Ceramah Yus Datuak Parpatiah, Cerita Adat yang Tak Lekang oleh Zaman

Ceramah Yus Datuak Parpatiah, Cerita Adat yang Tak Lekang oleh Zaman

Yus Datuak Parpatiah (Foto: Donal Chaniago/TV One)

Langgam.id - Yus Datuak Parpatiah bukan nama asing di Ranah Minang. Sejak awal 1980-an nama tersebut sudah dekat dengan pemerhati adat Minangkabau lewat rekaman berbagai karyanya dengan Grup Balerong.

Bila sebelumnya menetap di Jakarta, sejak setahun terakhir Datuak Parpatiah yang kini berusia 80 tahun, menetap di kampung halamannya, di tepi Danau Maninjau. Tepatnya, di Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam.

Menetap di kampung halaman, membuatnya lebih intens berinteraksi dengan masyarakat di Ranah Minang. Hampir tiap pekan, Angku Yus Datuak Parpatiah, begitu ia akrab disapa meluangkan waktu berceramah dan berdiskusi tentang adat Minangkabau di berbagai pelosok Ranah Minang.

Misalnya, dalam rangka pencerahan adat dan budaya Alam Minangkabau, Angku Datuak Parpatiah berceramah tentang adat di Kelurahan Padang Tongah Balai Nan Duo, Kota Payakumbuh, Senin (18/11/2019). Humas Pemko Payakumbuh merilis, pertemuan itu dihadiri bersama pemuda anak nagori, niniak mamak serta tokoh masyarakat. Bertempat di halaman Kantor Kerapatan Adat Nagori (KAN) Balai Nan Duo Koto Nan Ompek, .

"Hampir tiap minggu ada saja yang mengundang bicara tentang adat. Kadang dua kali seminggu. Sebelum acara di Payakumbuh, saya bicara di Nagari Koto Tinggi, Baso, Kabupaten Agam," kata Yus Datuak Parpatiah, saat dihubungi Langgam.id melalui telepon, Rabu (20/11/2019).

Menurutnya, semangat untuk berdiskusi dan memperdalam adat masih cukup tinggi. Pada 28 November 2019 nanti, misalnya, Yus Datuak Parpatiah juga akan jadi pembicara dalam forum niniak mamak yang diadakan Dinas Kebudayaan di Padang Panjang. Ceramah adat Angku Yus sejak 40 tahun silam, agaknya, tak lekang oleh zaman.

Yus Datuak Parpatiah, dikenal masyarakat Sumatra Barat baik di ranah maupun di perantauan, karena berbagai karya rekamannya. Rekaman tersebut berbentuk drama, komedi, monolog dan petuah adat. Sejak 1980 hingga 2015, ia sudah menghasilkan 130 judul.

Karya-karya itu antara lain, "Di Simpang Duo", "Maniti Buiah" dan "Kasiah Tak Sampai" yang berbentuk drama. "Rapek Mancik" dan "Bakaruak Arang" yang merupakan karya komedi. "Pitaruah Ayah", "Baringin Bonsai", "Diskusi Adat", "Panitahan Baralek", "Kepribadian Minang" serta "Pitaruah Pangulu" yang berbentuk petuah adat dan juga dua film yang diproduksi TVRI.

Mulai 1980 hingga dekade 90-an, karya-karya tersebut beredar dalam bentuk kaset. Puluhan hingga ratusan ribu kaset tiap karya Yus Datuak Parpatiah menyebar ke berbagai pelosok Ranah Minang. Selain itu juga ke komunitas orang Minang di seluruh Indonesia dan berbagai negara.

"Saya tak tahu persis berapa jumlah penjualan setiap kaset. Kontrak saya dengan perusahaan rekaman, sistem 'jual habis' sejak dulu. Jadi tak ada royalti, meski kaset laris," kata Yus, dalam wawancara dengan wartawan langgam.id, beberapa waktu lalu.

Yus Datuak Parpatiah terlahir dengan nama Yusbir dari pasangan Abdul Jalil dan Syafiyah di Nagari Sungai Batang, Agam, Sumatera Barat pada 7 April 1939. Nagari yang terletak di pinggir Danau Maninjau itu, juga merupakan kampung kelahiran ulama besar Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).

