Langgam.id - Tiang-tiang bergaya Nagor, India bagian selatan, bercat putih teguh begitu digdaya menopang Masjid Muhammadan. Di bulan Ramadan ini, dendang lagu-lagu nuansa Islami begitu merdu keluar dari toa masjid yang terletak di jalan Pasar Batipuh, Kampung Keling, Kota Padang ini. Syahdu dan menentramkan.
Secara historis, Masjid Muhammadan didirikan pedagang Gujarat sekitar 200 tahun lalu. Namun hari ini milik semua umat.
Siapa pun bisa beribadah atau beraktivitas keagamaan di sini. Bahkan Muhammadan saat ini menjadi markas Jamaah Tablig, komunitas yang mengikrarkan diri untuk berdakwah tanpa memaksa, melainkan hanya mengajak.
Letak masjid berada di tapal batas antara konsentrasi keturunan India (Tamil) dengan konsentrasi komunitas Tionghoa yakni kampung Pecinan (Pondok).
Hanya sepelemparan batu dari rumah ibadah komunitas Tionghoa seperti vihara dan tempat pembakaran mayat.
Tak pelak, Masjid Muhammadan menjadi simbol harmonisasi di kawasan dengan beragam etnis dan kepercayaan di Kota Padang.
Kalau pun ada gesekan dalam artian ‘umat’ yang mengurus atau beribadah di masjid tersebut, seperti dikatakan M. Firdaus, hanya semacam protes secara dialog terkait krematorium yang berdiri sangat dekat dengan masjib beberapa waktu lalu.
“Beberapa tahun lalu kita protes karena terlalu dekat dengan masjid. Secara sejarah, masjid sudah lama berdiri, sementara krematorium tersebut baru,” ujar pengurus Masjid Muhammadan yang berketurunan India ini, beberapa waktu lalu.
Selebihnya, Masjid Muhammadan memainkan peran sebagai pusat siar agama Islam dengan cara damai.
Saat menyambangi masjid tersebut, tempo hari, aura Ramadan sangat kentara. Wajah berparas India berkumpul, diselingi oleh wajah asli Padang, dan termasuk juga dari Mentawai, seperti Fajri Mathias Saleleu, 21, garin masjid tersebut.
“Biasanya ada juga orang Tionghoa yang rutin shalat di sini. Tapi hari ini dia tidak datang,” kata Firdaus.
Menyambut Ramadan, pengurus membersihkan dan mengkilapkan masjid. Pengurus juga memastikan iman saat shalat tarawih dan juga penceramah.
Sebagai catatan, Kota Padang saat ini tengah krisis imam dan penceramah. Dari sekitar 2500 mesjid, musala, surau, dan tempat shalat lainnya, penceramah yang tersertifikasi hanya sekitar 450 orang. Sehingga terjadi rebutan ustaz (imam dan penceramah) antar masjid.
“Untuk memimpin shalat tarawih dan ceramah, sudah aman,” ujar Firdaus.
Muhammadan dikenal sebagai markas dakwah Sumatra Barat atau markas Jamaah Tablig. Nuansa dakwah sangat terasa di hari Senin, karena rutin ada musyawarah agama.
Begitu pun di Kamis malam, seperti dikatakan Abdul Halim, ada malam markas dengan agenda ceramah, iktikaf, membaca kisah nabi setelah Isya, musyawarah agama, baca Alquran, zikir, dan juga ada cerama subuh.
“Ini kegiatan kita di hari-hari biasa, atau jelang Ramadan,” ujar pensiunan polisi yang merupakan jamaah tetap Muhammadan ini.
Dia menegaskan, perpolitikan saat ini misalnya yang kental dengan polarisasi berbasis isu keagamaan, tidak mempengaruhi secara keorganisasian.
Sebab, katanya, dia dan kelompok yang rutin menjadi warga Muhammadan, hanya ingin sibuk pada urusan amalan masjid atau agama, bukan urusan politik. “Kita bicaranya hanya iman dan amal,” tukas Abdul Halim.
Ramadan di Muhammadan berbeda dengan tempat lainnya. Di sini, seorang hafiz (orang yang hafal Al Quran) didatangkan untuk menjadi imam salat tarawih setiap malamnya.
Shalat tarawih dilakukan sebanyak 20 rakaat dan tiga rakaat untuk shalat witir. Setiap malamnya, sang imam akan membaca satu jus ayat Al Quran saat shalat tarawih dan witir. Sehingga khatam Quran menjadi ‘bonus’ bagi siapa pun yang rutin shalat tarawih.
Abdul Halim mengatakan kalau ingin shalat tarawih seperti di Mekah atau Madinah, datanglah ke Muhammadan, sebab 1 jus 1 malam dan diselingi kultum. Shalat tarawih berlangsung sekitar 2 jam, sehabis Isya hingga pukul 10.00 WIB.
“Malam ke 27 puasa, jamaah Muhammadan sudah khatam Quran,” ujarnya.
Menurutnya, 1 jus 1 malam selama Ramadan ini sudah berlangsung 13 tahun. Metode ini diterapkan pertama kali oleh Abdul Hadi asal Pariaman Medan, yang merupakan seorang guru mengaji (hafis quran).
Terletak di kantong niaga terutama kawasan perdagangan orang-orang keturunan India dan dekat dengan komunitas Tionghoa, menjadikan Muhammadan sebagai masjid favorit pedagang muslim untuk shalat di Kota Tua Padang ini.
Maka tidak mengherankan, sajian takjil (pabukoan) hingga nasi dengan ciri khas kari (gulai) kambing bakal menghiasi Masjid Muhammadan saat Ramadan ini.
Pengurus lainnya seperti Zulkifli Ramawi mengatakan, di bulan Ramadan, Muhammadan ada agenda buka bersama; pabukoan gratis seperti tersedianya kurma, kue India, bakwan, onde-onde, lepat bugis, hingga nasi gulai kambing. “Donatur kebanyakan dari keturunan India,” ujarnya.
Meski berdamping dengan komunitas lain berbeda agama, toh jamaah Muhammadan belum pernah terdengar menebar konflik. Sebab, mereka yang kebanyakan pedagang, telah diikat urusan dagang dengan komunitas lain, tanpa pernah mencampuri urusan akidah.
“Kita saling menghargai, bahkan ada bantuan beras dari orang Cina untuk kami,” bilang Zulkifli.
Muhammadan seakan menjadi representasi harmonisasi di Ranah Minang.
Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang Muhammad Taufik menilai Masjid Muhammadan seperti candradimuka, karena menjadi pusat penggemblengan agama Islam.
Artinya, komunitas di sana lebih cenderung untuk peningkatan individu, tidak bicara soal politik. Lebih kepada aspek amal makruf (mengajak orang berbuat baik, tidak melarang). Berbeda dengan kelompok muslim seperti Front Pembela Islam (FPI), yang cenderung ke nahi mungkar.
Bulan puasa Ramadan ini, Muhammadan menunjukkan hal demikian. Menyediakan ruang untuk beribadah dengan ketenteraman, menebarkan aroma harmonisasi.(Osh)