Langgam.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Sumatra Barat (Sumbar) kembali menggelar rapat terkait penolakan pembangunan jalan tol Padang-Pekanbaru oleh warga Kabupaten Limapuluh Kota di Kantor DPRD Sumbar, Senin (9/11/2020).
Sebelumnya DPRD Sumbar telah menerima aspirasi dari warga Limapuluh Kota pada 2 Oktober 2020 lalu. Kemudian pembahasan lebih lanjut diputuskan dilakukan oleh Komisi IV DPRD Sumbar yang membidangi insfrastruktur bersama pihak terkait.
Rapat dilakukan oleh Anggota Komisi IV yaitu Lazuardi Herman, Syawal, Desrio Putra, dan Muhammad Ikbal. Kemudian dari PUPR, Hutama Karya dan perwakilan warga 5 nagari di Limapuluh Kota.
Yoni Candra dari WALHI Sumbar yang mewakili warga mengatakan pihaknya berharap agar pihak pembangun bisa menunjukkan data soal titik lokasi pembangunan jalan tol. Sehingga bisa ditemukan kecocokan untuk mencari lokasi yang pembangunan bisa disepakati bersama warga.
"Namun pihak pelaksana pembangunan terus saja berbicara soal basic design atau rencana awal, padahal proses sosialisasi dan inventarisir data kepemilikan warga itu telah dilakukan," katanya.
Menurutnya proses pembangunan jalan tol dilakukan secara top down. Semua ditentukan pusat tanpa membicarakan dengan warga dan tokoh masyarakat setempat. Harusnya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat.
Banyak hal akan terdampak seperti lahan milik warga, rumah, dan itu merupakan kebutuhan warga. Tentu itu akan menghilangkan penghidupan warga. Ada juga terdampak sekitar 400 rumah Warga menurutnya tidak anti pembangunan, tapi tentu harus dilakukan secara adil.
Warga yang terdampak berada di Nagari Lubuk Batingkok, Koto Tangah Simalanggang, Koto Tinggi Simalanggang, Taeh Baru dan Gurun. Nagari itu berada di dua kecamatan yaitu Harau dan Payakumbuh. Warga berharap lokasi dipindahkan ke yang tidak padat penduduk dan tidak produktif.
"Warga berharap tidak di wilayah mereka, sebaiknya pemerintah sudah tahu dimana lokasi dibangun yang tidak berdampak pada warga," katanya.
Ia berharap dari DPRD juga mengambil sikap terhadap persoalan ini. Kemudian mencarikan solusi apakah dialihkan atau dipaksakan kepada masyarakat. DPRD Sumbar harus ini mengawal ke depannya.
"Kita tidak mungkin bicara pembangunan jalan tol untuk akses dan peningkatan ekonomi masyarakat tapi masyarakat yang terkena malah terdampak kehilangan penghidupannya, tidak adil juga," katanya.
Sementara itu, Kepala PUPR Kabupaten Limapuluh Kota Yunire Yunirman mengatakan pihaknya sifatnya hanya berkomunikasi dengan pemerintah pusat. Apa yang diminta oleh masyarakat telah disampaikan ke Kementerian PUPR.
"Kita sudah sampaikan ke Kementerian PUPR, kalau boleh hindari saja pemukiman, apalagi yang ada penolakan, jadi diupayakan," katanya.
Menurutnya lokasi belum ditetapkan karena masih desain awal. Kementeri PUPR masih bisa menerima masukan dari masyarakat. Angket juga disebarkan ke masyarakat untuk menjaring aspirasi masyarakat.
"Bisa saja digeser ke tempat lain, tapi kena lagi yang lain muncul lagi masalah, jadi ini masih desain awal, kita akan terus komunikasikan," ujarnya.
Sementara itu, VP Perencanaan PT Hutama Karya Iwan Hermawan mengatakan desain saat ini masih awal. Kemudian itu diberitahu kepada masyakarat dan dimintai respon. Prosesnya memang harus seperti itu.
"Kemungkinan digeser memang ada, tetapi kita menunggu bagaimana respon pemerintah setempat dulu," katanya.
Selain itu, Anggota Komisi IV DPRD Sumbar Desrio Putra mengatakan berdasarkan klarifikasi dengan pihak pelaksana bahwa jalur yang dituntut masyarakat itu belum diputuskan. Pihak pelaksana juga menyiapkan ada 3 alternatif untuk memindahkan.
"Itu alternatif tetap mempertimbangkan jangan banyak rumah penduduk yang terkena, kemudian biaya konstruksi yang lebih rendah, termasuk biaya ganti rugi yang lebih rendah," katanya.
Nanti baru diputuskan mana jalur yang paling tepat dan paling tidak dirugikan masyarakat. Setelah itu baru dilanjutkan proses detail enginering design (DED). DPRD juga meminta agar pelaksana pembangunan melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
"Jadi masih panjang perjalanannya, kami juga minta sebelum diputuskan harus dilakukan sosialisasi maksimal, melibatkan semua stakeholder masyarakat, ninik mamak, wali nagari," katanya.
Kalau ada masyarakat yang tidak paham maka bisa diberi pengertian. Kemudian ganti rugi harus diberikan dengan ukuran yang layak. Kalau sudah duduk bersama tentu dapat dicarikan solusinya.
"Bisa disiapkan alternatif diberikan oleh perencana, tetapi mencarikan yang terbaik, cari yang paling minim memberikan dampak," ujarnya. (Rahmadi/ABW)