Masa kecil Yus dihabiskan di kampung halaman sampai ia menamatkan SD dan SMP, masing-masing pada 1955 dan 1958. Setamat SMP, kakak Yus yang merantau di Sumatera Utara mengajaknya pindah ke daerah itu. Yus menamatkan sekolah di SMA Tanjung Balai Asahan, pada 1961.

Setelah itu, layaknya banyaknya orang Minang yang merantau, Yus memulai berwiraswasta dengan berdagang. Bukan saja di Sumatera Utara, Yus muda juga melanglang buana ke Jambi, Sumatera Selatan, Lampung hingga akhirnya hijrah ke Jakarta pada 1976.

Dalam rentang masa itu pula, Yus dipercaya sebagai panungkek (wakil pangulu) dengan gelar adat Datuak Rajo Mangkuto pada 1965. Pada 1967, Yus menikah dan kemudian diangkat menjadi pangulu (piminan suku) suku chaniago dengan gelar Datuak Parpatiah pada 1970.

Usai menikah dan menjadi datuak, Yus kembali merantau untuk mencari nafkah. Namun, ia tetap punya jadwal pulang ke kampung untuk mengurus kaum Suku Chaniago, Nagari Sungai Batang yang ia pimpin. "Semuanya saya coba, sejak berdagang keliling, kaki lima, punya toko sampai konveksi," ujarnya.

Pada 1979, ia membuka usaha konveksi di Jakarta. "Saat itu, saya punya beberapa orang karyawan. Kami bekerja sesuai pesanan. Bahan dikirim, kami jahit dan kemudian antar kepada pemesan."

Ketika pesanan sedang sepi dan karyawan tak punya kerjaan, Yus melontarkan ide yang begitu jauh dari dunia konveksi. Ia menulis skenario drama dengan tulisan tangan dan mengajak karyawan konveksi latihan.

"Saya bukan berasal dari keluarga seniman. Tidak berpengalaman dan tak pernah memperoleh pendidikan seni. Namun, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk membuat drama," kisahnya.

Meski demikian, karyawan konveksi Yus menyambut ide itu. Mereka mulai latihan setiap hari ketika pesanan sepi. Merekalah yang menjadi cikal bakal Grup Balerong yang dipimpin Yus hingga kini.

Melihat ketekunan mereka latihan, seorang kenalan Yus, Haji Jhon yang berdomisili di Jambi menyarankan Yus untuk rekaman. "Kami kemudian menawarkan membuat rekaman drama kaset pada perusahaan rekaman terkenal di Padang," ujarnya.

Sayangnya, tawaran itu ditolak. Dunia rekaman di Sumatera Barat ketika itu memang hidup. Tapi, umumnya diisi musik pop Minang atau seni tradisi klasik seperti saluang atau rabab. "Drama Minang dinilai tak laku untuk dijual."

Yus tak putus asa. Atas bantuan Haji Jhon, ia mencoba menawarkan pada Globe Record di Jakarta, untuk merekam drama itu. Chau An, pemilik studio semula ragu. "Apa lagi dia tak mengerti sama sekali drama berbahasa Minang itu," kata Yus.

Globe Record akhirnya bersedia merekam setelah Haji Jhon memberi jaminan akan membeli 2 ribu kaset. "Kami hanya dibayar Rp500 ribu untuk karya pertama yang beredar pada Januari 1980 itu," ujar Yus.

Ternyata, drama karya pertama Grup Balerong berjudul "Di Simpang Duo" yang bercerita tentang konflik mamak (paman) dengan kemenakan (keponakan) tentang penerapan adat Minangkabau disambut meriah di Ranah Minang.

"Setidaknya 22 ribu kaset, kami dengar laris di pasar. Bahkan, di Padang kabarnya ribuan kaset juga dibajak," kata Yus.

