang korban gempa di Kota Padang.
Sementara John Lee, berhasil bertahan hidup setelah terkungkung dalam puing-puing berhari-hari. Kisah Amranus ini tertuang dalam buku Kisah-Kisah Korban Gempa (Mengenang Gempa Dahsyat 7,9 SR, Rabu, 30 September 2009 di Padang), yang dieditori oleh Hasrul Piliang.
Kira-kira enam minggu setelah gempa bumi, GTZ IS-GITEWS melakukan penelitian lapangan di Padang untuk mengetahui apa yang telah terjadi setelah gempa bumi selesai.
Studi ini berfokus pada 30 menit pertama setelah getaran: yaitu perkiraan waktu tiba gelombang tsunami di pantai Padang setelah suatu gempa bumi besar yang berasal dari sumber dekat dengan pantai Sumatra Barat.
Bagaimanakah masyarakat Padang bereaksi setelah gempa bumi berakhir? Apakah mereka memiliki akses ke informasi resmi tentang gempa bumi secara cepat? Apakah yang dilakukan pemerintah dan lembaga penanggulangan bencana setempat untuk segera menyampaikan informasi kepada publik?.
Dalam penelitian ini, GTZ IS-GITEWS menggunakan perpaduan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Sebanyak 200 orang menjadi responden. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, baik itu masyarakat korban gempa, aktor penanganan seperti dari instansi pemerintah (BPBD), LSM seperti Komunitas Siaga Tsunami (KOGAMI).
Untuk analisis data dibantu oleh Proyek penelitian Last Mile Evacuation (UNU-EHS). Pada sebuah seminar akhir Januari 2010, temuan-temuan penelitian diseminasikan, lalu hasil rekomendasinya disampaikan ke perwakilan tingkat tinggi pemerintah kota.
Rekomendasi tersebut telah diintegrasikan kedalam Peraturan Walikota Padang Nomor 14 mengenai Peringatan Dini Tsunami Kota Padang, yang disahkan pada bulan April 2010.
Baca Juga: Mengenang Gempa 2009, Menguatkan Mitigasi Bencana
Temuan dan simpulan mengenai reaksi masyarakat dan akses ke informasi: Setengah dari warga yang diwawancarai di dalam survei menjauhi daerah pantai dalam waktu yang relatif pendek (15 menit setelah getaran 83% dari responden tersebut telah pergi). Pemicu evakuasi adalah gempa bumi yang kuat.
Namun, dalam situasi ketiadaan informasi resmi, banyak orang pergi ke pantai untuk melihat apakah air laut menyurut. Karena hal itu tidak terjadi, sebagian besar mereka memutuskan untuk tidak mengungsi. Waktu yang diperlukan dari saat air mulai surut hingga kedatangan gelombang pertama hanyalah beberapa menit.
“Orang tidak akan memiliki cukup waktu untuk melarikan diri. Secara umum, informasi resmi tidak tersedia dalam 30 menit pertama setelah gempa bumi. Sebagian besar masyarakat tidak menerima informasi resmi apa pun mengenai apakah ada ancaman tsunami atau tidak,” tulis Michael Hoppe dan Hari Setiyo Mahardiko, dalam 30 Menit di Kota Padang: Pembelajaran untuk Kesiapsiagaan dan Peringatan Dini Tsunami dari Gempa Bumi 30 September 2009, Working Document (Kertas Kerja) No.25 (Studi Kasus), GTZ IS – GITEWS (Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit International Service - German-Indonesian Cooperation for a Tsunami Early Warning System), yang diterbitkan pada Mei 2010.
Mengutip dari kajian GTZ IS – GITEWS, informasi utama tersebar dari mulut ke mulut dan berdasarkan kasak-kusuk. Seiring dengan waktu, terdapat berita bahwa tidak ada ancaman tsunami dan masyarakat boleh kembali ke rumah.
Informasi tersebut diudarakan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Padang dan diumumkan oleh walikota. Perlahan-lahan berita ini menyebar ke makin banyak orang. Penggunaan frekuensi Radio FM untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat adalah pilihan yang tepat.
Namun, karena perkiraan waktu tiba tsunami untuk Padang sangat pendek, informasi yang diberikan 1 jam setelah getaran akan terlambat. Proses evakuasi terhambat oleh kemacetan lalu lintas yang parah.
Masyarakat umumnya melarikan diri dengan sepeda motor dan mobil. Karena itu terjadi kemacetan lalu lintas yang parah. Banyak kecelakaan juga terjadi. Jalur evakuasi yang ditetapkan tidak cukup untuk menyalurkan massa.
Hal ini menunjukkan warga tidak mempertimbangkan evakuasi vertikal sebagai pilihan dalam penyelamatan diri. Evakuasi berlangsung hanya sebagai gerakan horisontal menjauh dari pantai dan mengarah ke daratan.
Ada kekurangan pemahaman mengenai sistem peringatan dini, namun orang-orang mempercayai pemerintah untuk menyediakan informasi yang akurat secara langsung setelah gempa bumi.
Sebagian besar responden, ungkap Hoppe dan Hari, hanya memiliki gambaran kabur mengenai cara kerja sistem peringatan dini tsunami secara menyeluruh. Dari sudut pandang mereka, hal terpenting adalah mendapatkan informasi akurat dan resmi secepat-cepatnya.
Masyarakat percaya kepada pemerintah daerah, khususnya walikota. Mereka percaya bahwa pemerintah akan menyediakan informasi yang akurat secara langsung setelah gempa bumi.
Menyadari yang membunuh selama ini adalah bangunan dan kepanikan, pengamat kegempaan Universitas Andalas, Badrul Mustafa Kamal menyarankan melakukan upaya pencegahan.
Pertama, bangunan harus memenuhi standar dan melaui proses perizinan. Izin harus diberikan dengan tepat sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan sudah sesuai dengan standar. Selain itu, harus terjamin pengawasan terhadap pelaksanaan.
Mengingat selama ini pemangku kebijakan sering lengah di sana, misalnya gambar bagus dengan spesifikasi konstruksi aman gempa, tapi ketika pelaksanaannya ternyata berbeda.
Kedua, pemahaman masyarakat. Otoritas atau lembaga kemanusiaan yang peduli dan fokus pada isu kebencanaan, bisa memberikannya secara efektif melalui mitigasi prabencana terutama ke sekolah-sekolah tentang kurikulum, guru, dam murid.
“Terbiasa dengan simulasi tentu dipersiapkan saat evakuasi sehingga tidak terjadi lalu lintas yang amburadul. Itu hanya bisa dicapai melalui sekolah dan forum-forum,” bilang Badrul, pada suatu hari di tahun 2012.
Secara langsung, dampak gempa adalah rusaknya sarana prasarana seperti jalan, bangunan, jembatan, dan infrastruktur lainnya. Sementara dampak tidak langsung adalah tertimpa dan terperangkap bangunan yang menyebabkan luka, cidera, cacat, dan kematian.
Peristiwa gempa 2009 sebagian besar tewas pada dampak tidak langsung. (*/)