Langgam.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja bersama pemerintah. Keputusan itu diambil tanpa mengindahkan penolakan maupun mempertimbangan publik.
Terkait hal itu, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil langkah untuk membatalkan UU tersebut.
"Menuntut agar UU Cipta Kerja ditarik dan dibatalkan dengan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) sebagai bentuk pertanggungjawaban presiden yang mengusulkan UU," kata Direktir PUSaKo, Feri Amsari, dalam keterangannya, Selasa (6/10/2020).
Menurutnya, ada tujuh kesalahan dalam pengesahan UU Cipta Kerja itu. Bahkan PUSaKO menyebutnya dengan tujuh dosa besar UU Cipta Kerja.
Dosa pertama menurut PUSaKO yakni menunjukkan kesombongan penguasa dan kedua menunjukkan ketamakan pebisnis.
"UU ini hanya memprioritaskan kemudahan bagi investor. Seluruh hal ditentukan Pemerintah Pusat maka pebisnis cukup menggunakan pendekatan kepada pemerintah pusat maka mereka dapat menyelesaikan seluruh urusannya dimana saja di Indonesia," ucap Feri.
Selanjutnya dosa ke tiga, yakni iri terhadap kuasa pemerintahan daerah. Menurutnya, UU ini akan memperlemah kuasa pemerintah daerah yang secara konstitusional menjalankan prinsip otonomi seluas-luasnya yang diatur dalam UUD 1945, termasuk izin usaha di daerah.
Kerakusan dianggap sebagai dosa keempat dalam UU ini. PUSaKO menilau UU Cipta Kerja akan menimbulkan ketimpangan keuangan pusat dan daerah.
Sedangkan dosa ke lima yakni nafsu pemodal asing, yaitu pulau-pulau di Indonesia dapat dikelola melalui Penanaman Modal Asing berdasarkan kepentingan pusat padahal asetnya adalah milik daerah.
Kemalasan bertanggungjawab dianggap sebagai dosa keenam. Lalu dosa ketujuh yakni marah terhadap rakyat yang punya lahan sendiri.
"UU ini menghapus syarat ketentuan tentang syarat pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian. Sehingga dengan alasan demi kepentingan umum maupun kebutuhan investasi, lahan pertanian dapat dialihfungsikan dengan mudah. Hal ini akan menimbulkan lebih banyak konflik agraria akibat perampasan lahan," ucapnya. (Rahmadi/ABW)