Hati saya remuk. Boleh dikata belingsatan. Bukan saja karena anggota KPU Wahyu Setiawan ditangkap menerima suap, tapi juga karena imbasnya bagi demokrasi. Duh, KPU!
Dalam kondisi begini, KPU akan sulit menghindari “makian” publik. Banyak penelitian yang menjelaskan bagaimana korupsi menurunkan partisipasi dalam Pemilu dan meningkatkan ketidak-percayaan kepada sistem politik [McCann dan Domínguez; 1998, Seligson; 2002, Anderson dan Tverdova; 2003, Davis dkk; 2004, Chang dan Chu; 2006, dalam Julie K. Faller, dkk, Electoral Systems and Corruption; 2013].
Wajar kemudian tuduhan-tuduhan kepada KPU bermunculan. Bahkan tuduhan paling ganjil selama Pemilu 2019 pun bertebaran kembali. Tak hanya KPU yang dirajam, proses demokrasi kita juga dipertanyakan, baik terhadap proses yang telah berlalu maupun yang akan segera dilaksanakan. Untung dua kubu sudah bersatu dalam Kabinet Indonesia Maju. Kalau tidak, ambyar!
Untuk mencegah tuduhan semakin liar kepada KPU, Saya hendak bersaksi. Banyak petugas penyelenggara Pemilu, baik KPU dan Bawaslu, yang telah berkorban agar proses penyelenggaraan Pemilu berlangsung baik. Sebagian besar dari mereka adalah tipe “tak sudi dibeli.” Mereka itulah patriot demokrasi. Meski jantung ringkih, tak kuat meredam lelah, mereka terus bertugas. Sebagian dari mereka tumbang, gugur dalam tugas menyelenggarakan Pemilu 2019 lalu. Kita berhutang budi kepada mereka.
Bayangkan, kematian mereka itu tak hanya diiringi doa-doa baik, tetapi juga caci-maki politik. Entah menurut siapa dan apa ilmunya, kematian banyak anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dianggap bagian dari kecurangan proses penyelenggaraan Pemilu. Padahal rekam medik mengabarkan jantung merekalah yang tak kuat meredam lelah. Mereka gugur demi proses demokrasi dapat berjalan baik. Duh, KPU! Mati saja kalian dihina, apalagi jika ada aparatmu terlibat korupsi.
Kejahatan tunggal
“Karena nila setitik; rusak susu sebelanga.” Petuah bijak itu merampak KPU. Tindak pidana yang dilakukan personal telah menjadi kutukan komunal. Namun tulisan ini tak ingin membahas dampak “kejahatan tunggal” bagi institusi KPU dalam kasus PAW ini. Saya hendak mengurai potensi lain.
Dalam kejahatan korupsi, kejahatan tidak pernah dilakukan sendirian. Selalu ada kerjasama tim. Bahkan korupsi dalam politik adalah kejahatan berkelompok yang telah tua.
Sarah Birch menuturkan bahwa sejak 2,5 ribu tahun lalu kecurangan terkait Pemilu sudah terjadi di Athena dan Sparta [Electoral Corruption; Institute for Democracy and Conflict Resolution, 2011]. Kecurangan dalam Pemilu kadangkala dilakukan secara “halus”, tapi lain waktu berlangsung sangat “kasar”.
Kecurangan yang halus itu dilakukan melalui rekayasa hukum. Meski tak sesuai dengan teori Kepemiluan, ketentuan hukum yang tidak adil tetap diberlakukan dan dianggap sah.
Kecurangan secara kasar dilakukan dengan melabrak aturan yang ada. Dalam kasus pergantian antar waktu (PAW) yang melibatkan Wahyu, upaya mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan terasa. Pasal 426 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara tegas mengatur bahwa PAW terhadap anggota DPR yang meninggal dunia ditentukan berdasarkan calon anggota DPR dari partai yang sama dan memperoleh suara terbanyak berikutnya.