Sukses karya pertama, Globe Record menunggu-nunggu karya Grup Balerong berikutnya. "Untuk karya kedua, "Maniti Buiah" pada 1981, perusahaan rekaman sudah membayar kami Rp3 juta," ujar Yus.

Sukses di Jakarta, perusahaan rekaman di Padang yang semula menolak karya Yus, meminta ia merekam karya berikutnya di Padang. Yus meminta perusahaan itu menunggu, karena ia merasa tak etis memutus kontrak begitu saja dengan Globe Record.

Permintaan dari Padang ini, membuat Yus Pilihan, salah satu anggota Yus Datuak Parpatiah memisahkan diri dari Balerong. Ia mendirikan Grup Rumah Gadang 1983 dan memenuhi tawaran perusahaan rekaman itu. Namun, ia hanya sempat merekam beberapa drama di Padang dan kemudian kehabisan ide.

Datuak Parpatiah tak mempersoalkannya. Ia terus berkarya dan makin kreatif. Setelah drama serius, ia masuk ke drama komedi. Komedi "Rapek Mancik" yang mengangkat budaya demokrasi di Ranah Minang sekaligus menyindir perilaku sebagian orang yang tak komit dengan kesepakatan juga laris di pasaran.

Karakter Sutan Rajo Angek, seorang pria Minang asal Danau Maninjau yang emosional, sekaligus kocak dan kadang sok tahu lekat dengannya. Julukan Sutan Rajo Angek sebagai "malaikat maut" dari tepi danau yang mengaku pemberani tapi takut pada anjing menjadi buah bibir dalam pembicaraan di kedai kopi.

Era berikutnya, suami dari Ermaini dan ayah dari Elivia, Ervan dan Ellen itu lebih banyak merekam monolog. Ia berpidato tentang berbagai masalah dan memberikan solusinya lewat ketentuan adat. Sejak nasehat untuk anak dalam mengarungi hidup, nasehat jelang perkawinan, nasehat untuk para calon pangulu dan bahkan juga mengkritik tentang minimnya kepemimpinan yang berkarakter adat di Ranah Minang.

Pidato yang disampaikan dengan pepatah dan petitih Minang itu menarik sekaligus renyah. Karena, ia bisa menjelaskan berbagai aturan dan falsafah adat dengan bahasa yang sederhana. Hal ini membuat Yus Datuak Perpatiah secara tidak langsung menjadi guru adat bagi banyak orang Minang.

“Saya hanya berguru pada alam. Rajin menyimak ketika muda, menganalisa sendiri dan membandingkannya dengan kondisi saat ini,” katanya.

Kini, di usia lebih 80 tahun, Yus masih berkarya. Ia masih merekam video monolog yang sebelumnya direkam dalam bentuk suara. “Sekarang kan zaman audio visual, menurut perusahaan rekaman perlu dibuatkan dalam bentuk video,” ujarnya. (HM)

Baca Juga

14 Perwakilan Negeri Sembilan Jelajah Budaya ke Ranah Minang
14 Perwakilan Negeri Sembilan Jelajah Budaya ke Ranah Minang
Ketua Bundo Kanduang Raudha Thaib Dapat Penghargaan Tokoh Adat dari Kemendikbudristek
Ketua Bundo Kanduang Raudha Thaib Dapat Penghargaan Tokoh Adat dari Kemendikbudristek
Buka Bimtek Adat di Agam, Gubernur Paparkan Peran Orang Minang untuk Bangsa
Buka Bimtek Adat di Agam, Gubernur Paparkan Peran Orang Minang untuk Bangsa
PKS masih unggul dalam perolehan suara sementara untuk pemilihan legislatif DPRD Sumbar 2024. PKS unggul dari Partai Gerindra di posisi kedua
Rapat dengan DPRD, Ormas Keagamaan dan Adat di Sumbar Minta SKB 3 Menteri Dicabut
Nagari dan Penolakan Terhadap “Negara Minangkabau”
Nagari dan Penolakan Terhadap “Negara Minangkabau”
Lomba Adat, Cara Orang Talu Melestarikan Budaya Minangkabau
Lomba Adat, Cara Orang Talu Melestarikan Budaya Minangkabau