Ketentuan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum dan PKPU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum, hanya mengatur teknis yang diatur dalam Pasal 426 UU Pemilu tersebut. Sehingga upaya memaksakan PAW untuk calon anggota DPR yang tidak memperoleh suara terbanyak berikutnya adalah sia-sia. Itu sebabnya KPU mengirimkan surat bernomor: 1/PY.01-SD/06/KPU/I/2020, yang menolak penentuan PAW di luar ketentuan UU Pemilu dan PKPU.
Ketentuan mengenai PAW itu tidak dapat diubah selain oleh Mahkamah Konstitusi melalui pengujian undang-undang dan DPR/Pemerintah yang berwenang mengubah undang-undang. Tapi simak yang terjadi. Dalam proses pengujian PKPU di Mahkamah Agung ada beberapa hal yang perlu diperdebatkan dalam Putusan Nomor 57 P/HUM/2019.
Putusan itu membatalkan beberapa ketentuan dalam PKPU tetapi tidak dijelaskan pasal mana yang dilanggar dalam UU Pemilu. Padahal dalam dalam Pasal 426 UU Pemilu yang mengatur PAW sudah terang dan jelas.
Jika kewenangan KPU di dalam undang-undang diubah, bukankah MA jadi menafsirkan ketentuan undang-undang. Hal itu bukan kewenangan MA tetapi yurisdiksi Mahkamah Konstitusi.
Putusan itu pada dasarnya tidak dapat dimaknai mengubah ketentuan Pasal 426 UU Pemilu. Sehingga tanpa PKPU sekalipun, KPU telah dapat menetapkan calon pengganti anggota DPR yang meninggal. Tapi uniknya, terdapat pula Fatwa MA Nomor: 37/Tuaka.TUN/IX/2019 yang memerintahkan KPU mengikuti pertimbangan hukum putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019 bahwa PAW menjadi kewenangan pimpinan partai politik. Manalah mungkin KPU dapat mematuhi Fatwa tersebut, sebab UU berkata lain. Apalagi dalam konsep judicial review, kewenangan fatwa MA itu hapus dengan sendirinya jika terkait pemaknaan undang-undang.
Jika putusan tersebut ditelisik, ada kejanggalan yang harus ditelusuri Komisi Yudisial. Yang harus diingat kejahatan korupsi selalu tidak dilakukan sendirian. Kejahatan korupsi tak pernah tunggal. Dalam hati saya berdoa, “semoga hakim agung tidak terlibat; jangan sampai marwah peradilan pula ikut runtuh.”
Mau kemana KPU?
Pertanyaan yang timbul setelah penangkapan Wahyu Setiawan adalah, KPU mau apa dan kemana? KPU (dan juga Bawaslu) itu lembaga semi-politik. Anggota-anggotanya dipilih partai politik. Artinya, sebagai “juri pertandingan”, anggota KPU dipilih peserta Pemilu, yaitu DPR. Ini yang tidak sehat dan harus diobati.
Harus ada perubahan. Pemilihan anggota KPU dan Bawaslu harus lebih netral. Banyak cara, salah satunya dipilih melalui Panitia Seleksi sebanyak anggota yang dibutuhkan dan DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak persetujuan. Tidak ada lagi mekanisme seleksi dan fit and proper test di DPR. Namun undang-undang maunya bukan begitu.
Lalu, bagaimana aturan undang-undang dapat adil dan tidak diperjual-belikan dalam demokrasi kita. Khusus untuk paket undang-undang politik (UU Parpol, UU Pemilu, UU MD3) maka rancangannya dibuat penyelenggara Pemilu saja. Tugas DPR hanya memberikan konfirmasi, setuju atau tidak setuju terhadap rancangan undang-undanga politik tersebut. Dengan begitu, proses demokrasi akan jauh lebih sehat.
Namun, sebelum mewujudkan atau mendesak konsep yang sudah pasti tidak diterima para politisi itu, ada baiknya KPU berbenah. Perlu dibangun sistem integritas internal anggota KPU dan stafnya terlebih dulu. Jangan sampai peristiwa yang sama terulang. Demokrasi bisa ambyar!